MESKI kasus covid-19 kini terus melandai dan secara perlahan memasuki era endemi, beban hidup masyarakat tampaknya masih tertekan. Hal itu, antara lain disebabkan saat memasuki era endemi, harga barang dan jasa melambung tinggi. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebutkan fenomena itu sebagai pergeseran tantangan dari pandemi ke kenaikan harga barang dan jasa. Secara faktual, pembatasan sosial pada saat pandemi dan kini meningkatnya harga barang dan jasa menyebabkan daya beli masyarakat kian merosot. Menurunnya daya beli masyarakat tidak hanya berpotensi meningkatkan angka kemiskinan, tetapi juga mendistorsi pemulihan ekonomi, terutama akibat turunnya konsumsi masyarakat. Padahal, konsumsi masyarakat merupakan komponen penting dalam menggerakkan kegiatan ekonomi sehingga diharapkan dapat memenuhi target pertumbuhan ekonomi pada 2022 di atas 5%. Maka, untuk mempertahankan daya beli masyarakat, pemerintah kini berupaya keras melakukan penebalan perlindungan sosial.

Sejumlah program perlindungan sosial bagi penduduk yang membutuhkan kini digulirkan, seperti kartu sembako, BLT minyak goreng, bantuan subsidi upah, dan usulan bantuan usaha mikro. Sejatinya memang penyediaan anggaran perlindungan sosial merupakan suatu keniscayaan, bukan hanya karena akibat kenaikan harga barang dan jasa dan kondisi ekonomi memburuk, melainkan juga dalam kondisi normal. Hal ini mengingat harapan akan terjadinya tetesan ke bawah (trickle down effect) menurut Mchael C dalam jurnal Finance and Development (2018) hingga kini sulit diwujudkan. Bahkan, penduduk kaya ditengarai semakin kaya, sebaliknya penduduk miskin kian terpuruk sehingga teori tetesan ke bawah itu kini dianggap sebagai mitos belaka.

Secara faktual, hal itu sekaligus mengisyaratkan bahwa upaya pemerintah untuk mengejar pertumbuhan ekonomi perlu dilakukan secara paralel dengan penebalan perlindungan sosial, yang diharapkan tidak hanya berlaku pada masa pandemi. Dengan cara itu, diperkirakan beban hidup penduduk miskin dapat berkurang. Bahkan, diharapkan cara itu dapat mewujudkan keterkaitan yang saling menguatkan (mutually reinforcing), antara pertumbuhan ekonomi dan perlindungan sosial sehingga semakin mempercepat penurunan angka kemiskinan.

Urgensi kesehatan Namun, dengan mencermati paket program perlindungan yang digulirkan pemerintah, mayoritas program tampaknya hanya mencakup sebagian dari perlindungan sosial. Padahal, cakupan perlindungan sosial cukup banyak, seperti kesejahteraan penduduk lanjut usia, perawatan kesehatan, disabilitas, eksklusi sosial, perumahan, dan keselamatan penduduk (survivors), yang semuanya membutuhkan pemulihan akibat dampak covid-19. Salah satu aspek yang kini perlu mendapat perhatian serius ialah aspek kesehatan. Terkonsentrasinya perhatian pemerintah pada penanganan covid-19, ditengarai menyebabkan berkurangnya kegiatan pemeliharaan kesehatan masyarakat. Dikhawatirkan, dengan berkurangnya pemeliharaan masyarakat, pada gilirannya akan menyebabkan kerentanan terhadap serangan penyakit sehingga menurunkan derajat kesehatan penduduk. Padahal, aspek kesehatan merupakan salah satu faktor penentu kapabilitas penduduk selain aspek pendidikan dalam beraktivitas dan bekerja. Bahkan, suatu negara yang mayoritas tenaga kerjanya berpendidikan rendah dan bertumpu pada kekuatan fisik seperti halnya Indonesia, aspek kesehatan merupakan faktor penentu dalam meningkatkan produktivitas nasional sebab bagaimana mungkin penduduk mampu berusaha dan bekerja secara optimal jika kondisi fisiknya lemah, sakit-sakitan, dan memerlukan perawatan kesehatan? Hal itu, pada gilirannya akan mempersulit pemulihan ekonomi yang kini tengah gencar dilakukan pemerintah.

Soal alokasi dana Maka, penebalan perlindung­an sosial sepatutnya perlu dilakukan secara bersamaan dengan peningkatan derajat kesehatan penduduk. Jelasnya, penebalan dana perlindungan sosial tidak membiarkan alokasi dana perlindungan kesehatan tetap tipis. Hal itu tidaklah mengada-ada, mengingat hingga kini alokasi anggaran kesehatan di Tanah Air tergolong kecil. Padahal, sejumlah negara dengan pendapatan per kapita di bawah Indonesia mampu mengalokasi­kan anggaran kesehatan yang jauh lebih besar, seperti Ekuador dan Tunisia. Ekuador dengan pendapatan per kapita/tahun sebesar US$11.044 mampu mengalokasikan anggaran kesehatan per kapita/tahun sebesar US$955. Sementara itu, Tunisia dengan pendapatan per kapita/tahun sebesar US$10.414 mengalokasikan dana kesehatan per kapita/tahun sebesar US$912, sedangkan Indonesia, dengan pendapatan per kapita/tahun lebih besar, yakni US$11.459 hanya mampu mengalokasikan anggaran kesehatan per kapita/tahun sebesar US$375 (en Wikipe­dia>wiki>list ­of countries by total health dan UNDP, Human Development Report, 2020).

Baca Juga: Komnas Perempuan dan Pengawasan UU No 12/2022 tentang TPKS

Alokasi anggaran kesehatan yang cukup besar, pada contoh Ekuador dan Tunisia itu secara faktual berjalan seiring dengan pencapaian angka umur harapan hidup yang tinggi di kedua negara itu. Adapun angka umur harapan hidup di Ekuador 77,0 tahun dan Tunisia 76,7 tahun, sedangkan angka umur harapan hidup di Indonesia jauh lebih rendah, yakni 71,7 tahun (UNDP, 2020). Patut diketahui, pencapaian angka umur harapan hidup merupakan indikator kinerja utama aspek kesehatan. Secara faktual, alokasi anggaran di sektor kesehatan merupakan investasi dengan pengembalian yang amat besar.

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia/WHO (2004), rasio alokasi anggaran kesehatan dengan pengemba­liannya bisa mencapai satu berbanding lima (1:5). Hal itu sekaligus menegaskan bahwa Indonesia perlu meningkatkan alokasi anggaran kesehatan­nya sehingga dapat mempercepat pemulihan ekonomi. Bahkan, penebalan anggaran kesehatan diyakini tidak hanya dapat mempercepat pemulihan ekonomi, akan tetapi juga secara perlahan dapat mewujudkan kemandirian sehingga pada waktunya dapat mengurangi ketergantungan terhadap bantuan sosial dari pemerintah.Oleh: Razali Ritonga Pemerhati Fenomena Sosial-Kependudukan, Alumnus Georgetown University, AS, dan Lemhannas RI Angkatan Ke-46.