ANCAMAN krisis pangan kembali menjadi perhatian Presiden Joko Widodo. Terbaru ketika kunjungan kerja di Boyolali, Jawa Tengah, Kamis (11/8), Presiden Jokowi mengutarakan bahwa ada 300 juta lebih orang yang mengalami kekurangan pangan akut dan kelaparan di berbagai negara.

Termasuk dalam kunjungan kerjanya di Medan, Sumatra Utara, Kamis (7/7). Presiden Jokowi me­nyampaikan ajakan untuk mulai memanfaatkan lahan pekarangan demi pemenuhan gizi keluarga, serta dalam rangka mengantisipasi krisis pangan akibat dari perang Rusia-Ukraina.

Jika menggunakan pendekatan historis, ajakan Presiden Jokowi tersebut sudah tepat, tetapi sekaligus ironis. Tepat karena pemanfaatan pekarangan rumah belum menjadi pola hidup masyarakat Indonesia, khususnya di perkotaan. Sikap mengandalkan pemenuhan kebutuhan pangan dari pasar atau minimarket menjadi salah satu penyebab.

Karena itu, ketika terjadi kenaikan harga komoditas pangan, ekonomi rumah tangga menjadi pihak yang terdampak secara langsung. Situasi itu sangat ironis jika kita datang ke Candi Borobudur dan menyem­patkan mengamati relief di candi tersebut. Di situ ada digambarkan sejak abad 9 M bangsa kita telah ‘melek ketahanan pangan’ dengan menjadikan pekarangan sebagai sumber pemenuhan gizi rumah tangga. Jika kita benar-benar mau menggali, bumi manusia Indonesia berikut karya ciptanya bisa menjadi sumber inspirasi kemerdekaan, termasuk di dalamnya kemerdekaan dalam pemenuhan kebutuhan pangan.

Budaya ketahanan pangan 

Baca Juga: Manajemen Berbasis Sekolah yang Terpasung Arogansi Yayasan

‘Urusan pangan adalah hidup matinya sebuah bangsa’. Demikian pesan Bung Karno saat meres­mikan pembukaan Fakultas Ilmu Pertanian UI yang kelak menjadi Institut Pertanian Bogor. Secara tersirat, Bung Karno ingin menyampaikan bahwa setiap pemimpin jangan sembrono dalam mengurus pa­ngan untuk rakyatnya.

Sejarah membuktikan bahwa genosida atau peperangan bukan satu-satunya penyebab punahnya suatu bangsa dan peradaban, melainkan juga krisis pangan dan salah urus penyelenggaraan pangan. Hancurnya peradaban Maya di Meksiko pada rentang 750-900 M salah satunya disebabkan kelaparan. Pun tumbangnya Dinasti Tang di Tiongkok pada 907 M disebabkan gagal panen dalam skala masif.

Hari ini kita dihadapkan dengan situasi dunia yang rentan memicu kelangkaan pangan, dari perang Rusia-Ukraina, cuaca ekstrem di beberapa negara, larangan atau pembatasan ekspor beberapa komoditas pangan, hingga wabah penyakit yang makin beragam. Setiap negara kini mempersiapkan langkah mitigatif ketahanan pangan dalam rangka menghadapi ancaman krisis pangan.

Bangsa kita pun sebenarnya sudah memiliki konsep ketahanan pangan bahkan sejak abad 9 M. Caranya dengan menjadikan kebun atau pekarangan sebagai basis pangan rumah tangga sekaligus seba­gai sumber ekonomi ketika terjadi krisis atau bencana alam. Ketika terjadi gagal panen, perang, atau paceklik, kebun atau pekarangan menjadi sumber penyedia sekunder seperti umbi-umbian ataupun buah-buahan.

Bukti sejarah mengenai kebun atau pekarangan terdapat di beberapa prasasti, misalnya pada Prasasti Kamalagi 831 M dijumpai kata-kata kebwan atau kbuan yang berarti kebun. Demikian juga di relief Kar­mawhibangga Candi Borobudur juga dijumpai relief pekarangan pagar yang di dalamnya terdapat tanaman buah (Sistem Pertanian Tradisional pada Masyarakat Jawa Tinjauan secara Arkeologis dan Etnografis, PH Subroto, Departemen P&K, 1985, hlm 30).

Di samping kaya akan sumber pangan alternatif, negeri kita bahkan juga kaya akan pilihan makanan pokok sebagai konsekuensi dari heterogenitas suku dan kebudayaan. Hal itu sangat disadari sejak era Presiden Sukarno, yang pada era kekuasaannya gencar menyeru rakyat agar Indonesia kembali kepada menu asli daerah, misal Jawa dengan beras, Bali-NTB dengan jagung, Maluku dan Papua dengan sagu. Langkah itu identik dengan anjuran Presiden Jokowi untuk tidak menyeragamkan makanan pokok karena setiap suku atau provinsi memiliki ciri khas makanan pokok masing-masing.

Sikap yang ahistoris terhadap budaya pangan akan menjadikan diri kita jijik ketika melihat warga di Semanu, Gunung Kidul, memakan belalang goreng sebagai lauk-pauk. Demikian juga masyarakat Papua yang gemar mengonsumsi ulat sagu, pun orang Jawa yang mengenal laron sebagai lauk yang gurih dan bergizi.

Sikap ahistoris itu diperparah situasi kebiasaan masyarakat kita yang cenderung homogen dan monolitik dalam pilihan menu makan. Ditambah gempuran produk makanan instan ataupun makanan bermerek atau berlabel yang kemudian menjadikan orang lebih memilih berbelanja di super/minimarket untuk menunjang kebutuhan pangan rumah tangga, alih-alih menyediakan pekarangan untuk menanam tanaman pangan.

Ketika saat ini pemerintah melalui Dirjen Kebudayaan sedang gencar mengampanyekan Jalur Rempah Nusantara, seharusnya atensi yang sama perlu dicurahkan terhadap budaya pangan Nusan­tara. Bahwa kekayaan budaya pangan Nusantara juga memiliki akar tradisi yang berusia ribuan tahun, yang telah turut mengawal keberlangsungan peradaban di Nusantara dalam rentang setidaknya 2.000 tahun.

Jika upaya itu tidak segera dimulai, dikhawatirkan, bangsa kita mengalami situasi kepaten obor, yakni suatu kondisi suatu bangsa kehilangan jejak historis diri. Yang lebih parah lagi ialah kita juga makin ter­lambat dalam mitigasi ancaman krisis pangan global.

Bagaimana cara selenggarakan pangan

Dengan mengacu dari program food estate, tampak­nya dalam beberapa tahun ke depan kita masih mengandalkan model ekstensifikasi lahan pertanian (crop land). Dalam lanskap rantai pasok pangan global, Tiongkok dengan belt and road initiative mereka telah melangkah sangat jauh dengan mengubah pendekatan pada sektor agrikultur yang awalnya mengandalkan produktivitas petani skala kecil. Kini mereka beralih ke swasta agrobisnis skala besar. Dalam 10 tahun terakhir perusahaan-perusahaan Tiongkok telah menginvestasikan lebih dari US$43 miliar di sektor pertanian di luar Tiongkok.

UU No 18 Tahun 2012 tentang Pangan mengamanatkan penyelenggaraan pangan dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia yang memberikan manfaat secara adil, merata, dan berkelanjutan. Amanat tersebut akan sulit diemban jika pemerintah tidak melibatkan sains dan teknologi dalam proses penyelenggaraan pangan.

Jika kita belajar dari Tiongkok, untuk menghidupi 1,4 miliar penduduk mereka di tengah pandemi covid-19, pemerintah Tiongkok berinovasi dengan mengembangkan seawater rice, yaitu varietas padi yang memiliki tingkat toleransi yang tinggi terhadap air laut dan banyak dibudidayakan di lahan gambut. Program itu ialah bagian dari kampanye pemerintah Tiongkok dalam melawan food waste sekaligus meningkatkan luasan lahan pertanian.

Dalam hal penyelenggaraan pangan, pemerintah seyogianya memperhatikan dua aspek fundamental dari kebutuhan hidup manusia, yakni kebutuhan manusia sebagai makhluk biologi dan kebutuhan manusia sebagai makhluk budaya. Bagi manusia prasejarah, aspek pertama lebih dominan daripada yang kedua karena kerisauan pertama manusia sebagai makhluk biologi ialah memenuhi pangan untuk bertahan hidup.

Namun, bagi makhluk budaya, penyelenggaraan pangan tidak dipandang sebagai proyek kalkulatif yang eksesnya hanya mampu bertahan dalam hitungan lima tahunan pemilu, tetapi sebagai sebuah proyek peradaban yang manfaatnya terbentang hingga hitungan abad sehingga tetap bisa dinikmati anak-cucu kita. Pada masa silam, nenek moyang kita menjadi aktor dari evolusi pencarian pangan hingga melahirkan teknik budi daya pertanian, sedangkan generasi bangsa saat ini harus menjadi bagian dari revolusi penyelenggaraan pangan yang pada kelanjutannya memperkukuh kemerdekaan negara bangsa kita dalam penyediaan pangan untuk rakyat. Selamat ulang tahun ke-77 Indonesia. Dirgahayu Republik Indonesia.Oleh: AR Hakim Pemerhati sosial ekonomi (*)