Bagi perekonomian terbuka, transaksi perdaga­ngan luar negeri menjadi komponen penting dalam membentuk PDB suatu negara. Ekspor dan impor menjadi penentu apakah PDB akan mengalami pertumbuhan atau malah mengalami kemunduran. Bagi negara yang mengalami surplus perdagangan maka terdapat tambahan faktor yang mendorong akselerasi pertumbuhan PDB.

Di era perdagangan bebas, tiap negara berusaha untuk mengembangkan produk unggulan agar mampu menguasai pasar internasional. Perkem­bangan teknologi membuat tiap negara mampu melakukan berbagai efisiensi sehingga produk yang dibuat memiliki standar serupa meski dihasilkan oleh negara yang berbeda.

Efisiensi tersebut yang kemudian menjadikan faktor biaya produksi serta biaya shipping sebagai pe­nentu apakah produk yang dihasilkan mampu ber­saing dengan produk serupa dari negara lain. Ketika biaya produksi dan biaya kirim memiliki besaran yang sama antarnegara, maka faktor bea masuk menjadi penentu akhir dari negara mana preferensi produk akan dikonsumsi oleh negara importir.

Memilih produk yang memiliki banyak substitusi me­musingkan bagi negara importir. Oleh sebab itu be­berapa negara pengimpor akan mengenakan ke­bijakan khusus bagi produk ekspor dari negara lain.

Perlakuan tersebut berupa pengenaan bea masuk yang lebih rendah dibandingkan produk serupa yang dihasilkan oleh negara-negara yang tidak mendapat­kan perlakuan tersebut. Kebijakan tersebut dinama­kan Generalized System of Preferences atau GSP.

Baca Juga: Adakah Kartini kartini di masa Digital?

GSP pertama kali diinisiasi oleh pemerintah Ame­rika Serikat (AS) pada tahun 1974. Dan sejak pember­lakuan ketentuan tersebut Indonesia dan beberapa negara di ASEAN menjadi salah satu negara yang mendapatkan manfaatnya.

Masuknya Indonesia sebagai salah satu negara penerima manfaat GSP berdampak positif terhadap ekspor produk ke AS. Indonesia mendapatkan keuntungan berupa pengenaan bea masuk lebih rendah dibandingkan produk serupa yang dihasilkan oleh negara nonpenerima fasilitas GSP.

Dampak atas pemberlakuan kebijakan tersebut, Indonesia mencatat surplus dagang yang signifikan dengan AS selama ini. Sebagai contoh, kurun waktu 2018 hingga 2022 saja tercatat Indonesia mengalami surplus perdagangan sebesar US$58 miliar.

Apabila surplus tersebut hanya melibatkan hubungan perdagangan antara Indonesia dan AS semata maka seharusnya terdapat aliran devisa yang bisa dirasakan oleh masyarakat Indonesia. Mata uang rupiah akan mengalami apresiasi cukup signifikan sebagai dampak aliran devisa hasil ekspor.

Sayangnya ketika kita memasukkan China dalam interaksi ekspor impor maka hasilnya menjadi ber­ubah. Sebagaimana dengan AS, China merupakan mitra dagang utama bagi Indonesia.

Dan dengan memasukkan China dalam perhitu­ngan neraca perdagangan maka surplus yang diper­oleh dari AS akan tergerus oleh defisit dari China. Penyebabnya adalah Indonesia mengimpor banyak produk dari China.

Efisiensi dan produktivitas China telah memaksa banyak negara menyubstitusi produk di dalam negeri dengan produk serupa yang berasal dari China. Tak terkecuali bagi Indonesia, dampak dari kompetitifnya harga produk-produk China mengakibatkan transaksi perdagangan Indonesia dan China mengalami defisit sebesar US$47,5 miliar pada periode 2018-2022.

Kembali lagi ke isu terkait GSP, status negara yang mendapatkan perlakuan tersebut bukanlah perma­nen. Setiap periode waktu dapat ditinjau lagi terutama apabila dipandang bahwa negara mitra dagang AS telah mengalami perubahan tingkat kemakmuran.

Menjadi negara berpenghasilan tinggi atau meng­alami perkembangan dalam pembangunan ekonomi serta memiliki keunggulan dalam perdagangan merupakan alasan suatu negara tidak mendapatkan fasilitas GSP lagi. Istilah kelulusan adalah sebutan bagi negara yang tidak lagi mendapatkan GSP oleh pemerintah AS. Keputusan terkait jenis produk, jumlah/kuota, serta negara yang memperoleh GSP ditentukan oleh Presiden AS.

Isu lain yang berkaitan dengan GSP yaitu adanya upaya dari pemerintah AS untuk menyeimbangkan transaksi perdagangan dengan berbagai negara mitra di seluruh dunia. Presiden Trump meng­ampa­nyekan kepada negara-negara mitra dagang AS untuk membeli lebih banyak produk AS. Hingga saat ini, kebijakan tersebut terus berlanjut oleh pemerintahan Biden.

Dua isu yaitu keinginan agar para mitra dagang menambah pembelian produk AS serta perpan­jangan fasilitas GSP memiliki keterkaitan yang erat. AS pun telah meminta Indonesia untuk menambah belanja terhadap produk-produk AS beberapa waktu lalu.

Dengan menganganya surplus dagang yang dinikmati Indonesia, maka produk-produk AS yang dibutuhkan sebagai penyeimbang neraca dagang menjadi mengerucut pada sejumlah produk tertentu. Permesinan maupun alutsista menjadi pilihan logis yang dapat digunakan untuk mengurangi surplus yang dinikmati Indonesia. Salah satu produk yang menge­muka dalam pemberitaan saat itu adalah rencana akuisisi seperangkat alutsista buatan AS termasuk pesawat tempur F15EX.

Meskipun Indonesia telah memiliki minat, namun langkah untuk merealisasikan hal tersebut sepertinya masih jauh dari harapan. Berbeda dengan pihak AS yang secara konsisten dan terstruktur mendorong Indo­nesia untuk segera merealisasikan rencana pengadaan alutsista tersebut.

Tercatat beberapa kunjungan pejabat dari AS ke Indonesia untuk memuluskan rencana tersebut. Bahkan sejumlah anggota Kongres AS beberapa saat lalu juga mengunjungi Indonesia yang salah satu agendanya membahas terkait perpanjangan GSP.

Pilihan Indonesia berkaitan dengan neraca perdagangan kedua negara memiliki beberapa alternatif. Alternatif pertama adalah merealisasikan permintaan AS untuk menyeimbangkan neraca dagang kedua negara.

Apabila pilihan ini diambil, maka Indonesia masih memiliki kesempatan untuk mendapatkan fasilitas GSP pada tahun-tahun mendatang. Produk Indonesia masih akan merajai pasar AS dan memberikan surplus perdagangan yang signifikan. Memang alternatif ini akan dibayangi kemampuan finansial untuk membeli produk-produk yang menjadi prasyarat dalam rangka mengurangi defisit yang dialami oleh AS.

Kemudian apa yang terjadi seandainya Indonesia gagal melakukan “penyeimbangan” neraca perdagangan dengan AS? Sudah hampir pasti posisi Indonesia sebagai penerima fasilitas GSP akan berkurang bahkan hilang sama sekali. Merujuk pada alasan mendasar pemberian GSP yaitu penciptaan lapangan pekerjaan serta membuat produk-produk AS tetap kompetitif, maka tanpa ada upaya penyeimbangan dapat dimaknai bahwa Indonesia tidak mendukung penciptaan lapangan pekerjaan di AS.

Tanpa ada fasilitas GSP maka akan berdampak terhadap produk ekspor Indonesia ke AS. Produk Indonesia akan diperlakukan setara dengan produk serupa dari negara maju. Dari sisi harga, produk Indonesia akan sulit bersaing apabila ada produk serupa yang bisa lebih efisien dalam proses produksinya. Risiko menurunnya transaksi perdagangan antara kedua negara pun menjadi sesuatu yang tak terhindari.

Seandainya pun akhirnya fasilitas GSP tidak diperpanjang karena Indonesia gagal mengurangi surplus yang dinikmati, seharusnya sudah dipersiapkan sejumlah rencana cadangan. Ketiadaan fasilitas GSP harus disikapi Indonesia untuk beralih pada produk-produk berteknologi tinggi sebagai unggulan ekspor. Namun langkah untuk beralih ke industri berteknologi tinggi bukan sesuatu hal yang bisa dilakukan dengan singkat.

Sembari menanti Indonesia bertransformasi menjadi produsen produk berteknologi tinggi, memperpanjang fasilitas GSP merupakan sebuah pilihan yang rasional. Selaras dengan yang dilakukan pemerintah AS, Indonesia selayaknya juga mengambil langkah terstrukur yang bisa menjamin keberlangsungan fasilitas GSP tetap diterima pada tahun-tahun selanjutnya.Oleh: Kurniawan Budi Irianto Pejabat pengawas pada Kementerian Keuangan (*)