SEJAK Anies Baswedan diumumkan sebagai calon presiden (capres) Partai NasDem, situasi politik terlihat lebih beriak. Beberapa figur mulai berani menyatakan kesanggupan sebagai capres alternatif. Sementara itu, di sudut lain, partai tertentu terlihat bimbang menentukan capresnya karena ketua umum partai terlihat membuang waktu atau bahkan memiliki preferensi politik berbeda.  Sikap berbeda pilihan capres itu membawa ketegangan tersendiri. Presiden Joko Widodo saja terbawa perasaan dengan meminta Partai Golkar tidak terburu-buru menentukan capresnya. Namun, tiba-tiba Presiden Jokowi malah kesusu dengan menyatakan bahwa berikutnya ialah ‘jatah’ Prabowo sebagai presiden. Jadi, itu bukan soal ketidaksabaran Partai NasDem menentukan calon, melainkan partai mana yang lebih gesit menentukan capres sebagai persiapan menghadapi Pemilu 2024.

Kondisi itu dapat menjadi dilema tidak sehat bagi demokrasi. Padahal, tahapan pemilu sudah berjalan. Apa salahnya menentukan capres? Bahkan, secara matematika pemilu, penentuan capres pada saat ini sudah cukup terlambat sebab partai tidak sekadar harus menghitung terpenuhinya syarat ambang batas pencalonan presiden dan komposisi koalisi yang tepat, tetapi juga mesti bersiap mematangkan strategi pemenangan, model kampanye yang tepat, dan menyusun tim sukses yang solid.

Ada ego Jika jeli mengamati, keterlambatan partai menentukan capres disebabkan ego kader elite partai. Sebagian elite partai berharap dapat merekayasa pencalonan dan memenangi pemilu presiden. Meski tidak ditentukan seluruh kader, elite partai tertentu merasa paling berhak mengendalikan siapa saja yang berhak menjadi capres. Dengan begitu, pemenang sudah dapat ditentukan sebelum hari H pemilu berlangsung.   Pertarungan elite itu akan menyita waktu. Partai NasDem tentu akan mengalami serangan-serangan politik dan hukum. Konsekuensi itu dalam politik kepemiluan dapat berbuah manis dengan meningkatnya simpati pemilih. Itu sebabnya sikap segera menentukan capres dapat membuyarkan konsolidasi yang belum tuntas partai-partai lain.

Padahal, pilihan partai menunda pengumuman capres tidak rasional. Apalagi alat ukurnya masih ada elite partai yang berniat menjadi capres. Sementara itu, jika partai logis yang dibaca ialah data survei preferensi pemilih. Meski Partai NasDem telah bersikap, pilihan itu harus berhadapan dengan ambang batas pencalonan presiden yang membutuhkan koalisi dengan partai lain. Tentunya hal itu agar perahu 20% kursi DPR atau 25% suara sah dapat terpenuhi.  Soliditas partai pengusung harus segera dituntaskan jika menginginkan dampak elektoral yang terbagi rata antara partai-partai pendukung capres. Kian lama koalisi menentukan sikap, dampak elektoral seperti efek ekor jas tuksedo (coat tail effect) hanya akan dinikmati partai yang sungguh-sungguh mengajukan capres. Teori efek ekor jas menjelaskan bahwa partai pengusung akan mendapatkan perimbangan keterpilihan pada kursi parlemen dengan suara yang diperoleh capres. Tentu saja antitesis teori itu ialah partai yang identik dengan capres tertentu. Jika berbalik arah,akan mem­buyarkan tingkat keterpilihannya.

Teori efek ekor jas belum terbantahkan sejauh ini. Misalnya, Partai Gerindra memperoleh manfaat dari efek ekor jas itu pada Pemilu 2019. Gerindra berada pada tiga besar partai mayoritas parlemen akibat pengaruh capresnya yang populer saat itu. Kondisi sama juga dirasakan Partai Demokrat yang menguasai parlemen karena popularitas Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang meningkat pada Pemilu 2009. Pembelajaran dari fakta politik tersebut ialah partai tidak boleh terkukung hasrat elite. Partai harus membaca kebutuhan pemilih jika tidak ingin mengalami dua kerugian, yaitu telat menemukan capres mumpuni dan telat memetakan kemenangan pemilihan legislatif (DPR, DPRD provinsi dan kabupaten/kota). Penentuan capres tentu berimbas pada persiapan akar rumput partai memenangi pemilihan legislatif.

Baca Juga: Politik Identitas dan Dunia yang Berubah

Calon anggota legislatif akan membawa capres partainya ke daerah-daerah pemilihan. Popularitas capres akan berdampak kepada mereka. Lebih jauh, suara yang diperoleh partai untuk parlemen daerah akan menentukan proses pemilihan kepala daerah November 2024. Kematangan menentukan capres akan menimbulkan efek domino serius bagi partai.  Efek domino itu bukan tidak disadari partai. Itu sebabnya partai pemerintah meminta partai koalisinya menunda penentuan capres. Padahal,kebijakan itu dapat merugikan partai menengah ke bawah. Dengan kemampuan yang terbatas, partai menengah-bawah tidak mungkin ‘berlari’ dari garis start yang sama. Kompetisi politik yang sehat itu harus membuka kesempatan bagi partai lain berkembang lebih baik. Ini jelas dilema politik dalam penentuan capres.

Capres terbaik Seluruh partai mengalami kesulitan merancang demokrasi internal dalam penentuan capres. Tidak satu pun partai dapat menentukan capres dengan melibatkan banyak orang. Akibatnya, partai perlu mencari alternatif untuk menemukan capres yang sesuai dengan akar rumput, baik kader partai itu sendiri maupun para pemilih. Pengalaman demokrasi sistem presidensial di Amerika perlu dipertimbangkan sebagai pilihan, tentu saja ciri keindonesiaan perlu dipertahankan. Peran elite dalam penentuan capres juga bagian dari sejarah Amerika. Sejak 1830-an, capres Amerika ditentukan melalui konvensi nasional partai. Elite yang tersentralistik menentukan arah penentuan capres.  Perubahan terjadi pada 1970-an ketika capres ditentukan berdasarkan suara organisasi partai setiap negara bagian. Partai di negara bagian memilih delegasi untuk memberikan suara pada konvensi nasional partai. Konsep ini acap kali menimbulkan sengketa internal partai karena delegasi cenderung menyimpang­kan pilihan. Persis sama dengan yang terjadi di Indonesia dalam kongres partai-partai tertentu yang kadang berujung perpeca­han partai.  Saat ini, di Amerika, partai di negara bagian cenderung melaksanakan pemilihan penda­huluan untuk capres (presidential primaries) untuk mengukur tingkat preferensi pemilih internal dan masyarakat luas. Hasilnya akan dibawa ke konvensi nasional partai. Konsep tersebut berlang­sung terbuka dan capres tidak mungkin mengandalkan peran elite semata, tetapi juga harus mampu mengesankan pemilih internalnya terlebih dulu sebelum dipilih masyarakat luas. Dengan begitu, capres yang keluar dipas­tikan memiliki kapasitas di atas rata-rata. Model konvensi Amerika memang pernah diterapkan bebe­rapa partai Indonesia. Gagal kare­na memang diselenggarakan atas nama kepentingan elite. De­ngan waktu yang teramat pendek, secara logis, tidak mungkin bagi partai untuk melaksanakan konsep Amerika itu. Pilihan partai ialah memastikan capres pilihan elite agar sesuai dengan aspirasi pemilih, apakah melalui survei atau ‘memeras’ big data. Yang jelas, siapa pun capres yang akan memenangi 2024, ialah capres yang dekat dengan pilihan rakyat. Elite partai yang jeli akan mengumumkan capres rakyat itu sebelum terlambat. Itulah capres yang terbaik bagi rakyat.Oleh: Feri Amsari Dosen hukum tata negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas, LHKP PP Muhammadiyah.