SAAT ini perubahan menjadi konskuensi tak terhindarkan. Terutama karena lanskap demografi dunia sedang dalam pergerakan besar menuju peralihan model dan bentuk dunia yang baru.  Kajian Richard Dobbs dkk (2015) dalam bukunya, No Ordinary Disruption, menjelaskan, dunia sedang mengalami disrupsi global akibat pengaruh empat kekuatan besar, yaitu urbanisasi, globalisasi, teknologi, dan struktur umur penduduk. Keempat kekuatan itu menghasilkan perubahan signifikan dalam cara produksi, distribusi, dan transaksi di pasar, memengaruhi geoekonomi di masa depan. Jelas bahwa dua dari empat kekuatan tersebut adalah perubahan demografi, yakni urbanisasi dan perubahan struktur umur penduduk. (Sonny Harry B Harmadi, 2023) Paham ekonomisme para kandidat capres-cawapres menjadi penting kalau tidak bisa dibilang sebagai hal utama yang harus digaris bawahi pemilih dalam menentukan pilihan politik (rasional) nya.

Kebutuhan Perubahan  Agenda perubahan memang dibutuhkan Indonesia, perubahan yang sifatnya amat mendasar dalam terutama 5 fundamental pokok politik kesejahteraan.  Pertama: Indonesia butuh perubahan mendasar di lapangan ketenagakerjaan dan jaminan sosial. Kenapa? Karena Sebagian besar pekerja kita memiliki kualitas rendah, jauh dari kualitas kapasitas kerja dibutuhkan oleh pasar tenaga kerja modern berbasis teknologi. Tanpa adanya Skill Development Fund memadai kondisi pekerja kita akan terus rentan, menyebabkan sebagian besar pekerja di wilayah urban terjebak dalam model kerja perbudakan; kondisi kerja dengan fleksibelitas tinggi tetapi dalam makna lebih esensial berarti tidak adanya jaminan sosial dan upah mencukupi sesuai standar kebutuhan hidup pekerja. Saat ini proporsi pekerja sektor informal mencapai 60,12% (Feb, 2023), calon pemimpin mana punya visi dan janji kerja untuk menurunkannya menjadi minimal 50% pada 2029? Selain itu, sektor ketenagakerjaan meliputi saling hubung semua upaya yang dibutuhkan Indonesia untuk bisa lepas dari jebakan negara berpenghasilan menengah (middle income trap). Dengan tujuan melompat menjadi negara maju, Indonesia harus punya agenda terukur dan konsisten yang harus dituju dalam 10 tahun ke depan. Itu berarti sejurus dengan proyeksi bonus demografi Indonesia yang mencapai puncak peluangnya 10 tahun mendatang pada 2045.

Kita butuh pemimpin yang mampu memperluas kesempatan berusaha dan menciptakan lapangan kerja dengan upah berkeadilan. Pemimpin yang bisa diandalkan menciptakan minimal 15 juta lapangan pekerjaan baru pada 2025-2029 guna menurunkan tingkat pengangguran terbuka dari 5,45% (Feb 2023) menjadi 3,5%-4,0% (2029). Kedua: Indonesia butuh perubahan mendasar di lapangan agraria. Kenapa? Karena ketimpangan agraria nyata. Karena petani kita hampir 17 juta lebih adalah gurem.  Karena populasi penduduk miskin Indonesia (26,16 juta, BPS: 2022) 14,34 juta di antaranya terkonsentrasi di perdesaaan. Belum lagi dalam 9 tahun terakhir terjadi 2.710 Konflik Agaria (KPA, 2023).

Pembaruan agraria dan kemandirian pangan harus bisa menjadi basis pembangunan untuk mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan melalui pendekatan multisektor dengan target menurunkan tingkat kemiskinan dari 9,36% (Maret, 2023) menjadi 4,0%-5,0% (2029); dan kemiskinan ekstrem ~0% (2026).  Ketiga: Indonesia butuh perubahan mendasar di lapangan energi dan iklim. Sektor strategis tambang dan energi Indonesia mengalami ancaman alamiah dan tekanan pasar global. Senjakala bisnis hitam seperti batu bara, ekplorasi energi fosil lain bergeser dari ‘emas hitam’ menjadi sekadar kerikil bernilai rendah. Transisi energi terbarukan dan hijau harus dimulai sekarang. Maka ia mengandaikan program transisional energi yang sejalan dengan agenda ekologi sebagai sikap idealis mau pun dalam rangka menghadapi tuntutan model bisnis baru yang dibutuhkan secara global—bisnis energi yang memenuhi kualifikasi aman bagi lingkungan.

Dalam konteks tersebut kita butuh pemimpin yang memiliki visi dan keinginan untuk mempercepat transisi ke energi baru terbarukan (EBT). Mendorong inovasi pembiayaan EBT melalui berbagai pendekatan, termasuk: project development funding, viability gap financing, dan credit enhancement funding.  Keempat: Indonesia butuh perubahan mendasar dalam tata ruang dan kelola model baru kawasan terutama kawasan urban dan kota penyangga. Bank Dunia mencatat 56 persen penduduk dunia tinggal di perkotaan (2022), akan terus naik hingga 70% di 2050. Kota menjadi pusat aktivitas ekonomi utama dunia dengan kontribusi 80% perekonomian global. Indonesia tidak jauh berbeda. Dan akan menuju super urbanisasi tak terhindarkan karena faktor pelamabatan ekonomi di sektor agrarian dan dampak perubahan iklim terhadap pola produksi dan ekonomi pertanian yang menjadi basis ekonomi Kawasan perdesaan. McKinsey Global Institute bahkan memperkirakan setengah dari pertumbuhan ekonomi dunia sepanjang 2010- 2025 disumbangkan hanya oleh 440 kota di negara berkembang.  Kelima: Indonesia butuh perubahan mendasar pelayanan publik terutama terkait Kesehatan dan mobilitas sosial. Itu berarti pembenahan besar-besaran dalam model jaminan sosial dan transportasi publik mau pun transportasi penghubung kawasan terintegrasi.

Baca Juga: Tudingan Miring Aliran Dana Korupsi dan Potensi Penistaan Partai Politik

Excellency Akuntabilitas kebijakan publik ke depan harus ditarik ke level standar terbaik, adil merujuk pada pencapain tinggi di skala global. Jaminan sosial terutama kesehatan dan ketenagakerjaan harus dilihat sebagai investasi pokok negara jika ingin bersaing dalam kompetisi kemajuan global. Kita tidak bisa mengandaikan kompetitif dengan berinvestasi di keranjang kosong. Manuasia Indonesia—kesehatan dan jaminan atas kebutuhan pokoknya—akan menjadikan Indonesia mengalami kualitas dan peningkatan produktifitas yang dibutuhkan untuk berdaya saing dengan laju pertumbuhan ekonomi global.  Merujuk Wakil Ketua DPR-RI Bidang Kesejahteraan sosial, kita harus “Berkomitmen untuk mewujudkan Indonesia yang berkeadilan di masa depan harus dicanangkan kembali. Sebuah Indonesia yang seia sekata dalam perbuatan, seia sekata dalam investasi sosial ekonomi, untuk keadilan, dan kesejahteraan sosial,” (A. Muhaimin Iskandar, Visioning Indonesia, 2022)  Kita kerap salah logika dengan memakai sudut pandang “merugikan” atas semua skema investasi jaminan sosial kesejahteraan (tak terkecuali mekanisme subsidi sektor publik). Kita berpikir korporatik dalam melihat pemenuhan kebutuhan mendasar rakyat.

Seperti transaksionalisme ekonomi dengan rakyat sendiri. Padahal selain sebagai kewajiban, investasi kepada rakyat adalah strategi penguatan daya saing suatu bangsa.  Negara dan para pemimpin nanti harus punya daya kerja memastikan ketersediaan kebutuhan pokok dan biaya hidup murah. Kita butuh pemimpin yang paham dan menginginkan terwujudnya agenda kemandirian pangan, ketahanan energi, juga kedaulatan atas tanah dan air.  Lima perubahan dasar yang akan menentukan lanskap masa depan Indonesia di atas mendorng penulis untuk—tanpa maksud menyederhanakan, menilai bahwa visi ekonomisme menjadi ukuran utama bagi agenda perubahan Indonesia. Karenanya harus ditakar dan dijadikan rujukan mendasar dari para calon kandidat capres-cawapres 2024 nanti. Lebih dari sekadar elektabilitas atau suka dan tidak suka atas ragam preferensi subjektif kita, paham ekonomisme yang tepat dan terukur harus dikedepankan dalam melihat kualitas dan harapan yang akan kita pertaruhkan dalam menilai dan memilih bakal pemimpin baru Indonesia 2024 nanti.  Kita bisa melihat di antara Anis-Gus Imin, Ganjar-Mahfud, Prabowo-dengan pasangannya nanti—mana yang memiliki visi dan paham ekonomi ideal, janji dan program kerja ekonomisme yang paling relevan dan bisa dievaluasi akuntabilitas tujuannya baik dalam ukuran naiknya kesejahteraan sosial mau pun dalam kapasitas Indonesia menghadapi arus perubahan global.

Kualitas demokrasi Indonesia akan meningkat dengan cakrawala ekonomisme para kandidat capres-cawapres yang bisa ditakar dengan jelas sekaligus dimintakan pertanggung jawaban kebijakan publiknya kelak saat salah satu pasangan menjadi pemimpin.  Tugas kita sebagai pemilih untuk mendorong kualitas politik elektoral 2024 menjadi ukuran baru “pesta politik” pemilu dari sarana memilih kandidat menjadi ruang politik menegosiasikan kepentingan hajat publik dengan mereka yang telah melewati sekian proses kelahiran menjadi calon pemimpin. Bahwa para kandidat paslon bukanlah tujuan pemilu, mereka adalah jalan penghubung untuk mencapai tujuan perubahan yang kita harapkan dari kemajuan Indonesia masa depan. Oleh: Sabiq Carebesth(Peneliti Kebijakan Publik dan Program Manager Rumah Politik Kesejahteraan (RPK)