DINAMIKA politik menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 semakin menjauh dari nalar-nalar intelektualitas. Ihwal yang pada dasarnya merupakan racun dalam kehidupan berdemokrasi, seperti dinasti politik, dinormalisasi sebagai ruang politik anak muda.

Betapa mirisnya narasi politik anak muda demikian. Ketimbang dilakukan antisipasi dan menutup pintu-pintu untuk masuknya dinasti politik, realitas politik mempertontonkan upaya membentangkan karpet merah agar dinasti politik melenggang mulus ke dalam demokrasi di Indonesia.

Bahkan, sejumlah politisi dan partai politik terang-terangan mendukung salah satu anak presiden yang kini masih berkuasa sebagai bakal calon wakil presiden (cawapres) pada Pemilu 2024.

Selain itu, fenomena dinasti politik yang begitu kental berupaya dikaburkan dengan narasi epistemologi dan aksiologi dinasti politik yang berasal dari sistem kerajaan sehingga tidak mungkin tumbuh dalam sistem demokrasi yang semuanya atas persetujuan rakyat.

Cara pandang demikian justru menafikan transformasi dinasti politik pada sistem demokrasi yang mengarah pada pengondisian politik prosedural agar kekuasaan politik dapat kembali diisi oleh orang/kelompok yang masih berkaitan dengan penguasa sebelumnya.

Baca Juga: Politik Uang Tuna Keadaban

Perangkat-perangkat kekuasaan beserta simpatisannya akan menopang pengondisian ini sehingga rakyat hanya akan menerima opsi calon pemimpin yang dipoles sedemikian rupa tanpa mengetahui autentisitas calon tersebut, seperti kualitas, pemikiran, gagasan, dan karya-karyanya dalam kontestasi demokrasi.

Sebagai pilar demokrasi seharusnya partai politik menjadi elemen utama yang malu atas tumbuhnya kondisi ini dalam sistem demokrasi. Sebab, sebagai tempat persalinan lahirnya pemimpin-pemimpin bangsa melalui sistem kaderisasinya, justru diruntuhkan melalui dinasti politik yang tidak memerlukan kaderisasi. Tidak perlu analisis yang begitu rumit untuk melihat fenomena dinasti politik semacam ini.

Terbaru, dikabulkannya permohonan uji materiel Pasal 169 huruf q UU 7/2017 tentang Pemilihan Umum oleh Mahkamah Konstitusi (MK), yang pada pokoknya menetapkan batas usia calon presiden dan wakil presiden paling rendah 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah, berpotensi menjadi bagian dari pengondisian politik prosedural agar orang/kelompok yang masih berkaitan dengan penguasa sebelumnya dapat melanjutkan estafet kekuasaan.

Terlebih, putusan ini muncul ketika pendaftaran capres dan cawapres masih dibuka. Putusan ini akan diingat publik dan dicatat sejarah sebagai putusan politik yang diketuk hakim MK. Semua aroma kepentingan politik yang begitu kental dalam gugatan ini dipoles sedemikian rupa dengan dalil-dalil yang dianggap sesuai dengan dengan hukum.

Setara Institute dalam siaran persnya (16/10) bahkan menyatakan MK yang mengeklaim sebagai the sole interpreter of the constitution atau satu-satunya lembaga penafsir konstitusi, nyatanya telah memimpin penyimpangan kehidupan berkonstitusi dan mempromosikan keburukan atau kejahatan konstitusional (constitutional evil). Dalam kondisi tersebut, tentu wajar jika publik mempertanyakan quo vadis integritas hakim MK yang dikenal sebagai kumpulan para negarawan serta institusi MK yang merupakan benteng konstitusi?

Rasionalitas yang ditawar

Dinamika tahun politik memunculkan pembodohan kultural terhadap masyarakat. Penguatan ekosistem demokrasi yang telah dilakukan banyak pihak, termasuk oleh masyarakat melalui peningkatan kapasitas, justru dihancurkan sendiri oleh politisi dan pejabat terkait.

Menyodorkan calon-calon pemimpin yang notabene berkaitan erat dengan dinasti politik dan mengamini mekanisme yang syarat kejanggalan, lalu mendukung secara terang-terangan calon tersebut dan menyerahkan soal keterpilihan kepada persetujuan masyarakat dalam sistem pemilu, menjadi potret nihilnya prinsip demokratis politisi terkait.

Demi kekuasaan, semuanya dilimpahkan dalam mekanisme demokrasi tanpa menimbang hal yang dilimpahkan itu potensi menjadi racun demokrasi.

Dinamika kenegaraan di tahun politik ini mencerminkan tengah terganggunya rasionalitas bangsa. Semua paradigma dalam melihat persoalan bangsa dibenturkan dengan ungkapan politis dan posisi politik (anti atau pro terhadap pemerintah). Dengan begitu, pertanyaan sederhana yang muncul ialah ke mana kaum intelektual?

Rasionalitas bangsa semakin rapuh. Semua argumentasi dikerucutkan menjadi pro atau kontra terhadap pemerintah. Narasi-narasi dan kritik-kritik konstruktif minim mengemuka di ruang publik. Pada titik ini, intelektual seharusnya bergerak untuk ‘memadamkan kebakaran’ ini dan menyelamatkan narasi serta rasionalitas bangsa.

Akan lebih celaka apabila kaum intelektual yang sebelumnya telah merapat kepada barisan pro atau kontra pemerintah, tetapi lupa jalan pulang. Mereka justru akan berbicara sesuai kepentingan dan untuk membela kelompok masing-masing. Akan minim kita mendengar narasi-narasi yang meluruskan rasionalitas dan solusi-solusi kreatif lainnya. Yang ada hanya kritik dan pembelaan.

Melihat situasi bangsa seperti ini, kaum intelektual harus kembali pulang secara pikiran dan gagasannya. Jabatan yang diberikan dalam ruang kekuasaan, seperti komisaris BUMN, jangan sampai mengerdilkan martabat dan idealismenya.

Intelektual tidak boleh menjadi alat kultural negara atau alat negara untuk melakukan–meminjam istilah Paulo Freire–penjinakan secara sosial dan budaya terhadap masyarakat. Mereka harus bebas dari kepentingan praktis agar selalu jernih menilai persoalan dan berargumentasi.

Apa yang kita cemaskan jika kaum intelektual lupa jalan pulang adalah tidak ada lagi rausyan fikr atau pemikir tercerahkan–meminjam istilah Ali Shariati. Kecerahan berpikir mereka tertutup posisi politik yang mereka ambil. Misi utamanya bukan lagi mencerahkan rasionalitas bangsa, tetapi mengamankan kelompok mereka dari serangan-serangan oposisi atau lawan politik. Mereka menjadi benteng, sayangnya bukan benteng rasionalitas bangsa.

Lebih lagi, intelektual kita tidak lagi bersifat seperti intelektual organik, tetapi intelektual tradisional–meminjam istilah Antonio Gramsci. Mereka memiliki garis batas antara kehidupannya dengan kehidupan rakyat dan sosial lainnya karena telah berada di pihak elite politik, pro ataupun kontra pemerintah. Akibatnya, kaum intelektual tidak lagi mampu merasakan emosi, nilai-nilai, dan perjuangan masyarakat.

Para intelektual kehilangan kepekaan sosial dalam menangkap gejala-gejala kemasyarakatan serta kehilangan daya tangkap objektif dalam melakukan penafsiran atau suatu persoalan. Mereka justru bertransformasi menjadi alat negara untuk melakukan penjinakan sosial dan budaya, seperti kata Paulo Freire.

Penjaga rasionalitas bangsa

Dalam upaya menjaga rasionalitas bangsa dan menata ulang realitas sosial yang telah tercemarkan antara urusan politik dan urusan sosial kemasyarakatan, ada baiknya para intelektual sadar akan tugas alami mereka sebagai penjaga rasionalitas bangsa. Sebab, kita patut menyesalkan di tahun politik ini, terlebih pascadeklarasi pasangan calon presiden dan wakil presiden, persoalan bangsa serba dipandang politis.

Segala kritik dan pembelaan seakan menjadi representasi perilaku dari oposisi dan petahana. Bahkan, apa yang kita sampaikan juga menjadi bahan penilaian orang lain untuk menentukan posisi politik kita; mereka yang mengkritik dianggap antipemerintah dan pro oposisi. Begitu pun sebaliknya.

Jangan lagi para intelektual kita tersandera dan dikerdilkan melalui jabatan dan materi yang diberikan salah satu kelompok elite politik untuk menjadi benteng mereka. Bahkan, tidak salah juga sebenarnya jika para intelektual itu selalu berdiri di luar pemerintah karena para intelektual adalah pengawas alami kekuasaan. Oleh: Ikhsan Yosarie
Peneliti Setara Institute for Democracy and Peace (*)