AMBON, Siwalimanews – Polda Maluku diminta meng­usut tuntas kasus dugaan pe­nyalahgunaan anggaran dana Covid-19, Kabupaten Maluku Tenggara.

Pasalnya, indikasi korupsi 70 miliar dana Covid sangat jelas, sehingga pe­nanganannya juga haruslah trans­paran.

Menurut praktisi hukum, Fileo Pistos Noija, jika dilihat dari aspek hukum maka indikasi korupsi telah nyata terjadi dalam kasus dana Covid-19 di Kabupaten Maluku Tenggara.

Indikasi korupsi tersebut kata Noija, terlihat dari nilai anggaran covid-19 yang berbeda antara satu instansi dengan yang lain.

“Sebetulnya ada indikasi ada du­gaan terjadi tindak pidana korupsi karena jumlah itu berubah-ubah bukan berubah-ubah turun tapi berubah-ubah naik. Nah persoalannya ialah kenapa ia berubah naik, itu yang menjadi persoalan,” tegas Noija.

Baca Juga: Akademisi Soal Penyalahgunaan Dana Covid & Reboisasi, Jaksa Segera Panggil

Dijelaskan, dalam dokumen perta­ng­gungjawaban keuangan biasanya besaran anggaran diploting satu kali untuk seluruh belanja pemerintah, bu­kan berubah naik.

Indikasi tersebut lanjut Noija, telah membuktikan adanya dugaan tindak pidana korupsi yang terjadi akibat dari penyelewengan jabatan oleh oknum-oknum tertentu di Pemkab Maluku Tenggara.

Dengan adanya fakta anggaran yang berubah-ubah, Noija pun me­minta Ditreskrimsus Polda Maluku untuk segera meminta pertanggung­jawaban oknum-oknum di Pemkab Mal­ra termasuk mantan Bupati Mal­ra dan bagian keuangan yang dipan­dang mengetahui anggaran tersebut.

“Bukan keberanian tapi polisi ha­rus memanggil mereka, supaya ada kepastian penggunaan anggaran tersebut,” jelasnya.

Noija juga mengapresiasi langkah polisi yang telah marathon mema­nggil dan memeriksa 13 OPD, se­hingga dirinya yakin polisi akan memeriksa sejumlah OPD maupun pihak-pihak terkait yang berkaitan dengan kasus ini.

Segera Tuntaskan

Terpisah, Praktisi Hukum Rony Samloy mengatakan kasus dugaan korupsi dana covid-19 sudah men­jadi isu publik dan merupakan kasus yang memang juga terjadi secara masif di seluruh indonesia.

Menurut Samloy, menjadi tang­gung jawab bagi aparat penegak hukum khususnya pihak kepolisian untuk tetap mengusut kasus dugaan korupsi dana covid-19 termasuk yang terjadi di Kabupaten Maluku Tenggara.

“Kasus ini harus diusut sampai tuntas dengan mengumpulkan bukti, meminta keterangan saksi-saksi termasuk menunggu hasil audit baik dari inspektorat maupun BPKP atau­pun BPK dan setelah itu dilanjutkan ada proses yang namanya gelar perkara lalu ditetapkan kemudian menjadi tersangka,” ujar Samloy.

Dijelaskan, semua orang yang ada di balik kasus dugaan korupsi dana Covid-19 harus diproses baik man­tan bupati, mantan wakil bupati wakil bupati bahkan bagian keuangan

“Siapa pun yang terkait dengan proses pengelolaan dan pemanfa­atan dana covid di Maluku Tenggara harus dimintai pertanggung jawa­ban di depan hukum karena tidak ada orang yang kebal hukum di repu­blik,” tegasnya.

Samloy menegaskan persoalan ini harus menjadi catatan, khususnya bagi Ditreskrimsus Polda Maluku agar tidak boleh main-main dengan kasus dugaan korupsi dana Covid-19 di Kabupaten Maluku Tenggara, karena sudah menjadi konsumsi publik  di Maluku.

Seluruh OPD

Diberitakan sebelumnya, penyidik Ditreskrimsus Polda Maluku, marathon menyelidiki kasus dugaan pe­nya­lahgunaan dana Covid 19, di Malra.

Tercatat sedikitnya 13 pimpinan Organisasi Perangkat Daerah di ling­kup Pemerintah Kabupaten Maluku Tenggara telah dimintai keterangan.

Ditreskrimsus Polda Maluku, Kombes Harold Huwae mengatakan, sudah 13 pimpinan OPD yang dimintai keterangan.

Menurut mantan Kapolres Ambon ini, dalam waktu dekat pihaknya akan memanggil 33 OPD lagi untuk dimintai keterangan.

“Masih kurang 33 OPD lagi, panggilan akan dilayangkan,” ung­kap Huwae kepada Siwalima mela­lui pesan Whatsapp, Selasa (31/10).

Ditanyakan soal pemerksaan 13 saksi itu apakah ada temuan yang menjurus kepada perbuatan mela­wan hukum, Huwae menolak berko­mentar dengan alasan masih penye­li­dikan. “Masih lidik,” ujarnya singkat.

70 M Bermasalah

Sementara itu informasi yang diperoleh Siwalima terindikasi ang­garan dana Covid Malra berpotensi korupsi.

Hal ini karena anggaran tersebut mengalami perubahan, dan peru­bahan tersebut juga tidak diketahui pimpinan-pimpinan OPD.

Kepada Siwalima, Selasa (31/10) sumber yang meminta namanya tak dikorankan ini menyebutkan, dalam laporan pertanggungjawaban dana covid anggaran yang awalnya ter­tera sebesar Rp36 miliar di tahun 2020.

Selanjutnya anggaran tersebut direvisi menjadi Rp40 miliar.

“Anggaran total awalnya 36 miliar, kemudian direvisi menjadi 40 milar, dalam dokumen pertanggung­jawaban keuangan pada BPKAD ternyata jumlahnya bukan lagi 40 miliar tetapi naik 96 miliar, berbeda lagi pada laporan pertanggungja­waban bagian Inspektorat anggaran menjadi 110 miliar,” ujar sumber itu.

Sumber ini kemudian memperta­nyakan APBD ditetapkan tahun 2020 lalu datanya bisa berubah-ubah. Dimana tidak ada data tetap refocusing dan alokasi dana Covid tahun 2020 di Kabupaten Malra.

Selain itu dari jumlah anggaran tersebut, lanjut sumber, terindikasi ada selisih 70 miliar yang diduga diko­rupsi namun ada dalam doku­men pertanggungjawaban bagian keuangan Pemkab Malra.

Mirisnya lagi, kata sumber itu, rata-rata pimpinan-pimpinan OPD di lingkup Pemkab Malra sama sekali tidak mengetahui anggaran refocusing dan alokasi dana Covid tersebut.

“Contohnya di Dinas Pendidikan yang tidak ada refocusing namun dalam laporan pertanggungjawaban keuangan ternyata ada, sebesar Rp13 miliar. Sehingga mengindikasi bahwa dokumen ini tidak pernah ada di pimpinan OPD. Dan diduga hanya dipegang oleh bagian keuangan dan bupati saja. Karena kalau dokumen-dokumen itu ada, maka tentunya pimpinan OPD mengetahui,” ujar sumber itu lagi.

Dia menyebutkan bahwa seba­nyak 20 OPD dari 42 OPD di lingkup Pemkab Malra yang refocusing anggaran dana Covid tersebut.

Selain itu, banyak kegiatan yang tidak ada hubungannya dengan Covid dimana kegiatan tersebut murni menggunakan dana APBD Malra, tetapi dalam laporan pertang­gungjawaban justru menggunakan dana covid.

Sekda Digarap

Sebelumnya Sekretaris Daerah Kabu­paten Maluku Tenggara, Ah­mad Yani Rahawarin, diperiksa tim penyidik Ditreskrimsus Polda Ma­luku, Rabu (11/10).

Orang nomor tiga di Kabupaten Malra ini diperiksa oleh Subdit III Tipikor Ditreskrimsus Polda Maluku selama delapan jam, sejak pukul 08.00 hingga 16.15 WIT.

Dia diperiksa terkait dugaan pe­nya­lahgunaan anggaran Covid-19 di Kabupaten bertajuk Larvul Ngabal tersebut.

Tak Bisa Dipertanggung Jawabkan

Seperti diberitakan sebelumnya, penggunaan dana Covid-19 tahun 2020 di Kabupaten Maluku Teng­gara, kuat dugaan tak bisa diper­tanggungjawabkan.

Adapun penggunaan dan peman­faatan anggaran yang berasal dari refocusing anggaran dan realisasi kegiatan pada APBD dan APBD perubahan tahun anggaran 2020 yang digunakan untuk penanganan dan penanggulangan Covid 2019 di Kabupaten Kepulauan Aru berbau korupsi.

Dana Rp52 miliar seharusnya digunakan untuk penanggulangan Cobid-19, dialihkan Bupati Malra untuk membiayai proyek infra­struktur, yang tidak merupakan skala prioritas sebagaimana diamanatkan dalam Instruksi Presiden No 4 Tahun 2020 tentang refocusing kegiatan, realisasi anggaran, dalam rangka percepatan penanganan Covid-19.

Berdasarkan daftar usulan refocusing dan relokasi anggaran untuk program dan kegiatan penanganan Covid-19 Tahun 2020 kepada Men­teri Dalam Negeri dan Menteri Ke­uangan sebesar Rp52 miliar.

Padahal, berdasarkan Laporan Pertanggung Jawaban Bupati Malra tahun 2020, dana refocusing dan realokasi untuk penanganan Covid-19 tahun 2020 hanya sebesar Rp36 miliar, sehingga terdapat selisih yang sangat mencolok yang tidak dapat dipertanggung jawabkan oleh Pemkab Malra sebesar Rp16 miliar.

Anggaran Rp52 miliar itu bersum­ber dari APBD induk senilai Rp3, 833.000.000 pada post peralatan kesehatan sama sekali tidak dapat dirincikan secara pasti jenis barang yang dibelanjakan, jumlah/volume barang dan nilai belanja barang per peralatan, sehingga patut diduga terjadi korupsi.

Selain itu, pada pos belanja tak terduga, pada DPA Dinas Kesehatan TA 2020 senilai Rp5,796.029.278,51 yang digunakan untuk belanja ba­han habis pakai berupa masker kain (scuba) dan masker kain (kaos) sebesar Rp2,6 miliar, sehingga sisa dana pos tak terduga sebesar Rp3. 196.029.278,51, sisa dana ini tidak terdapat rincian penggunaannya se­hingga patut diduga terjadi korupsi yang mengakibatkan kerugian Ne­gara senilai Rp3.196.029. 278,51.

Sesuai dengan laporan hasil pe­meriksaan BPK Perwakilan Maluku atas laporan keuangan Kabupaten Malra TA 2020 menyatakan bahwa, belanja masker kain pada Dinas Kesehatan tidak dapat diyakini kewajarannya.

Sejumlah kejanggalan yang dite­mukan yaitu, pencairan SP2D dari kas daerah dilakukan sebelum ba­rang diterima seluruhnya. Hal ini merupakan bentuk kesalahan yang dapat dikategorikan sebagai dugaan pelanggaran dan/atau perbuatan melawan hukum.

Selanjutnya, pencatatan jumlah barang masuk pada kartu stok tidak sesuai dengan berita acara serah terima. Kesalahan ini tentu merupa­kan bukti otentik adanya sebuah konspirasi melawan hukum yang dilakukan pelaksana pengadaan barang dan pengguna.

Berikutnya tidak dilakukan pe­meriksaan barang secara detail dan menyeluruh. Hal ini merupakan bentuk kesalahan dan bukan kela­laian karena adanya kesengajaan akibat kolusi yang dapat dikate­gori­kan sebagai perbuatan melawan hu­kum yang mengakibatkan kerugian negara, sehingga patut diduga ada­nya korupsi tersembunyi yang dimainkan oleh pihak pengadaan barang dan pengguna barang.

Dengan demikian, diduga terjadi korupsi yang mengakibatkan negara mengalami kerugian sebesar Rp9. 629.029.278,51 yang berasal dari DPA Dinas Kesehatan Kabupaten Malra TA 2020 pada mata anggaran (1) belanja peralatan kesehatan se­nilai Rp3.833.000.000.000. (2) belanja tak terduga untuk belanja masker kain scuba dan kai koas senilai Rp2.600. 000.000 dan sisa dana BTT yang tidak dapat dipertanggung ja­wabkan senilai Rp.3.196.029.278,51.

Tindakan ini dinilai melanggar keputusan bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan No. 119/2813/SJ No:177/KMK 07/2020 tentang Percepatan Penyesuaian APBD Tahun 2020 dalam rangka penanganan Covid serta pengama­nan daya beli masyarakat dan pere­konomian nasional serta Instruksi Menteri Dalam Negeri No: 1 Tahun 2020 tentang Pencegahan Penye­baran dan Percepatan Penanganan Covid di lingkungan Pemerintah Daerah.

Selain itu, bupati diduga secara se­ngaja melakukan perbuatan me­lawan hukum dengan mengabaikan dan/atau tidak mengindahkan kepu­tusan bersama menteri. (S-20)