PENANGKAPAN pelaku pencabulan, Much Subchi Azal Tsani (MSAT), anak pimpinan salah satu pesantren di Jombang, Jawa Timur, pada 7 Juli lalu bukan akhir dari kisah kekerasan seksual di lembaga pendidikan. Pelaku cabul ini cukup fenomenal. Ia telah menjadi tersangka sejak 2019, tapi tak kunjung diproses oleh kepolisian. Upaya penangkapannya dihadang oleh sang ayah dan para santri, hingga harus ada 320 orang yang ditumbalkan untuk menangkap satu orang itu. Penangkapannya pun tidak menjadi happy ending. Ke depan, mungkin saja proses peradilan akan dihadang oleh massa dan intimidasi terhadap korban dan keluarganya akan terus berlangsung. Aneka wujud Namun, jika ditelusuri tentang budaya kekerasan termasuk kekerasan seksual, telah lama bersemayam dan bermutasi dengan aneka wujud ‘kreativitas iblis’ yang menghantui lembaga pendidikan, tak terkecuali di perguruan tinggi.

Telah banyak siswi, santri perempuan, dan mahasiswi menjadi korban kekerasan seksual, atas alasan mengamalkan ilmu, taat kepada dosen/guru/senior, dan pengabdian. Kasus MSAT yang berdalih mengajarkan ilmu metafakta telah dilakukan sejak 2017. Dekan Unri yang dituduh mencium mahasiswi bimbingannya menolak perilakunya dianggap sebagai pelecehan seksual. Uniknya para pelaku merasa tidak bersalah. Bahkan, mereka anggap sikap mengadili sebagai fitnah atau kriminalisasi. Pada tingkat perguruan tinggi, Mendikbud Ristek telah mengantisipasi secara preventif dan kuratif melalui Permendikbudristek No 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS), yang terjadi di lingkungan perguruan tinggi. Sang menteri melakukan pendekatan instruksional dan bersifat direktif. Bagi perguruan tinggi yang menolak patuh, akan diberikan sanksi keuangan hingga akreditasi. Para rektor pasti jeri dengan ancaman ini. Namun, langkah sang menteri tak berjalan efektif. Ia juga menghadapi pelbagai serangan, mulai dianggap legalisasi perzinahan hingga berupaya meliberalisasi pendidikan tinggi. Pada praktiknya, meskipun telah membentuk Satgas pencegahan kekerasan seksual, pihak kampus sebagian besar tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka takut jika terekspos, itu akan memperburuk citra lembaga pendidikan. Waktu akhirnya membiarkan kebusukan hening dalam dusta. Masih tingginya kasus kekerasan seksual yang terjadi di lembaga pendidikan menunjukkan tujuan dan praktik pendidikan masih bersifat ornamental. Dalam pandangan filsuf Inggris, Bertrand Russel (On Education, 1926/2012) pendidikan di era modern kerap melupakan nilai intrinsiknya, tergiring ke pemahaman paling sempit, yaitu menjadi lembaga aristokrasi dan membangun kelas menengah ekonomi (leisure class) yang munafi k.

Di tangan kaum lulusan pendidikan tinggi itu, dunia akan dibawa pada kegelapan baru. Kritik Bertrand itu akhirnya terlihat pada model pengembangan pendidikan saat ini. Alih-alih berusaha menghi­dupkan pendidikan karakter dan menghumanisasi nilai-nilai pendidikan, lembaga pendidikan lebih sibuk pada administrasi dan akreditasi. Alihalih tetap mempertahankan uang kuliah tunggal (UKT) dan sistem pendidikan murah agar bisa terjangkau oleh sebagian besar anak bangsa, banyak rektor disibukkan meng-upgrade status kelembagaannya menjadi PTN Berbadan Hukum (PTNBH), yang dalam banyak hal adalah komersialisasi ekstrem perguruan tinggi. Dorongan pada kemandirian tersebut, secara praksis, membentuk kapitalisme perguruan tinggi. Nilai tambahnya hanya ekonomis, bukan intelegensia dan kritisisme pada lingkungan. Kenyataannya, sebagian besar PTNBH gagal mencari peluang pembiayaan mandiri di luar beban ke peserta didik. Pilihan terakhir ialah mendesakkan pada variasi UKT hingga delapan level.

Untuk jalur mandiri, perguruan tinggi menerapkan Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI) untuk prodi kedokteran mulai Rp150 juta hingga Rp250 juta. Cukup fantastis dan pasti tidak terjangkau bagi 99% keluarga Indonesia. Susah mencari peluang demokratisasi pendidikan ketika sudah terperosok pada skema pendidikan seperti ini. Pendidikan pembebasan

Di tengah praktik kekerasan, termasuk kekerasan seksual yang terjadi di lembaga pendidikan tinggi, kiranya tepat mengingat kembali tujuan pendidikan Prof Paulo Friere, pakar pendidikan dari Brasil. Baginya, pendidikan harus mempersiapkan diri sebagai praktik pembebasan (Educacao como Práctica da Liberdade). Basis pemikirannya, didasarkan pada tujuan pendidikan, yaitu perlawanan atas kolonialisasi pedagogi dan pembangunan kelas. Pendidikan menurut Freire harus membagun kesadaran diistilahkan dengan konsientisasi untuk melawan pelbagai mistifikasi dan aksi-aksi pedagogi opresif (pedagogy of the oppressed). Kapitalisasi pendidikan hanya membentuk praksis mistifikasi, (dan juga pasifi kasi) sehingga melahirkan aktivisme yang membahayakan pendidikan itu sendiri. Pendidikan membentuk kesenjangan, antara pendidik dan yang dididik. Hubunganya bersifat dualisme, tidak emansipatoris dan partisipatif. Pada ‘sekolah kedinasan Amtenar’ praktik-praktik kekerasan masih dilegalisasi. Ketika muncul respons publik karena ada siswa atau mahasiswa yang meninggal, praktik kekerasan itu mereda sesaat, tapi kemudian dilanjutkan kembali. Dalam alam pedagogi mereka, model ‘penggojlokan’ seperti itu pembentukan mental siswa/mahasiswa. Di sisi lain, ada dampak kolonialisasi pendidikan yang mempromosikan kekerasan seksual.

Baca Juga: Legalisasi Metode Omnibus

Model mistifikasi sang peserta didik, agar ‘setuju’ dilecehkan secara seksual sebagai proses ‘pendalaman pengetahuan’ ialah manipulasi ekstensif nilai-nilai pendidikan. Praktik kekerasan seksual yang terjadi selama ini, baik yang dilakukan oleh dekan, kiai, guru, dosen, pastor, pendeta, brueder, dan senior itu sejalan dengan sejarah pendidikan opresif yang yang ditolak oleh Freire. Kalau memakai perspektif Ki Hadjar Dewantara, para pelaku cabul ialah kaum penjajah yang menawarkan ‘intelektualisme’ tanpa karakter dan budi pekerti.  Kini telah hadir UU No 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, yang lebih progresif dibandingkan UU KDRT (UU No 23 Tahun 2004), UU Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU No 21 Tahun 2007), UU Perlindungan Anak (UU No 35 Tahun 2014), KUHP, dan bahkan RKUHP yang kini sedang dibahas. Semoga upaya legal yang diperjuangkan selama enam tahun itu bisa menjadi upaya melawan mistifikasi dan manipulasi kekerasan seksual di lembaga pendidikan.oleh: Teuku Kemal Fasya  Kepala UPT Bahasa, Kehumasan, dan Penerbitan Universitas Malikussaleh, Aceh.