AMBON, Siwalimanews – Pihak PLN Unit Induk Pemba­ngunan (UIP) Maluku mendukung proses hukum dugaan korupsi pem­belian lahan untuk pembangunan PLTG Namlea.

Asisten Manajer Komunikasi dan Pertanahan PLN UIP Maluku, Afian­di Amin mengakui, pembelian lahan seluas 48.645, 50 hektar di Desa Sawa, Kecamatan Namlea, Kabu­paten Buru Tahun 2016 menggu­na­kan harga pasar, bukan berdasar­kan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).

Soal temuan BPKP merugikan negara Rp 6 miliar lebih, ia mengaku pihaknya belum tahu.

“Terkait masalah audit BPKP, itu kan permintaan dari kejaksaan untuk mencari tahu. Kami dari PLN mengikuti pelaksanaan saja. Informasi terkait hasilnya pun kita saat ini belum tahu dan belum di­sampaikan kepada kami. Kami cuma mengikuti prosedur yang dilakukan kejaksaan untuk proses penyidi­kan,” ujar Afiandi kepada Siwalima, di Ambon, Jumat (20/3).

Afiandi mengatakan, pembelian lahan untuk pembangunan PLTG 10 megawatt di Namlea menggunakan harga pasar yang wajar, dan hal itu sesuai dengan prosedur perundang-undangan.

Baca Juga: Megi Samson Jadi Tersangka, Jaksa Surati Pemprov

“Terkait masalah selisih, masalah tanah itu kan bukan lagi menggu­nakan NJOP. Sekarang kita menggu­nakan nilai pasar wajar. Kami juga belum tahu apa itu masuk dalam bentuk kerugian negara atau apa,” tandasnya.

Ia juga mempertanyakan temuan BPKP termasuk kerugian negara atau bukan. Pasalnya, pihak UIP PLN Maluku sudah melakukan se­suai prosedur.

“Yang kita belum tahu itu hasil dari audit BPKP itu bentuk kerugian negara atau bukan. Sampai sekarang belum ada informasi apa itu betul-betul kerugian negara atau sudah sesuai dengan peraturan yang ada. Itu yang kita belum tahu sampai sekarang,” ujarnya.

Soal langkah yang akan dilakukan PLN, Afiandi mengatakaan, pihak PLN akan mematuhi dan mengikuti proses hukum yang dilakukan oleh jaksa. “Kedepannya gimana-gimana, kita prinsipnya mendukung. Kami meng­ikuti prosedur hukum,” ujar­nya lagi.

Negara Dirugikan 6 Miliar

Seperti diberitakan, hasil audit BPKP Maluku menemukan kerugian negara Rp 6 miliar lebih dalam pem­belian lahan seluas 48.645, 50 hektar di Desa Sawa, Kecamatan Namlea, Kabupaten Buru.

Lahan itu dibeli dari pengusaha Ferry Tanaya untuk pembangunan PLTG  10 megawatt.

Kasi Penkum Kejati Maluku, Samy Sapulette mengaku, hasil audit dari BPKP telah diterima pada Selasa 17 Maret.

“Benar laporan hasil audit peng­hitungan kerugian keuangan negara terkait perkara dugaan Tipikor dalam pelaksanaan pengadaan tanah un­tuk pembangunan PLTG Namlea sudah diterima oleh penyidik,” kata Sapulette, kepada wartawan, di Kantor Kejati Maluku, Selasa (17/3).

Hasil audit itu, kata Sapulette, sementara diteliti dan dikaji oleh tim jaksa penyidik. Langkah selanjut­nya akan ditentukan tim penyidik. “Be­lum penetapan tersangka. Hasil audit baru diterima tadi,”  jelasnya.

Untuk diketahui,  status hukum kasus ini dinaikan ke tahap penyi­dikan sejak akhir Juni 2019, setelah dalam penyelidikan, penyidik Kejati Maluku menemukan bukti­bukti kuat adanya perbuatan melawan hukum yang merugikan negara.

Lahan seluas 48.645, 50 hektar itu, dibeli oleh PT PLN Wilayah Maluku dan Maluku Utara dari pengusaha Ferry Tanaya untuk pembangunan PLTG 10 megawatt.

Sesuai NJOP, lahan milik Ferry Tanaya itu hanya sebesar Rp 36.000 per meter2. Namun jaksa mene­mukan bukti, dugaan kongkalikong dengan pihak PLN Wilayah Maluku dan Maluku Utara yang saat itu dipimpin Didik Sumardi, sehingga harganya dimark up menjadi Rp 131.600 meter2.

“Jika transaksi antara Ferry Tanaya dan PT PLN didasarkan pada NJOP, nilai lahan yang harus dibayar PLN hanya sebesar Rp.1.751.238. 000. Namun NJOP diabaikan,” kata sumber di Kejati Maluku.

PLN menggelontorkan Rp.6.401. 813.600 sesuai kesepakatan dengan Ferry Tanaya. (Mg-2)