SETELAH mendalami berbagai pengaduan tentang penurunan penjualan pedagang UMKM di beberapa lokasi, terutama di Tanah Abang, Jakarta, pemerintah melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag) akhirnya secara resmi melarang Tiktok Shop di Indonesia.

Larangan Tiktok Shop di Indonesia tercantum dalam revisi Permendag Nomor 50 Tahun 2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan melalui Sistem Elektronik yang akan segera dirilis.

Menurut Kemendag, pemerintah sepakat mene­rapkan peraturan yang jelas mengenai tata opera­sional social commerce seperti Tiktok Shop. Dasar pemikiran utamanya ialah bahwa social commerce hanya bisa menjalankan iklan dan tidak boleh menerima uang langsung.

Regulasi ini lahir tak berselang lama setelah per­nyataan Presiden Joko Widodo yang menyebut bah­wa Tiktok Shop telah berdampak buruk kepada pela­ku UMKM di Tanah Air, dalam hal ini anjloknya pen­jualan UMKM lokal. Padahal, menurut Presiden, Tik­tok itu adalah social media bukan ‘economy media’.

Seperti diketahui, Tiktok nyatanya memang tak hanya berperan sebagai media sosial, tapi pada prak­tiknya juga merangkap sebagai e-commerce se­hingga meresahkan pelaku bisnis di Tanah Air.

Baca Juga: Komunitas Literasi Maluku: Antara Aksi dan Regulasi

Sebenarnya berjualan online dengan meman­faatkan media sosial bukanlah hal yang baru. Tak hanya Tiktok Shop, saat ini banyak pedagang yang memanfaatkan live streaming di media sosial lain, contohnya Instagram.

Namun, pengguna Instagram yang ingin membeli produk tidak bisa langsung melakukan transaksi melalui Instagram. Calon pembeli pada umumnya diarahkan menuju website milik penjual atau ke akun penjual di marketplace tertentu.

Instrospeksi

Justifikasi pemerintah tentang perbedaan sisi operasional media sosial dan e-commerce, yang ternyata dikaburkan oleh Tiktok Shop, cukup bisa dipahami. Boleh jadi memang kedua hal tersebut perlu dibedakan secara tegas sehingga dari sisi regulasi akan menjadi lebih mudah untuk mengatur dan mengawasinya.

Cuma masalah utama di balik fenomena penurunan penjualan pedagang UMKM di mal-mal sebenarnya bukanlah itu. Karena itu, pemerintah sebaiknya melakukan instrospeksi secara cermat setelah pelarangan ini.

Jangan sampai hanya karena pemerintah gagal meng-upgrade kapasitas UMKM dalam memanfaatkan pasar digital, lalu fasilitas online yang semestinya bisa membantu UMKM malah dilarang.

Dengan kata lain, pelarangan semacam ini hanya sebagai kebijakan ‘jeda’ agar pemerintah dan UMKM mempersiapkan diri untuk memasukkan era baru, yakni era digital. Artinya, pemerintah tak bisa menjadikan kebijakan pelarangan Tiktok Shop sebagai solusi.

Menganggap urusan selesai setelah Tiktok Shop dilarang akan menjadi anggapan konyol, karena persoalan utamanya bukanlah di sana. Persoalan utamanya ialah pergeseran perilaku konsumen nasional akibat perubahan komposisi populasi.

Saat ini, mayoritas penduduk Indonesia ialah generasi muda, baik generasi milenial maupun generasi Z. Pun kelas menengah Indonesia juga didominasi oleh generasi baru ini, dengan jumlah lebih dari 56%.

Kedua generasi yang mendominasi kelas menengah nasional ini adalah pengguna aktif telepon seluler (ponsel) dan internet. Mereka memghabiskan sekitar 4 jam sehari untuk berselancar di internet via ponsel. Walhasil, kebiasaan tersebut mengubah perilaku dan pola berbelanja mereka.

Saat ini, bagi anak muda, membeli sesuatu langsung ke tempat penjualnya bukanlah opsi yang praktis.

Dengan kata lain, berbelanja baik barang maupun jasa melalui platform e-commerce dan platform digital lainnya ialah opsi yang paling sesuai dengan perilaku dan habit mereka.

Jadi, yang membuat penjualan pedagang UMKM konvensional anjlok bukan hanya Tiktok Shop. Justru yang paling mendisrupsi omzet pedagang konvensional berkategori UMKM ialah e-commerce dan platform perdagangan online lainnya.

Mengapa itu bisa terjadi? Karena berbelanja online melalui platform e-commerce adalah pola berbelanja yang paling sesaui dengan mayoritas konsumen Indonesia. Jadi, ketika Tiktok Shop dilarang, omzet para pedagang di Tanah Abang Jakarta tak akan pulih karena konsumen dengan mudah bisa beralih ke platform e-commerce.

Barang impor murah

Persoalan lainnya ialah gempuran barang impor dengan harga murah di Tiktok Shop. Tapi faktanya barang berkategori yang sama juga banyak membanjiri platform e-commerce. Masalah ini bahkan sudah bukan masalah baru lagi, sudah lama mendisrupsi produk dalam negeri kita.

Jadi, intinya bahwa perilaku konsumen kita sudah berubah. Konsumen membutuhkan ekosistem perdagangan baru yang sesuai dengan perkembangan perilaku berbelanja mayoritas konsumen nasional.

Dan, tantangan tersebut ternyata mampu dipenuhi oleh pasar digital dengan berbagai platform digital yang sudah kita saksikan sepak terjangnya. Imbasnya, model pasar konvensional, ketika pembeli dan penjual bertemu langsung, tertinggal dengan mudah. Bukan hanya tertinggal oleh agresivitas platform e-commerce dalam berekspansi, tapi juga tertinggal oleh perkembangan perilaku konsumen kita.

Padahal, jika dilihat secara jujur dan mendalam, sebenarnya Tiktok Shop semestinya bisa menjadi platform yang bermanfaat bagi UMKM, asalkan pemerintah bisa mengaturnya dengan jelas dan cermat di satu sisi dan bisa meng-upgrade kapasitas UMKM agar bisa beradaptasi dengan platform seperti Tiktok Shop.

Perbedaan Tiktok sebagai platform media sosial dengan e-commerce, saya kira, tidak terlalu besar, meskipun berhasil dijadikan justifikasi oleh pemerintah untuk melarang. Keduanya toh sama-sama berada di dunia maya.

Pelajaran bagi pemerintah

Jadi, saya kira, pelajaran yang harus dipetik pemerintah dari pelarangan Tiktok Shop, pertama, pemerintah sebaiknya menyiapkan aturan yang jelas soal e-commerce lainnya, terutama agar tidak menjadi platform untuk produk-produk impor belaka, tapi juga untuk produk UMKM dalam negeri.

Program seperti Tiktok Shop sebenarnya bisa diatur dari sisi teknis, yakni dari sisi produk yang disediakan oleh Tiktok Indonesia untuk para affiliate-nya di Indonesia, dari selebritas sampai influencer. Misalnya, 70% produk yang disediakan Tiktok Shop harus produk domestik.

Pemerintah bisa menerapkan denda yang besar kepada Tiktok Indonesia dan affiliate-nya jika kedapatan melanggar aturan tersebut. Dengan begitu, tak hanya Tiktok Shop yang khawatir jika melanggar aturan, para artis dan influencer yang melakukan penjualan di Tiktok Shop juga takut melakukannya.

Kedua, program-program upgrading kapasitas UMKM harus dimasifkan agar UMKM juga bisa memanfaatkan platform seperti Tiktok Shop untuk memperluas pasar. Artinya, kita tidak bisa menghalangi perkembangan teknologi, kalau kita tak mampu menggantikannya dengan teknologi yang sama yang merupakan buatan dalam negeri.

Melarang berarti membuka peluang masyarakat kita untuk semakin tertinggal dari negara lain. Jadi, jalan terbaiknya ialah segera mengambil langkah-langkah strategis untuk mengintegrasikan dunia UMKM kita ke dalam pasar digital.

Pelatihan dan bimbingan teknis bagi UMKM-UMKM yang terdisrupsi oleh pasar digital harus dimasifkan supaya mereka bisa segera bermigrasi ke pasar digital dan mengembangkan bisnis seluas-luasnya di pasar yang baru, karena dunia maya tidak lagi mengenal batas wilayah dan batasan sosial lainnya.

Ketiga, program-program peningkatan kualitas produk UMKM juga harus dimasifkan agar produk-produk UMKM kita bisa lebih dilirik publik dan mampu bersaing dengan produk impor. Percuma Indonesia akhirnya merasa terancam dengan produk impor kalau Indonesia sendiri tidak memiliki produk-produk berkualitas untuk melawannya.

Pendek kata, kebijakan pelarangan Tiktok Shop layak diterima sebagai kebijakan awal, yakni awal untuk meningkatkan kapasitas UMKM kita di satu sisi supaya bisa segera beradaptasi dengan pasar digital dan perilaku konsumen, pun awal untuk meningkatkan kualitas produk dalam negeri agar bisa bersaing dengan produk-produk impor. Oleh: Charles Meikyansah Anggota Komisi XI DPR RI (*)