KOMISI Aparatur Sipil Negara (KASN) menyebutkan bahwa sampai dengan November 2020 telah terjadi pelanggaran netralitas oleh 812 pegawai ASN. Dari jumlah tersebut, baru 344 ASN yang dijatuhi sanksi.

Pemilihan umum kepala daerah (Pilkada) serentak akan digelar pada 9 Desember 2020. Pilkada kali ini akan diselenggarakan di 270 daerah, terdiri dari 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 34 kota. Berdasarkan tahapan yang diatur oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), saat ini 739 pasangan calon (paslon) sedang memasuki masa kampanye hingga 5 Desember mendatang.

Masa kampanye yang merupakan salah satu tahapan dalam penyelenggaraan Pilkada 2020, merupakan masa-masa yang sangat rawan dalam hal mobilisasi ASN. Dalam catatan KASN, pada Pilkada Serentak 2018 terjadi 508 kasus pelanggaran netralitas yang melibatkan 978 pegawai ASN. Senada dengan hal tersebut, Badan Kepegawaian Negara (BKN) mencatat dalam kurun waktu Januari 2018 hingga Maret 2019 terjadi 990 kasus pelanggaran netralitas, baik yang terkait pilkada, pemilihan legislatif (pileg), maupun pemilihan presiden (pilpres).

Jika dilihat dari aspek regulasi, persoalan netralitas ini sudah diatur cukup tegas dan jelas dalam beberapa peraturan perundangan, mulai level undang-undang hingga Surat Keputusan Bersama (SKB). Setidaknya terdapat dua undang-undang (UU), yaitu UU No 5/2014 tentang ASN yang mengatur tentang asas netralitas dalam manajemen ASN, serta UU No 10/2016 (sudah mengalami beberapa kali perubahan) yang melarang paslon untuk melibatkan ASN serta anggota TNI-Polri. Di level peraturan pemerintah (PP) terdapat PP 42/2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik PNS, serta PP 53/2010 tentang Disiplin PNS, di mana dua peraturan tersebut menitikberatkan pada sanksi atas pelanggaran netralitas ASN. Di level operasional, juga telah disusun berbagai aturan mulai dari Surat Edaran (SE) hingga Surat Keputusan Bersama (SKB).

Dari sisi kelembagaan, terdapat lembaga-lembaga pengawas, baik yang tugasnya eksplisit mengawasi isu-isu netralitas ASN, seperti Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN RB), KASN, dan Badan Kepegawaian Negara (BKN), maupun yang secara tidak langsung seperti Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Ombudsman RI. Khusus untuk KASN, lembaga tersebut didedikasikan untuk mewujudkan pegawai ASN yang netral sebagaimana mandat Pasal 28 UU Nomor 5/2014 tentang ASN. KASN merupakan long-awaited institution yang telah dimandatkan pembentukannya sejak penerbitan UU Nomor 43/1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Lembaga-lembaga tersebut pun sudah berkolaborasi untuk mengupayakan langkah-langkah pencegahan pelanggaran netralitas pegawai ASN.

Baca Juga: Semi Otonomi Finansial di Lembaga Pendidikan Vokasi Negeri

Namun demikian, tampaknya pendekatan legal-rasional untuk mencegah pelanggaran netralitas ASN belum cukup efektif. Hal ini terlihat dari tren pelanggaran netralitas ASN yang makin tinggi dari tahun ke tahun, walaupun instrumen kelembagaan dan regulasi sudah sedemikian kukuh. Rilis terbaru KASN menyebutkan bahwa terkait Pilkada 2020 terdapat 604 pelanggaran netralitas ASN, dan dari jumlah tersebut baru 344 pelanggaran (57%) yang ditindaklanjuti. KASN menduga bahwa rendahnya tingkat tindak lanjut atas pelanggaran tersebut adalah karena adanya konflik kepentingan antara kepala daerah petahana dengan pegawai bersangkutan.

Kondisi tersebut sangat dipengaruhi oleh karakteristik birokrasi kita yang masih dominan dengan nuansa Weberian sehingga memunculkan problem pertanggungjawaban dan akuntabilitas. Dalam konteks birokrasi yang seperti itu, pegawai ASN (public servant) masih dipandang harus bertanggung jawab kepada pejabat politik (democratically elected political leaders). Hal itu dipertegas dengan posisi kepala daerah sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) yang berwenang melakukan promosi, mutasi, dan demosi terhadap seorang ASN. Situasi ini melahirkan pola relasi patron-client dalam birokrasi yang menyebabkan ketidaknetralan pegawai ASN. Kajian KASN di beberapa kota menemukan fakta bahwa mayoritas penyebab pelanggaran netralitas ASN adalah (i) adanya motif untuk mendapatkan/mempertahankan jabatan/materi/proyek, serta (ii) adanya hubungan kekeluargaan/kekerabatan dengan calon.

Untuk itu, upaya-upaya melalui pendekatan legal-rasional perlu melihat relasi kuasa sehingga akar persoalan ketidaknetralan ASN dapat ditemukan dan diselesaikan. Selain itu, pendekatan politik juga perlu digunakan untuk mengatasi persoalan netralitas ASN, tidak hanya politik sebagai lokus pembenahan, tapi juga politik sebagai pendekatan. Politik sebagai lokus pembenahan bertujuan menciptakan ekosistem yang mendukung tumbuhnya netralitas ASN, mulai pembenahan biaya politik yang tinggi hingga peninjauan kembali kedudukan pejabat politik atau kepala daerah sebagai PPK. Survei Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas pelaksanaan pilkada pada 2015, 2017, dan 2018, menemukan fakta bahwa banyak calon kepala daerah memanfaatkan ASN daerah untuk memobilisasi dana pencalonan dan kampanye.

Adapun pendekatan politik dilakukan dengan optimalisasi peran Komite Pengarah Reformasi Birokrasi Nasional (KPRBN) yang diketuai oleh Wakil Presiden, sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden No 8/2020 tentang Komite Pengarah Reformasi Birokrasi Nasional dan Tim Reformasi Birokrasi Nasional 2020–2024. Peran komite ini sangat strategis untuk menetapkan program strategis dan menyelesaikan permasalahan dan hambatan pelaksanaan reformasi birokrasi.

Sementara pendekatan-pendekatan yang bersifat manajerial dan legal-rasional seperti penerapan sistem merit perlu terus diperluas ke seluruh instansi pemerintah. Apalagi per 2018, di level pusat baru ada enam kementerian yang menerapkan sistem merit dengan sangat baik, sedangkan untuk pemerintah provinsi mayoritas masih perlu banyak perbaikan.

Ke depan, Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2021 yang dituangkan dalam Peraturan Presiden No 86/2020, telah menyebutkan persoalan tingginya biaya politik dan netralitas ASN sebagai salah isu strategis yang perlu menjadi perhatian bersama.

Dalam jangka pendek, salah satu agenda penting yang perlu dilakukan, terutama pascapelaksanaan Pilkada Serentak 2020 adalah penjatuhan hukuman disiplin dan/atau sanksi yang tegas atas pelanggaran netralitas ASN dalam pemilihan kepala daerah.( Husni Rohman, Perencana pada Direktorat Aparatur Negara KemenPPN/Bappenas)