DI penghujung 2022, Presiden secara mengejutkan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2/2022 tentang Cipta Kerja. Melalui Menko Perekonomian, Menko Polhukam, dan Wamen Hukum dan Ham, peme­rintah menjelaskan perppu tersebut diterbitkan atas pertimbangan kebutuhan mendesak untuk mengantisipasi kondisi global, baik ekonomi maupun situasi geopolitik.

Selain itu, Menko Perekonomian juga menuturkan penerbitan perppu dimaksud juga disebabkan karena Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 telah memengaruhi perilaku dunia usaha, baik di dalam maupun luar negeri. Pernyataan itu dapat dimaknai pemerintah telah menganggap putusan MK yang menyatakan proses pembentukan UU Cipta Kerja yang bertentangan konstitusi itu telah ‘menimbulkan masalah’ bagi dunia usaha. Dengan begitu, presiden menganggap perlu menerbitkan perppu, Jumat (30/12/2022).

Penjelasan Menko Perekonomian tersebut perlu dibandingkan dengan konsideran menimbang yang dimuat dalam Perppu Nomor 2/2022. Dari sembilan pertimbangan substantif yang ada, lima di antaranya merupakan pertimbangan yang sama dengan konsideran pembentukan UU Nomor 11/2020 tentang Cipta Kerja. Dua pertimbangan substantif yang baru hanya dua. Pertama, perppu diterbitkan untuk melaksanakan Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 dengan cara melakukan penggantian terhadap UU Nomor 11/2020. Kedua, perppu diterbitkan karena alasan dinamika global yang disebabkan terjadinya kenaikan harga energi dan harga pangan, perubahan iklim, dan terganggunya rantai pasokan telah menyebabkan terjadinya penurunan pertumbuhan ekonomi dunia yang berdampak secara signifikan terhadap perekonomian nasional.

Pertanyaannya, apakah alasan yang dikemukakan pemerintah dan apa yang dituangkan dalam konsideran menimbang Perppu Nomor 2/2022 dapat diterima sebagai alasan terbitnya sebuah perppu?

Alasan konstitusional

Baca Juga: Politik Cair Menyejukkan

Perppu Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 secara eksplisit menyatakan perpu hanya dapat ditetapkan Presiden apabila terjadi kondisi yang dikategorikan sebagai hal ihwal kegentingan yang memaksa. Sebagai penafsir konstitusi, MK melalui Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009 memberikan penafsiran terhadap Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 dalam rangka memberi panduan terhadap penerbitan perppu. Dalam putusan tersebut, MK menyatakan sekalipun menerbitkan perppu menjadi wewenang Presiden, penilaian subjektif Presiden mesti didasarkan pada keadaan yang objektif.

Keadaan objektif tersebut dirumuskan MK dalam tiga parameter ada atau tidaknya ihwal kegentingan memaksa, yaitu: (1) adanya keadaan berupa kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan UU, (2) UU yang dibutuhkan belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau UU yang ada tidak memadai, dan (3) kekosongan hukum tidak dapat diatasi dengan cara membuat UU dengan prosedur biasa karena keadaan mendesak tersebut perlu kepastian untuk segera diselesaikan. Apakah terbitnya Perppu Nomor 2/2022 telah memenuhi parameter kegen­tingan memaksa tersebut?

Perlu diingat bahwa substansi yang dimuat dalam Perppu Nomor 2/2022 sama persis dengan muatan UU Nomor 11/2020. UU Nomor 11/2020 dibentuk menggunakan mekanisme pembentukan UU biasa. Dengan demikian, substansi yang diatur dalam Perppu Nomor 2/2022 sesungguhnya ialah materi muatan UU yang dapat dibahas menggunakan mekanisme pembentukan UU dalam kondisi normal. Artinya, materi yang dimuat di dalamnya tidak termasuk dalam kategori kebutuhan hukum mendesak yang harus segera dipenuhi dengan membentuk perppu.

Sejalan dengan itu, seluruh materi muatan yang diatur da­lam perppu dimaksud juga telah ada UU yang ada dan diubah de­ngan perppu. Artinya, sama sekali tidak terdapat kekosongan hukum yang mesti diisi dan dijawab dalam waktu segera sebab dengan UU yang ada, kebutuhan hukum yang diperlukan untuk berjalannya kehidupan bernegara dan bermasyarakat masih memadai. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa hadirnya Perppu Nomor 2/2022 pada dasarnya tidak memenuhi kualifikasi adanya ihwal kegentingan yang memaksa.

Melaksanakan Putusan MK?

Lalu, apakah benar perppu tersebut dibentuk da­lam rangka melaksanakan Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 sebagaimana diklaim dalam konsi­deran menimbang huruf f Perppu Nomor 2/2022? Se­ba­gaimana diketahui, putusan MK di­maksud meru­pakan putusan pengujian formil UU Nomor 11/2020. Melalui putusan tersebut, MK me­nya­takan bahwa proses pembentukan UU Cipta Kerja melanggar konstitusi karena metode pemben­tukannya tidak sesuai dengan konstitusi. Selain itu, pembentukan UU tersebut juga dinilai tidak me­nyediakan ruang partisipasi bermakna bagi masyarakat.

Jika proses pembentukan UU Cipta Kerja yang dinyatakan bermasalah dan pemerintah meres­ponsnya dengan menerbitkan perppu, lalu bagian mana dari putusan MK tersebut yang hendak ditindaklanjuti Perppu Nomor 2/2022? Bukankah perppu diterbitkan tanpa partisipasi publik? Jangankan publik, lembaga perwakilan rakyat tidak terlibat secara formal untuk terbitnya sebuah perppu. Lalu, dalam konteks apa sesungguhnya perppu ini bisa diklaim sebagai langkah untuk melaksanakan putusan MK? Bila hanya dicantumkan dalam konsideran, tentu tidak dapat disimpulkan perppu ini telah menindaklanjuti putusan MK, bukan?

Jika klaim tindak lanjut putusan MK tersebut berkenaan dengan metode pembentukan UU, tentu menjadi tidak relevan untuk perppu ini. Hal itu sudah ditindaklanjuti pemerintah dan DPR dengan melakukan perubahan terhadap UU PPP. Salah satu materi muatan yang diadopsi ialah cara pemben­tukan/perubahan UU menggunakan metode omnibus law. Metode itu pun digunakan untuk membentuk Perppu Nomor 2/2022.

Hanya saja, pada aspek memilih bentuk hukum perppu untuk memungut kembali UU Cipta Kerja, pemerintah pada dasarnya tidak sedang melak­sanakan putusan MK. Pemerintah justru cenderung membelakangi putusan MK yang mengharuskan adanya partisipasi bermakna dalam pembentukan UU. Jadi, pencantuman melaksanakan putusan MK dalam konsideran menimbang perppu tersebut tidak lebih dari sekadar basa-basi.

Bila ingin regulasi Cipta Kerja ini diterapkan dengan penerimaan lebih masif di kalangan masyarakat dan sejalan dengan putusan MK, sepantasnya peme­rintah sedikit bersabar. Bukankah metode omnibus law telah diakomodasi dalam UU PPP? Pemerintah hanya tinggal melakukan tahapan pembentukan UU Cipta Kerja sesuai UU PPP yang baru. Sayangnya, pemerintah justru memilih jalan pintas dengan menerbitkan perppu.

Jalan pintas yang dipilih pemerintah untuk menerbitkan perppu mengandung cacat yang sangat mungkin dipersoalkan melalui pengujian perppu ke MK. Dalam pengujian tersebut, MK akan menilai apakah parameter ihwal kegentingan memaksa yang menjadi alasan terbitnya Perppu Nomor 2/2022 sudah terpenuhi atau tidak. Bila MK menilai ihwal kegen­tingan memaksa tidak terpenu­hi dalam pembentukan Perppu Nomor 2/2022, untuk kedua kalinya UU/Perppu Cipta Kerja akan pupus di meja para pe­ngawal konstitusi. Hanya saja, itu hanya mungkin terjadi jika kemandirian MK dalam menguji perppu tidak dintervensi dengan ancaman ‘diaswantokan’.

Selain itu, cacat pembentukan Perpu Nomor 2/2022 juga dapat dikoreksi DPR melalui wewenang yang diatur dalam Pasal 22 ayat (2) UUD 1945. Hanya saja, dengan konfigurasi dan sikap politik DPR akhir-akhir ini, sulit mengharapkan DPR dapat melakukan koreksi terhadap alasan ihwal kegentingan memaksa terbitnya perppu ini.Oleh: Khairul Fahmi Dosen HTN Fakultas Hukum Universitas Andalas. (*)