DALAM beberapa waktu terakhir, masyarakat diramaikan dengan persoalan hukum yang terjadi di lingkungan pesantren atau melibatkan sebagian kaum santri. Mulai ‘drama’ penangkapan terhadap seorang anak kiai di salah satu pesantren di Jombang, hingga dugaan aksi kekerasan yang sampai menimbulkan korban jiwa di beberapa pesantren.

Sebagai bagian dari masyarakat umum, persoalan hukum yang melibatkan sebagian warga pesantren (bahkan keluarga kiai sekalipun), bisa dikatakan sebagai bagian dari fenomena umum. Dengan kata lain, persoalan hukum yang ada juga terjadi di sebagian masyarakat secara luas. Namun, karena persoalan yang ada terjadi di lingkungan pendidikan (terlebih lagi pesantren), sebagian pihak hal ini mungkin dirasa sebagai ‘kurang wajar’.

Hal ini tak berarti penulis memaklumkan atau meng­anggap biasa pelanggaran hukum yang terjadi, terlebih aksi kekerasan yang ada sampai memakan korban jiwa. Duka sedalam-dalamnya untuk keluarga korban yang mengalami aksi kekerasan, atau pelanggaran hukum secara umum. Kekerasan apapun harus dilawan ber­sa­ma-sama. Khususnya, aksi kekerasan di lingkungan pendidikan, terlebih di lingkungan pesantren.

Oleh karena itu, yang menjadi persoalan utama bukan semata pelanggaran hukum atau aksi kekerasannya, melainkan sikap sebagian pesantren atau keluarga pesantren dalam merespons aksi pelanggaran hukum yang ada. Alih-alih kooperatif de­ngan ketentuan dan proses hukum yang ada, seba­gian oknum justru seakan menghalang-halangi pro­ses penegakan hukum yang ada. Sementara itu, da­lam kasus aksi kekerasan terbaru yang ramai diper­bincangkan, terkesan adanya upaya menutup-nutupi dari proses hukum, minimal pesantren tidak secara aktif menawarkan kepada keluarga korban untuk diselesaikan secara hukum (bila keluarga korban menghendaki). Hingga akhirnya keluarga korban melaporkan kasus ini kepada penegak hukum.

Persimpangan zaman

Baca Juga: RUU Perampasan Aset Tindak Pidana Siapa yang Takut?

Pada tahap tertentu, beberapa persoalan hukum yang terjadi belakangan, dan diduga melibatkan sebagian santri menambah beban bagi citra pesantren di kalangan masyarakat umum. Mengingat, pesantren kemudian dikesan­kan identik dengan hal-hal yang bersifat aksi kekerasan dan pelangga­ran hukum, ter­utama di kala­ngan masyarakat yang selama ini mungkin tidak terlalu suka dengan sistem pendidikan pesantren.

Dalam hemat penulis, seti­daknya ada tiga pandangan di kalangan masyarakat terkait dengan pesantren. Pertama, kalangan masyarakat yang tidak atau kurang suka ter­hadap pendidikan pesantren. Tentu alasannya berbeda-beda. Bisa dibilang, kalangan pertama ini cukup banyak di kalangan masyarakat luas.

Kedua, kalangan masyara­kat pesantren yang meng­alami pe­ngembangan orien­tasi, dari orientasi pendidikan keislaman dan akhirat se­mata-mata men­ja­di pendidi­kan keislaman yang juga ter­buka dengan hal-hal kedunia­an seperti pekerjaan. Kalangan ini bisa disebut sebagai ‘generasi kedua’ dari masyarakat pesantren. Kebera­daan kalangan kedua ini juga menimbulkan tekanan kepada pesantren untuk mengembangkan diri.

Ketiga, kalangan tertentu yang mencoba ‘meman­faatkan’ nama besar pesantren untuk tujuan gerakan ideologis, seperti ideologi negara agama dan sejenisnya. Beberapa lembaga pendidikan yang belakangan terkait dengan jaringan terorisme bisa dijadikan sebagai salah satu contoh dari yang penulis sampaikan. Mengingat, lembaga itu secara eksplisit menggunakan istilah pesantren. Padahal, pesantren di Indonesia sejatinya tidak bertentangan dengan Indonesia, alih-alih berupaya menggantinya dengan negara agama.

Aksi kekerasan dan pelanggaran hukum yang belakangan terjadi menambah beban pesantren di atas. Padahal, pesantren sejatinya melawan aksi-aksi kekerasan atau pelanggaran hukum secara umum. Kalaupun ada persoalan aksi kekerasan atau pelanggaran hukum yang melibatkan sebagian kaum santri, hal itu bersifat kasuistis, dan tak bisa digeneralisasi kepada pesantren secara umum. Mengingat, pesantren secara umum tetap konsisten menjalankan pendidikan sebagai paku keislaman sekaligus benteng kebangsaan.

Inilah tiga tantangan yang sekaligus menjadi persimpangan zaman bagi pesantren. Ibarat orang yang sedang berjalan, pesantren harus memilih arah yang benar. Bila tidak, bukan tidak mungkin akan semakin banyak pihak yang memilih pendidikan di luar pesantren.

Paku keislaman

Untuk menghadapi persimpangan zaman yang ada, pesantren penting meneguhkan diri sebagai paku keislaman dengan karakter elastis atau adaptif, yang dalam bahasa fikih dikenal dengan istilah marwanatul ahkam (elastisitas hukum). Karakter ini penting diteguhkan, agar pemahaman keislaman yang berkembang di pesantren jauh dari kaku, dan terlebih lagi bercorak kekerasan, termasuk tata aturan atau qanun yang diberlakukan di pesantren.

Untuk mencapai hal di atas, pesantren harus melatih para santri memiliki kemampuan meracik pemahaman keislaman secara paripurna, yang dalam tradisi keislaman dikenal dengan istilah mujtahid. Ibarat di dunia kuliner, pesantren menggembleng para santri bukan hanya agar bisa makan atau memasarkan makanan yang halal. Lebih daripada itu, menggembleng para santri agar bisa memasak sendiri. Bahkan, kalau perlu belanja bahkan menanam sendiri ‘bumbu-bumbu’ yang dibutuhkan. Dalam konteks ilmu keislaman, bahan-bahan itu tak lain adalah ilmu-ilmu dasar keislaman seperti nahwu, sharraf, balaghah (sastra), mantiq (logika), fikih, usul fikih dan yang lainnya.

Benteng kebangsaan

Di luar meneguhkan diri sebagai paku ke-Islam-an, dalam menghadapi fenomena persimpangan zaman di atas, pesantren juga penting meneguhkan diri sebagai benteng kebangsaan. Fundamen utama dari pesantren sebagai ben­teng kebangsaan adalah kese­rasian antara keislaman dan kebangsaan atau keindone­siaan. Bahwa orang Islam di Indonesia bisa menjalankan agamanya secara seratus persen, sebagaimana orang Islam Indonesia, juga bisa menjalan­kan misi kebang­saan secara seratus persen. Penegasan ter­kait dengan keselarasan an­tara keislaman dan kebang­saan ini tidak hanya bersifat retorika semata, tetapi harus menyata dalam perilaku kenegaraan. Mulai yang terkait ideologi negara, hingga hal yang bersifat kebudayaan maupun ekonomi.

Di level ini harus diakui, masih terdapat kaum santri yang ‘tidak tahan ujian’. Sebagian dari mereka lantang meneriakkan NKRI harga mati (ideologi) alias final, tapi justru sebagian dari mereka menjadi pelopor dari islamisasi Indonesia secara non ideologi, seperti ekonomi atau kebudayaan. Padahal, sejatinya keselarasan antara keislaman dan kebangsaan bisa menyata sampai tahap ekonomi maupun kebudayaan. Walaupun eko­nomi atau budaya tidak berlabel Islam (sebagaimana dalam konteks ideologi negara), semangat elastisitas keislaman tetap bisa menyajikan ekonomi dan kebudayaan yang islami, tanpa harus menjadi ekonomi atau budaya Islam.

Dengan meneguhkan dirinya sebagai paku keislaman dan benteng kebangsaan, pesantren akan selamat dari cobaan persimpangan zaman, sekaligus menyelamatkan masyarakat luas. Masyarakat Indonesia, khususnya dari kalangan umat Islam, bisa mengetahui, yakni bisa mempelajari ilmu keislaman, dan corak paham keislaman seperti apa yang dibutuhkan di Indonesia. Hingga di satu sisi, seseorang bisa menjadi Muslim seutuhnya, dan juga warga Indonesia seutuhnya pada sisi yang lain. Oleh: Zaman Hasibullah Satrawi Alumnus Al-Azhar, Kairo, Mesir, Pengamat politik Timur Tengah dan dunia Islam. (*)