PERNYATAAN Wakil Ketua KPK Alexander Mawarta dalam konferensi pers ketika KPK menahan Syahrul Yasin Limpo (SYL) memantik polemik. Pasalnya, Alex mengatakan ditemukan aliran penggunaan uang sebagaimana perintah SYL yang ditujukan untuk kepentingan Partai NasDem bernilai miliaran rupiah. Ironisnya, dia mengakui jumlah dan penerima aliran uang haram tersebut belum diketahui secara pasti.

KPK seyogianya fokus saja pada penetapan tersangka SYL dan pejabat Kementerian Pertanian yang terjerat oleh kasus rasuah dan menghindari pernyataan yang bersifat tendensius. KPK harus menunjukkan netralitas untuk menjaga tidak dipersepsikan terserat ke ranah politik.

Pernyataan itu dapat ditafsirkan mengancam Partai NasDem dalam Koalisi Perubahan yang mengusung pasangan Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar. Reaksi Partai NasDem yang akan melayangkan somasi patut didukung untuk menjaga agar KPK tidak dimanfaatkan kepentingan politik tertentu.

Narasi sumbang itu tidak pernah dilontarkan KPK selama dua periode pemerintahan Presiden Jokowi. Padahal, dalam era tersebut tercatat enam menteri dan tiga ketua parpol tersandung oleh kasus korupsi. KPK dan Kejaksaan Agung tidak melontarkan tudingan secara vulgar ketika mengumumkan status tersangka politikus itu. Pimpinan KPK saat menjawab pertanyaan awak media sebatas menyebutkan akan mendalami dugaan aliran dana korupsi tersebut.

Konstruksi hukum pidana korupsi parpol

Baca Juga: Kaesang, Layar Politik Pemuda Terkembang

Tudingan miring KPK menimbulkan perdebatan di antara pakar hukum. Ada yang berpendapat, partai yang menerima aliran dana korupsi dapat diajukan Presiden ke Mahkamah Konstitusi untuk dibekukan atau dibubarkan. Pendapat demikian tidak memiliki dasar hukum dan hanya menggunakan asumsi belaka.

Faktanya, kendatipun suatu parpol menerima aliran dana korupsi, juga tidak ada sanksi secara kelembagaan yang dapat dikenakan baik berupa pembekuan atau pembubaran. Apalagi, Bendahara Umum Partai NasDem Ahmad Sahroni secara tegas menyatakan tidak ditemukan aliran dana dari SYL masuk rekening partainya.

Menurut UU No 2/2011 tentang Perubahan atas UU No 2/2008 tentang Parpol, keuangan parpol ialah semua hak dan kewajibannya serta segala bentuk kekayaan yang dimiliki dan yang diterima melalui rekening atas nama parpol. Apabila ada aliran dana tidak diterima melalui rekening dan bendahara parpol, tentunya itu tidak memenuhi kriteria tersebut.

Jika terdapat kemungkinan adanya dana SYL diterima kader NasDem di luar mekanisme partai tersebut, dana itu tidak termasuk penerimaan partai.

Konstruksi hukum keuangan parpol menetapkan larangan dan sanksi pelanggarannya. Dalam Pasal 40 UU No 2/2008 diatur larangan menerima dari pihak asing, menerima sumbangan tanpa identitas yang jelas, menerima sumbangan dari perseorangan dan entitas melebihi batas yang ditetapkan, menerima dana dari BUMN, BUMD, atau dengan sebutan lainnya dan menggunakan fraksi di MPR, DPR, dan DPRD sebagai sumber pendanaan parpol.

Apabila terjadi pelanggaran larangan dimaksud, sanksi itu tidak dikenakan kepada parpol, tetapi dijatuhkan kepada pengurusnya. Pelanggaran penerimaan dari donatur tanpa identitas yang jelas, jumlahnya melampaui batasan yang ditetapkan, dan berasal dari BUMN, BUMD, dan BUM-Des dikenai pidana penjara paling lama 1 tahun dan denda dua kali lipat dari jumlah yang diterimanya.

UU Parpol tidak mengatur sanksi manakala parpol menerima aliran dana korupsi. Oleh karena itu, penerima aliran dana korupsi dikenai pidana berdasarkan UU 20/2001 tentang Perubahan UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Namun, menurut ketentuan itu, aliran dana korupsi ke parpol bukan merupakan peristiwa pidana yang dikenakan kepada parpol.

Setiap kali kader parpol terjerat oleh pidana korupsi, publik menduga adanya aliran dana kepada parpol yang bersangkutan. Padahal UU 20/ 2001 hanya mengatur orang atau kelompok orang yang melakukan dan menerima dana hasil kejahatan pidana korupsi itu tidak termasuk parpol. Sampai saat ini belum ada putusan pengadilan yang mengenakan pidana korupsi kepada parpol.

Kampanye hitam lembaga antirasuah

Komisioner KPK sebelum mengumumkan aliran dana korupsi kepada Partai NasDem terlebih dahulu mencermati pasal yang diatur dalam UU No 2/ 2008. Tidak ada satu pasal pun yang menyebutkan penerimaan hasil korupsi dan sanksinya sebagai peristiwa pidana terhadap parpol. Lalu, apa kepentingannya mengumumkan aliran dana korupsi ke Partai NasDem, selain hanya membuat kegaduhan dan keonaran?

Korupsi yang dilakukan SYL tidak dalam kapasitas sebagai kader partai, tetapi merupakan urusan personal dalam kedudukannya sebagai menteri yang tidak ada kaitan dengan partai. Dalam penanganan korupsi, sebenarnya pembuktiannya cukup dari uang suap dan korupsi yang diterima SYL. Sementara itu, pembuktian uang yang dialirkan ke pihak lain dibutuhkan untuk membidik tersangka berikutnya yang turut serta menikmati uang hasil kejahatan.

Kecurigaan publik terkait dengan motif Alex Mawarta mengumumkan aliran dana kepada NasDem sangat beralasan. Pernyataan yang dapat tergolong penistaan terhadap Partai NasDem oleh lembaga antirasuah itu terjadi bersamaan dengan adanya benturan kepentingan Ketua KPK yang diduga terjerat oleh kasus pemerasan terhadap SYL selaku kader NasDem.

Perkataan di luar adab tersebut ketika masa kampanye dapat melanggar Pasal 280 ayat (1) UU No 7/2017 tentang Pemilihan Umum. Tudingan aliran dana korupsi tanpa bukti termasuk kategori kampanye hitam karena parpol yang dituduh korupsi dirugikan secara elektoral akibat stigma yang dipersepsikan sebagai partai koruptor.

NasDem dapat melakukan somasi terhadap Alexander Mawarta dengan tuduhan melakukan pidana sebagaimana diatur Pasal 15 UU No 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Perbuatan itu berpotensi masuk kategori menyiarkan kabar tidak pasti atau berkelebihan, yang dapat menimbulkan keonaran di kalangan rakyat.

Pernyataan itu menggiring opini publik terjadinya korupsi pada partai politik. Peristiwa yang masih didalami tidak pantas diumbar ke ruang publik oleh penegak hukum yang mengakibatkan spekulasi dan keonaran menjelang kampanye pemilihan presiden dan pemilihan legislatif.

Tudingan sumir yang dilayangkan KPK kepada Partai NasDem jauh dari wajah penegak hukum bermartabat dan imparsial. Perbuatan itu berpotensi memperpanjang pelanggaran etika yang dilakukan silih berganti baik oleh Ketua KPK maupun Wakil Ketua KPK.

Harapan publik agar pimpinan KPK layaknya seperti manusia setengah dewa ternyata jauh panggang dari api. Alih-alih berperilaku dengan integritas dan kredibilitas tinggi, malahan mereka seperti berlomba melakukan pelanggaran. Lembaga yang lahir dari rahim reformasi itu ternyata semakin jauh dari cita-cita pembentukan semula. (*)