Banjir merupakan bencana hodrometeorologi yang mengancam kehidupan umat manusia. Setiap tahun di Indonesia dan khusus di Maluku selalu terjadi bencana banjir. Menurut data BNPB tercatat untuk tahun 2021 sampai bulan September jumlah kejadian banjir di Indonesia mencapai angka 810 kejadian. Maluku kejadian banjir termasuk tinggi pula, terutama di Pulau Seram, Buru dan Ambon. Kejadian banjir yang sering terjadi hampir setiap tahun tersebut dipicu oleh karena berbagai faktor penting yang menjadi parameter penentuan zona rawan banjir.

Penyebab banjir mencakup curah hujan yang tinggi, permukaan tanah lebih rendah dibandingkan muka air laut, wilayah terletak pada suatu cekungan yang dikelilingi perbukitan dengan sedikit resapan air, pendirian bangunan disepanjang bantaran sungai, aliran sungai tidak lancar akibat terhambat oleh sampah, serta kurangnya tutupan lahan didaerah hulu sungai. Meskipun berada di wilayah bukan langganan  banjir. Setiap orang harus tetap waspada dengan kemungkinan bencana alam ini.

Dalam situs  resmi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), banjir adalah peristiwa atau keadaan dimana terendamnya suatu daerah karena volume air yang meningkat. Sedangkan banjir bandang adalah banjir yang datang secara tiba-tiba dengan debit air yang besar yang disebabkan terbendungnya aliran sungai pada alur sungai.

Karakteristik yang mendasar adalah Pulau-pulau kecil yang memiliki Daerah Aliran Sungai (DAS) yang pendek sehingga jika terjadi hujan di hulu akan cepat terbawa ke hilir, apalagi jika di wilayah perbukitan bagian hulu telah terjadi penebangan hutan secara besar besaran, ini menjadi potensi banjir. Jadi penggunaan lahan menjadi salah satu faktor penting penyebab banjir, selain faktor geologi, tanah, lereng dan curah hujan. Curah hujan di ketiga wilayah di atas rata rata sangat tinggi setiap tahun lebih dari 1000 mm, dan biasanya berada pada bulan Mei, Juni dan Juli.

Universitas Pattimura (Unpatti) sebagai salah satu perguruan tinggi di Maluku telah mengeluarkan beberapa rekomendasi yang harus menjadi perhatian bagi Pemerintah Daerah, dimana untuk seluruh Maluku penanganan banjir tidak bisa secara responsive tapi harus preventif. Itu berarti upaya mitigasi harus menjadi bagian penting yang harus dilaksanakan, kemudian tetap mempertahankan rencana tata ruang, dengan tidak memberikan ijin untuk pembangunan permukiman di kawasan lindung.

Baca Juga: Kredibitas Jaksa di Kasus MTQ Maluku

Kemudian restorasi talud yang ada di sepanjang sungai harus dilakukan (pembuatan talud baru dan peninggian), Normalisasi sungai dan pengerukan sedimen, tidak memberikan ijin untuk pembangunan di pegunungan dan dan bantaran sungai pada jarak 10 m, dan bagi yang sudah ada harus dipikirkan upaya mitigasi dan adaptasi terhadap kejadian banjir aktual, melakukan konsep tidal gate, yakni meletakkan pintu air atau pintu pasang surut di daerah muara dengan tujuan untuk mencegah air laut yang datang dan masuk ke sungai terlalu besar yang dapat menyebabkan ROB, atau mencoba melakukan penanaman mangrove di pesisir pantai dan sekitar hilir sungai, membangun koordinasi antara BPBD, Dinas Kehutanan dan instansi terkait dalam rangka pengelolaan wilayah DAS, optimalisasi pemanfaatan SPAS (Sistem Pengukuran Aliran Sungai) di Sungai sebagai salah satu alat Early Warning System (EWS) Banjir, memperhatikan dimensi saluran drainase berdasarkan daya tampung, dan penertiban pembuangan sampah ke dalam saluran drainase, terutama sampah rumah tangga dan indutri, menetapkan aturan insentif dan disentif dalam penataan ruang di wilayah DAS (Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007).

Sementara untuk pemerintah desa/negeri, harus membuat perdes/perneg tentang penataan lingkungan desa/negeri dan mitigasi bencana, menjadikan sungai sebagai ikon wisata dan pendidikan (sekolah sungai) dengan memanfaatkan kreatifitas serta inovasi masyarakat setempat namun yang terpenting bagi masyarakat, tidak membuang sampah ke dalam sungai atau disekitar sungai dan tidak melakukan aktivitas penebangan di kawasan lindung pada daerah hulu DAS. (*)