TIGA tahun pandemi covid-19, selain memilukan, rupanya membawa hikmah. Salah satu hikmahnya ialah meningkatnya kesadaran tentang pola hidup sehat, termasuk menerapkan pola makan sehat. Menurut hasil survei Kerry Indonesia, produsen bahan makanan yang berpusat di Irlandia, ada tiga kelompok alasan mengapa seseorang memilih untuk mengonsumsi makanan sehat, yaitu untuk kesehatan tubuh, untuk kesehatan bumi dan lingkungan, dan karena alasan diet. Salah satu penerapan pola makan sehat yang sekarang sedang ngetren ialah mengonsumsi makanan berbahan nabati. Masyarakat modern semakin memperhatikan soal makanan sehat. Muncul berbagai gerakan makan sehat yang mengatur jenis makanan apa saja yang wajib dikonsumsi dan apa yang harus dihindari. Lalu, bagaimana mengatur frekuensi dan waktu makan. Kesadaran untuk mengonsumsi makanan sehat ini, sering kali membatasi kesenangan atau selera terhadap jenis makanan tertentu. Setiap orang mempunyai selera yang berbeda-beda.

Ada yang sangat suka masakan berbahan daging karena rasanya lezat dan tidak suka sayur-mayur. Sebaliknya, ada juga yang lebih suka sayur-mayur dan tidak suka daging. Ada juga yang suka campur sari atau campuran keduanya. Sejalan dengan semakin merebaknya gaya hidup sehat, akhir-akhir ini makanan nabati semakin populer dan ngetren. Alasannya beragam, tetapi umumnya makanan nabati seperti sayuran dan buah dipercaya sebagai makanan yang lebih menyehatkan dan minim risiko jika dibandingkan dengan makanan hewani. Ada juga yang beralih ke makanan nabati karena ingin mengurangi kegemukan atau karena alasan etika. Apa pun motivasinya, memperbanyak makanan nabati dan mengurangi makanan hewani akan membawa manfaat bagi kesehatan tubuh. Untuk itu, beberapa hal berikut perlu untuk diketahui.   Vegan, vegetarian, flexitarian Apa yang dimaksud dengan makan makanan berbasis tumbuhan? Dari namanya saja, itu berarti makan makanan sehari-hari yang tumbuhnya di tanah, meliputi buah-buahan, sayuran, dan biji-bijian. Kacang-kacangan, polong-polongan, dan biji-bijian, misalnya, memiliki kandungan protein yang sangat diperlukan untuk pertumbuhan dan regenerasi sel manusia. Tentu saja, makanan nabati tidak hanya mengandung protein, tetapi juga unsur makro dan mikro serta berbagai senyawa yang bermanfaat bagi pertumbuhan dan kesehatan manusia.

Secara umum, orang yang mengonsumsi makanan nabati bisa dikelompokkan menjadi tiga tipe: vegan, vegetarian, dan flexitarian. Tipe vegan sangat ketat membatasi, sama sekali tidak mengonsumsi produk makanan hewani atau yang berasal dari hewan, termasuk telur. Mereka yang menerapkan pola itu umumnya karena alasan etika atau moral. Prinsipnya, membunuh makhluk hidup yang bergerak untuk dikonsumsi, dianggap sebagai perbuatan menyakiti dan kurang bermoral. Ada juga peminat vegan karena alasan kesehatan, yang meyakini bahwa makanan yang berasal dari tumbuhan dalam jangka panjang jauh lebih menyehatkan daripada makanan hewani. Sementara itu, tipe vegetarian tidak makan daging hewan, tetapi masih toleran mengonsumsi makanan nondaging yang berasal dari hewan seperti susu dan telur atau produk turunannya seperti yoghurt dan kefir. Tipe itu disebut vegetarian lacto-ovo. Ada juga vegetarian lacto yang mengonsumsi susu, tetapi berpantang telur. Sebaliknya, vegetarian ovo mengonsumsi telur, tetapi berpantang susu. Di luar itu, ada juga tipe vegetarian pesco yang mengonsumsi ikan dan vegetarian pesco-pollo yang mengonsumsi ikan dan ayam. Jadi, tipe vegetarian itu boleh dibilang tidak ekstrem antimakanan hewani, masih ada toleransi. Di luar itu, masih ada lagi yang disebut sebagai tipe flexitarian yang tampaknya lebih menye­nangkan.

Dikutip dari Kompas.com, flexitarian adalah pola makan yang bisa dibilang fleksibel, boleh mengonsumsi makanan nabati dan hewani, hanya makanan nabatinya porsinya lebih banyak ketimbang makanan hewani. Tampaknya, inilah tipe yang paling longgar sehingga banyak peminatnya. Jika menggunakan tahapan, flexitarian ialah tahapan menuju vegetarian dan vegetarian ialah tahapan menuju vegan.   Sehatnya makanan nabati Mayoritas makanan nabati itu sehat. Namun, jika diproses dengan tambahan bahan lain bisa menjadi tidak sehat, terlebih bagi penderita sakit tertentu seperti gagal ginjal. Contoh beragam camilan, seperti keripik kentang dan berbagai keripik atau gorengan lainnya yang berbahan dasar umbi-umbian. Namun, bahan-bahan tersebut mengalami proses penambahan bahan lain seperti garam, gula, dan micin (Monosodium glutamate) dengan kadar berlebihan, kemudian dibekukan, dan digoreng dengan minyak suhu tinggi. Makanan olahan seperti ini bisa dikatakan tidak sehat. Bahkan, potensial menaikkan kadar garam dan gula dalam darah, yang pada akhirnya bisa memicu sederetan penyakit seperti hipertensi dan diabetes, yang salah satu akibatnya bisa mengancam ginjal. Bahkan, makanan standar yang biasa dikonsumsi mereka yang menjalankan vegan, banyak yang ditambahi zat stabilisator atau bahan tambahan lain agar teksturnya menggiurkan dan rasanya lezat menggugah selera. Makanan dalam bentuk alami yang belum diproses dan dilucuti nutrisinya, umumnya mengandung tiga komponen utama: protein, serat, dan fitonutrien (senyawa alami yang diproduksi tanaman untuk melindunginya dari hama dan jamur).

Kandungan fitonutrien ini sangat berlimpah dalam buah-buahan, biji-bijian, serta kacang-kacangan. Memproses atau memasak makanan nabati, sebisa mungkin meminimalkan rusaknya tiga komponen utama itu. Merebus sayuran misalnya, jangan sampai klonyot (lembek), cukup sebentar saja agar tidak banyak kandungan nutrisi yang rusak. Seberapa sehat makanan nabati? Kita sering mendengar tentang risiko serangan jantung, strok, kanker, dan kematian dini. Dengan makan makanan nabati, mesin metabolisme tubuh semakin sehat sehingga dapat meningkatkan kerja homeostasis (keseimbangan tubuh). Ujungnya, bisa menurunkan risiko serangan jantung, strok, kanker, dan kematian dini. Ada meta-analisis dari 95 studi yang melaporkan manfaat makan makanan nabati: mengonsumsi 800 gram buah dan sayur per hari dapat mengurangi risiko penyakit jantung dan kematian. Sementara itu, mengonsumsi 600 gram buah dan sayur dapat mengurangi risiko kanker (Aune dkk. 2017, Int J Epidemiol). Studi lain melaporkan, konsumsi makanan nabati juga dapat menurunkan angka kematian akibat penyakit jantung koroner (Jafari dkk. 2021, Crit Rev Food Sci Nutr). Menurut pakar nutrisi Universitas Gadjah Mada Harry Freitag LM, makanan yang dicerna di usus selalu dimonitor oleh otak kita. Proses ini terjadi karena adanya respons sistem saraf di dekat mukosa usus, yang menginformasikan ke otak untuk mengatur jumlah makanan, kadar gula darah, glukosa, dan produksi gula di hati.

Baca Juga: Paus Fransiskus, Ahmed Al-Tayyeb dan Harmoni Keberagamaan

Beberapa molekul pada saluran pencernaan juga ikut memberikan sinyal ke sistem di otak, misalnya, kolesistokinin (CCK) dan glucagon like peptide-1 (GLP-1) (Duca dkk. 2021, Nature Communications). Sinyal CCK itu akan menginduksi pencernaan lemak dan protein di tubuh dengan cara menstimulan kantung empedu dan meningkatkan sekresi pankreas. CCK juga memberi sinyal ke otak untuk merasa kenyang. Hormon GLP-1 selain menginduksi pelepasan insulin, ternyata bekerja di otak untuk meregulasi berat badan (Bagio dan Drucker, 2014). Mikrobiota usus juga berperan penting pada proses pencernaan makanan, memengaruhi beberapa proses alamiah dan penyakit di dalam tubuh. Misalnya, serat yang diubah menjadi asam lemak rantai pendek dapat memodulasi sistem imun, bersifat proinflamasi, serta berperan mengatur jumlah makanan dan kebutuhan energi. Kemudian, asam amino triptofan dapat diubah oleh mikrobiota usus menjadi derivat indol, yang juga akan memodulasi sistem imun.

Demikian juga perubahan pola makan akan memengaruhi komposisi bakteri dalam usus. Pergeseran dari diet rendah lemak dan tinggi serat ke diet tinggi lemak, tinggi protein, rendah serat akan menyebabkan penurunan? alpha-diversity (kekayaan mikrobiota usus intraindividu), peningkatan betha-diversity (keanekaragaman mikrobiota usus antarindividu), dan penurunan jumlah atau bahkan kepunahan spesies prevotella dan treponema dengan tingkat butiran yang lebih rendah (Kolodziejczyk dkk. 2019, Nature Reviews Microbiology).

Selanjutnya, konsumsi ma­kanan yang mengandung banyak lemak jenuh, protein hewani, zat aditif, dan rendah serat, akan menurunkan populasi bakteri baik Bacteroidetes dan meningkatkan bakteri jahat Firmicutes. Selain itu, makanan tinggi lemak dan rendah serat akan meningkatkan PH usus dan disbiosis. Padahal, PH tinggi pada usus dapat menurunkan perlindungan lapisan usus oleh bakteri baik. Dalam kondisi normal, bakteri baik mampu menangkal pertumbuhan bakteri jahat agar tidak menye­rang lapisan usus manusia. Jika komposisi usus berubah jadi dipenuhi bakteri jahat, pertahanan tubuh akan menurun. Proses berubahnya komposisi, dari dominan bakteri baik ke dominan bakteri jahat inilah yang disebut disbiosis (Riley dkk, 2019). Makanan nabati, selain mengan­dung protein, juga kaya akan serat yang membantu mengurangi risiko terjadinya berbagai pe­nyakit kronis. Kehebatan lainnya, makanan nabati juga mudah membuat kenyang sehingga bisa mengekang keinginan makan berlebih sehingga indeks massa tubuh menjadi terkendali dan risiko obesitas bisa dihindari. Ditambah lagi, pola diet dengan mengonsum­si makanan nabati dapat mengen­dalikan gula darah dan menurun­kan kadar HbA1c dalam darah.

Pada penderita diabetes mel­itus tipe 2, pola diet vegan bisa menurunkan HbA1c 0,36% lebih rendah ketimbang diet diabetes pada umumnya. Pada mereka yang teratur menjalankan pola diet vegan, penurunan HbA1c nya dapat mencapai 0,6% lebih rendah ketimbang diet diabetes biasa (Sajel dkk. 2022, Evidence-based Practice). Juli 2015, pe­merintah Inggris menerbitkan imbauan agar asupan serat makanan meningkat menjadi 30 gram sehari sebagai bagian dari diet seimbang yang sehat karena kebanyakan orang dewasa makan serat rata-rata hanya sekitar 18 gram hari. Anak-anak di bawah usia 16 tahun, tidak membutuhkan banyak serat seperti remaja dan orang dewasa. Namun, mereka masih membu­tuhkan lebih dari yang mereka dapatkan saat ini. Anak usia 2 hingga 5 tahun, umumnya mem­butuhkan sekitar 15 gram serat sehari, 5 hingga 11 tahun mem­butuhkan sekitar 20 gram, dan usia 11 hingga 16 tahun membu­tuhkan sekitar 25 gram serat sehari. Ada bukti kuat bahwa makan banyak serat meminimal­kan risiko penyakit jantung, strok, diabetes tipe 2, dan kanker usus. Makanan berserat juga melan­carkan pencernaan dan mence­gah sembelit. Selain itu, meta-analisis yang melibatkan 21 studi melaporkan, mengonsumsi ma­kanan nabati dapat menurunkan derajat peradangan.

Efek itu lebih kuat pada mereka yang menjalankan diet vegan jika dibandingkan dengan yang diet vegetarian. Derajat peradangan pada keduanya masih lebih rendah ketimbang pada mereka yang omnivora (mengonsumsi makanan nabati dan hewani). Menariknya, manfaat nutrisi vegetarian terhadap derajat perada­ngan ini semakin besar pada me­reka yang mengalami gangguan fungsi ginjal (Menzel dkk. 2020, Scientific Reports).   Bumbu alami dan kelezatan masakan Uraian di atas menjelaskan, manfaat mengonsumsi makanan berbahan nabati tidak diragukan lagi. Hanya, masalahnya terletak pada rasa. Makanan berbahan nabati sering kalah lezat ketim­bang makanan hewani. Sayur bening bayam campur kelor, misalnya, terasa kalah lezat ketimbang empal goreng atau gulai jeroan. Maka, tantangannya ialah bagaimana mengolah bahan nabati menjadi makanan atau camilan yang lezat dan menggiur­kan. Dalam hal ini, ragam dan dosis bumbu yang tepat menjadi kunci memasak yang lezat dan sehat. Tentu saja, bumbu alami seperti beragam rempah serta garam dan gula dalam jumlah yang tidak berlebihan. Sekarang banyak restoran dan produsen makanan yang mencantumkan bebas MSG dan seratus persen menggunakan bumbu alami. Memang masih menjadi perdeba­tan para ahli gizi, apakah MSG (dalam dosis yang tidak berle­bihan) berpengaruh buruk pada kesehatan atau tidak. Namun, kultur masyarakat kita, terutama warung makan rakyat dan pro­dusen makanan olahan, sangat suka mengucurkan MSG dalam jumlah berlimpah ke masakan karena itulah cara instan agar gampang jadi lezat, meskipun cara ini potensial membahayakan kesehatan dalam jangka panjang.

Dalam kultur seperti ini, mengurangi penggunaan MSG dan menggantinya dengan bumbu alami layak untuk dikampanye­kan. Indonesia ialah negeri tropis dengan keanekaragaman hayati yang paling kaya, memiliki rempah paling beragam di dunia sehingga bukan hal yang susah mencari komposisi bumbu yang tepat untuk setiap masakan.Oleh: Djoko Santoso Guru Besar FK Unair, Ketua Badan Kesehatan MUI Provinsi Jatim.