Salah satu hal yang pasti dalam dinamika pengadaan sistem senjata pada periode 2020-2024 adalah kepastian perubahan anggaran pengadaan yang dibiayai oleh Pinjaman Luar Negeri (PLN).

Berbeda dengan prediksi di awal pandemi Covid-19 pada tahun 2020 ketika kemampuan fiskal pemerintah sebagian besar harus dialihkan untuk penanganan Covid-19 sehingga belanja pertahanan diperkirakan akan terkena dampak, fakta menunjuk­kan bahwa alokasi belanja pemerintah yang dibiayai oleh PLN justru terus mengalami peningkatan.

Bila hingga perubahan kedua Daftar Rencana Pinjaman Luar Negeri Jangka Menengah (DRPLN-JM) 2020-2024 Kementerian Pertahanan mendapat­kan porsi PLN sebesar US$ 20,7 miliar, maka revisi ketiga Blue Book menaikkan kuota PLN sebesar US$ 5 miliar sehingga menjadi US$ 25,7 miliar. Angka tersebut cukup fantastis karena sejak Reformasi 1998 belum pernah pemerintah menyiapkan peruntukan PLN sedemikian besar untuk modernisasi kekuatan pertahanan.

Merupakan fakta yang tidak dapat dibantah bahwa kemampuan fiskal pemerintah untuk mendukung belanja sistem senjata menggunakan Rupiah Murni masih terbatas, sehingga PLN sejak lama selalu menjadi tumpuan. Berbeda dengan persepsi kalangan awam selama ini, pemakaian PLN bukan saja untuk membeli produk mesin perang negara asing, tetapi digunakan pula untuk pengadaan sistem senjata yang diproduksi di dalam negeri.

Contohnya adalah pengadaan CN235 dan N219 beserta suku cadang bagi TNI Angkatan Darat dengan total nilai program hampir mencapai US$100 juta. Sumber pembiayaan PLN yang dapat dibelanjakan di Indonesia biasanya berasal dari Kredit Swasta Asing dan bukan Lembaga Penjamin Kredit Ekspor (Export Credit Agency).

Baca Juga: Cerewet di Media Sosial tetapi Malas Membaca: Kondisi Literasi yang Tidak Baik-Baik Saja

Alokasi PLN untuk pengadaan mesin perang kembali mengalami peningkatan belum lama ini menjadi US$ 34,4 miliar. Terdapat peningkatan lebih dari US$ 8 miliar berdasarkan permintaan Kemenhan yang disetujui oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas dalam bentuk perubahan keempat Blue Book.

Kenaikan tersebut sebenarnya diikuti pula dengan realokasi kegiatan dan pengalihan anggaran, di mana hal yang terakhir maksudnya adalah terdapat kegiatan yang sebagian porsi pembiayaannya dikurangi dan dialihkan guna mendanai aktivitas lain. Adapun mengenai realokasi kegiatan, terdapat dua program yang mengalami realokasi demi membiayai kegiatan belanja lain yang dipandang lebih strategis sekaligus mendesak.

Rencana akuisisi pesawat tempur F-15EX karya Boeing nampaknya dipandang lebih strategis dan mendesak, sehingga dua kegiatan lain harus terkena dampak. Secara politik, pengadaaan jet tempur asal Amerika Serikat ini strategis sebab Jakarta ingin men­jaga relasi diplomatik dengan Washington, se­lain kebijakan belanja pertahanan yang memberikan prioritas pembelian mesin perang dari negara-negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB.

Karena sejumlah pertimbangan politik dan eko­nomi, Indonesia memberikan prioritas belanja sis­tem senjata dari Prancis, Inggris dan Amerika Serikat. Jakarta tengah melakukan perdagangan pertahanan dengan Paris dan London, namun belum melak­sanakan kegiatan serupa dengan Washington.

Sesungguhnya Indonesia dan Amerika Serikat telah mencapai kesepakatan awal mengenai pengadaan F-15EX dan rancangan Letter of Offer and Acceptance (LOA) sudah siap untuk ditandatangani pada tahun lalu. Namun saat itu Indonesia belum dapat memastikan ketersediaan pembiayaan program, padahal dalam situasi normal negara pembeli sistem senjata buatan Amerika Serikat harus membayar uang muka dalam 30 hari kalender setelah LOA diteken.

Mengingat makin sempitnya ruang fiskal pemerintah, diambil kebijakan untuk mendanai aktivitas impor jet tempur asal Amerika Serikat dengan mengambil dana dari dua kegiatan lain. Hal demikian merupakan usulan Medan Merdeka Barat yang disetujui oleh Taman Suropati.

Dalam DRPLN-JM 2024 keluaran terakhir, program F-15EX mendapatkan alokasi PLN senilai US$ 1,6 miliar yang merupakan hasil realokasi kegiatan pembelian kapal perusak dari Cina sebesar US$600 juta dan pembayaran cost share program KFX/IFX sejumlah US$ 1 miliar. Dengan realokasi kegiatan akuisisi kapal perusak, Indonesia membatalkan rencana mengimpor kapal perang bekas dari Cina sebab semua alokasi PLN dialihkan kepada program F-15EX.

Sedangkan peruntukan pembayaran cost share pengembangan pesawat tempur bersama Korea Selatan sebagian besar direalokasikan bagi akuisisi jet tempur yang memakai engine buatan General Electric. Besaran anggaran yang diambil dari program KFX/IFX untuk kegiatan F-15EX adalah US$ 1 miliar, namun masih tersisa dana agar Jakarta tetap dapat menunaikan kewajibannya kepada Seoul.

Mengingat bahwa kemampuan pembiayaan PLN untuk pengadaan F-15EX hanya US$ 1,6 miliar, menjadi pertanyaan seberapa besar offset yang akan diterima oleh Indonesia. Sesungguhnya Indonesia dan Boeing pada 2022 sudah mencapai kesepakatan tentang paket offset, namun hal itu berdasarkan asumsi bahwa program F-15EX bernilai sekitar US$ 9 miliar.

Dengan perkembangan terakhir, sangat diragukan Indonesia akan meraih offset yang signifikan dengan hanya bermodalkan US$ 1,6 miliar. Penting untuk dipahami bahwa kesepakatan offset antara Indonesia dan Boeing bukan merupakan bagian dari LOA, sebab bagi pemerintah Amerika Serikat urusan offset adalah urusan antara produsen sistem senjata dan calon pembeli.

Apakah Indonesia hanya akan membeli F-15EX dengan nilai US$ 1,6 miliar? Dalam edisi termutakhir Blue Book, terdapat program Multi Role Combat Aircraft (MRCA) sebesar US$ 1 miliar, namun anehnya tidak disebut tipe jet tempur yang akan dibeli.

Dugaan awal adalah program ini ditujukan bagi pengadaan F-16 karena pada awal tahun ini permintaan program serupa pernah diajukan kepada Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas.

Akan tetapi dalam usulan revisi DRPLN-JM 2020-2024 beberapa waktu kemudian, program MRCA demikian tidak lagi menyebut nama F-16. Sehingga kegiatan itu dapat saja memunculkan multitafsir dan mungkin membuka peluang bagi produsen pesawat tempur selain Lockheed Martin untuk mengajukan penawaran.

Selain pengadaan pesawat tempur baru, perubahan keempat Blue Book masih mengakomodasi akuisisi pesawat tempur bekas yakni Mirage 2000-9. Dalam program yang nilainya lebih kecil dibandingkan rencana mendatangkan Mirage 2000-5 dari Qatar, Uni Emirat Arab diduga kuat akan memasok pesawat tempur bekas ke Indonesia.

Tentu saja pembelian jet tempur bekas selalu memunculkan perdebatan, baik dari sisi biaya maupun sisa usia airframe pesawat yang dibeli. Kunci dari rencana mendatangkan mesin perang bekas dari dua negara Teluk tidak ditentukan oleh Indonesia, akan tetapi oleh Prancis sebab Qatar dan Uni Emirat Arab tidak bisa menjual Mirage 2000-5 dan 2000-9 tanpa lisensi re-ekspor dari Paris.Oleh: Alman Helvas Ali Konsultan defense industry and market pada PT Semar Sentinel, Jakarta. (*)