AMBON, Siwalimanews – Guru Besar Fakultas Hukum Unpatti, Simon Nirahua dihadir­kan sebagai saksi ahli dalam sidang peninjauan kembali kasus korupsi dalam proyek pengadaan alat-alat laboratorium penga­wetan di Politeknik Negeri Ambon tahun 2009 dengan pemohon, Irfin Latuconsina.

Nirahua menjelaskan, kasus ko­rupsi yang menimpa Irfin Latu­consina harusnya masuk dalam sanksi administratif dan bukan dipidanakan. Pasalnya, dalam ka­sus ini ada perjanjian terhadap keterlambatan barang.

Nirahua menegaskan, harus­nya kasus ini masuk dalam instrumen hukum administrasi.

“Bahwa jika ada perjanjian, kita harus lihat perjanjian itu dulu. Maka ini dikenakan sanksi adminitrasi jika terjadi keterlambatan barang. Ini juga ada undang-undang yang mengatur,” ujarnya.

Menurut Nirahua, perjanjian itu dibuat antara perjabat publik dan pihak swasta, maka instrumen yang digunakan adalah instrumen private, tetapi tetap dalam kewenangan sebagai pejabat publik dalam ilmu hukum administrasi.

Baca Juga: Polres Buru Serahkan Dua Tersangka Narkoba ke Kejari

Lanjutnya, hal itu diatur dalam UU Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

Nirahua berujar, meskipun UU lahir setelah perkara ini tapi konstruksinya bisa tetap digunakan.

“Hal itu berkaitan dengan APIP soal seluruh pengawasan anggaran agar tidak terjadi kesalahan administrasi,” katanya.

Bisa saja, pemohon membayar sejumlah sanksi administrasi lalu mengajukan gugatan di PTUN terkait apakah Kejati menyalahgunakan kewenangan atau tidak. Karena adendum itu kekuatannya sama dengan perjanjian asli.

Hal yang sama juga pernah disampaikan penasehat hukum Latuconsina. Mereka menyebut, ada tindakan kesewenang-wenangan pihak kejaksaan. Menurut mereka, perkara ini harusnya sanksi administratif bukan dipidanakan.

“Saat BPKP mengaudit pekerjaannya belum selesai, harusnya dikeluarkan pembayaran denda. Jadi, ketika dasarnya hasil audit BPKP itu keliru,” kata penasehat hukum Latuconsina, Afif Amrullah.

Amrullah menyebut, perkara ini hanya persoalan barang yang dikirim dari Amerika, bukan kekurangan volume. Tidak logis, bila perkara ini dibebankan kepada Irfin.

Sebelumnya, dia mengaku telah menyerahkan kepada majelis hakim diketuai Jenny Tulak tiga bukti yang merupakan bukti baru alias novum.

“Ada bukti serah terima barang, pengembalian bunga, dan adendum,” ujarnya.

Saat penyidikan itu, lanjutnya, adendum belum selesai, tapi jaksa sudah penyidikan. Dia menuturkan, proyek harusnya selesai pada Desember 2009, lalu diperpanjang hingga Maret 2010.

Hal tersebut karena barang belum tersedia. Lalu, ada permohonan dari PT Citra untuk perpanjangan menyediakan barang. Saat proses itu, uang yang ditransfer diblokir.

“Pihak politeknik yang blokir, jadi tidak bisa digunakan. Saat itu juga dikenai bunga sekitar Rp 13 juta, uang yang diblokir itu Rp 500 juta,” lanjutnya.

Dia menambahkan, padahal surat mengirimkan suat belum bisa menyediakan  barang. Lanjutnya, setelah ada putusan bebas, barang lalu tersedia.

Hal yang ingin saya sampaikan adalah dalam surat perjanjian kerja mengatakan ketika terjadi keterlambatan maka berlaku denda, ujarnya.

Irfan Latuconsina, terpidana korupsi dalam anggaran proyek pengadaan alat-alat laboratorium pengawetan di Politeknik Negeri Ambon pada 2009, mengajukan peninjauan kembali (PK) atas kasusnya.

Alasan Latuconsina mengajukan PK, karena ditemukannya bukti baru atau novum ada pertentangan putusan dengan yang lain; dan terakhir “ada kekhilafan hakim.”

Dia berharap lewat PK ini bebas. Pada sidang nanti dia akan membuktikan dakwaan tidak terbukti dan dakwaan yang dianggap terbukti itu salah.

Jaksa Penuntut Umum dalam kasus ini membantah dalil dari bukti yang diajukan pemohon.

“Novum mereka itu ada adendum kontrak. Tapi itu kan sudah melewati tahun anggaran. Proyeknya 2009, bukti mereka ini tahun 2012. Makanya kami tolak,” kata Ruslan Marasabessy, Jaksa sekaligus Kasi Pidsus Kejari Ambon itu.

Seperti diketahui, Latuconsina merupakan terdakwa kasus korupsi dalam anggaran proyek pengadaan alat-alat laboratorium pengawetan di Politeknik Negeri Ambon pada 2009. Kejaksaan pernah menahan Latuconsina pada tahun 2010.

Namun, hakim Pengadilan Negeri Ambon memutuskan dia bebas dari tuntutan karena perbuatan itu bukan perbuatan pidana.

Kejaksaan lalu mengajukan kasasi  terhadap kasus Latuconsina ke Mahkamah Agung. Pada 16 Januari 2013, Majelis menerima kasasi itu.

Majelis hakim memvonis Latuconsina 6 tahun penjara dan harus membayar Rp 200 juta. Selain itu, Latuconsina wajib membayar uang pengganti senilai Rp 533.064.543 atau subsider dua tahun penjara.

Setelah putusan tersebut, pihak kejaksaan belum menerima salinan putusan. Sehingga tidak menahan Latuconsina. Setelah mendapat putusan itu, Latuconsina diketahui berada di Namrole.

Pihak kejaksaan pun pergi ke Namrole dan mengeksekusi Latuconsina. Latuconsina lalu ditahan di rutan Ambon sejak 30 Agustus 2020 lalu. Namun, Latu­-consina mengajukan PK secara langsung ke PN Ambon. (S-49)