Era revolusi 5.0 merupakan era revolusi digital yang dapat memperoleh informasi secara cepat. Hal ini dibuktikan dengan masyarakat yang semakin cepat dalam mengakses informasi. Segala aktivitas interaksi juga dapat dilakukan di media sosial, seperti Instagram, Facebook, Twitter, dsb.

Berbagai media yang berkembang begitu pesat semakin memper­mudah masyarakat untuk berko­mu­nikasi antara satu sama lain. Selain itu, masya­rakat juga diberikan kebebasan dalam mengeks­presikan diri dan mengeluarkan pendapat. Kemajuan teknologi informasi menawarkan segala sesuatu dari berbagai dunia untuk dapat diakses dengan cepat dan mudah sehingga masyarakat pun dituntut untuk semakin produktif belajar dan bekerja.

Namun, di sisi lain kemajuan teknologi membuat masyarakat terlena dalam menggunakan media sosial. Masyarakat menjadi kurang cerdas dalam memanfaatkan media tersebut. Penyebaran infor­masi yang berujung menyalahgunakan media sosial juga berdampak kepada para pengguna.

Mereka harus berurusan dengan hukum akibat menyebarkan atau membuat informasi yang tidak beretika. Pesan atau status juga dapat memicu terjadinya konflik komunikasi atau provokasi tanpa mencari tahu kebenaran atau fakta sumber informasi tersebut. Selain itu, memasang berita dengan tajuk utama yang tidak sesuai dengan isi berita juga dapat memancing perhatian.

Kondisi-kondisi tersebut sangat memprihatinkan karena pengguna media sosial berpikir bahwa media sosial merupakan ruang yang bebas dan dapat melakukan apa saja tanpa memikirkan dampak dari perbuatan tersebut. Tidak heran, para pengguna media sosial percaya dengan hoaks, fitnah, dan terprovokasi karena mendapat informasi yang bukan berasal dari sumber yang jelas. Kecepatan jari untuk menyukai dan berbagi informasi di media sosial lebih cepat dibanding dengan kecepatan berpikir dan menelaah informasi tersebut.

Baca Juga: Bitter-Sweet Perjalanan Polri

Hal yang mengejutkan saat ini adalah para pengguna internet cenderung menyampaikan keluh kesah di media sosial dan membagikan urusan-urusan yang bersifat pribadi. Sesuatu yang seha­rusnya hanya diri dan orang-orang terdekat yang tahu sekarang menjadi bahan konsumsi semua orang. Seolah-olah semua orang tersebut juga harus tahu masalah pribadi yang sedang dialami yang kemudian dituangkan dalam status dan dapat menimbulkan ujaran kebencian.

Sejalan dengan hal tersebut, berdasarkan hasil riset Semiocast, Lembaga Independen di Paris dalam Kominfo menyebutkan bahwa “Indonesia berada dalam lima besar dunia paling cerewet dalam bermedia sosial”.

Hampir sebagian aktivitas yang dilakukan adalah menatap layar ponsel dan mengomentari sesuatu yang dapat menimbulkan konflik atau sekadar ikut-ikutan agar tidak ketinggalan informasi di media sosial. Ironisnya, hal tersebut tidak diimbangi dengan rajin membaca buku sehingga minat baca setiap hari bahkan setiap tahun hanya mengalami peningkatan yang tidak terlalu siginifikan.

Sebaliknya, jumlah pengguna internet justru semakin hari semakin meningkat. Peningkatan jumlah tersebut terbukti dengan besarnya manfaat ruang digital yang memiliki dampak besar bagi kehidupan masyarakat.  Beberapa permasalahan pun muncul dan menjadi ancaman bagi pengguna internet, utamanya, para pengguna tidak perlu lagi mendapatkan informasi dari buku karena informasi tersebut dapat ditemukan di internet.

Minat baca merupakan keinginan dan ketertarikan yang kuat terhadap kegiatan membaca sehingga kegiatan tersebut dilakukan atas kemauan sendiri. Berdasarkan data dari UNESCO pada tahun 2016 “Minat baca masyarakat Indonesia sangat rendah. Hanya 0,001% atau 1 dari 1000 orang di Indonesia yang rajin membaca”.

Rendahnya minat baca sudah menjadi masalah sejak dulu. Data UNESCO menunjukkan bahwa masalah literasi masih perlu dibenahi. Padahal, buku memegang peranan penting bagi kehidupan masyarakat. Oleh sebab itu, buku hadir dalam bentuk digital agar memudahkan akses pembaca untuk membaca buku kapan pun dan di mana pun.

Hadirnya bacaan-bacaan dalam bentuk digital semakin membuktikan bahwa era revolusi digital semakin berkembang. Oleh karena itu, literasi digital hadir untuk membantu masyarakat, utamanya pengguna internet agar lebih bijak menggunakan internet dan media sosial. Selanjutnya, literasi dalam hal membaca tidak dikaitkan lagi dengan buku yang berbentuk fisik, tetapi membaca takarir, laman, blog, dan surat kabar daring dapat dikategorikan ke dalam literasi baca karena proses mendapatkan atau penyerapan informasi tersebut.

Generasi muda yang tumbuh dan berkembang di era digital tentu memiliki pola pikir yang berbeda dari generasi sebelumnya, utamanya dalam hal mem­baca. Untuk itu, literasi digital hadir untuk membantu pengguna internet dalam memilih informasi, berpikir kritis, kreatif, dan tetap bijak menggunakan internet, utamanya dalam menggunakan media sosial.

Selain itu, literasi di era digital mampu menjem­batani generasi muda untuk menyadari bahwa mem­baca merupakan sesuatu yang urgensi sehingga ketertarikan membaca semakin hari semakin meningkat. Hal tersebut dibuktikan pada tahun 2022 tingkat kegemaran membaca mengalami pening­katan dari tahun sebelumnya.

Berdasarkan data Perpustakaan Nasional “Tingkat kegemaran membaca masyarakat Indonesia tahun 2022 sebesar 63,90 (tinggi) mengalami kenaikan 7,4% dibanding tahun 2021 sebesar 59,52 (sedang)”, (Rizaty, Monavia Ayu. 2023. Tingkat Kegemaran Membaca Warga Indonesia Meningkat. Diakses 4 Juni 2023. https://dataindonesia.id/ragam/detail/tingkat-kegemaran-membaca-warga-indonesia-meningkat-pada-2022)

Di sisi lain, untuk meningkatkan kemampuan lite­rasi Kantor Bahasa Provinsi Maluku akan menye­lenggarakan Kemah Komunitas Penggerak Literasi yang melibatkan seluruh komunitas literasi di Maluku. Adanya kegiatan tersebut diharapkan dapat membantu meningkatkan budaya membaca dan memenuhi kebutuhan masyarakat, utamanya dalam penyediaan buku bacaan, serta pembelajaran literasi sehingga melahirkan generasi-generasi yang inovatif dan semakin kritis menggunakan teknologi informasi. Dengan kata lain, di era digital setiap orang mampu menyaring informasi-informasi baik dan buruk sehingga setiap orang bisa merasakan manfaat teknologi informasi tersebut.

Cerewet di media sosial bukanlah sesuatu yang salah, melainkan cerewet harus dibarengi dengan memberikan informasi yang jelas dan positif. Kritik boleh, tetapi jangan agitasi (hasutan kepada orang banyak untuk melakukan pemberontakan) dan hoaks. Kritiklah dengan cara yang apik.

Oleh sebab itu, cerewet tapi berilmu dan memiliki minat baca yang tinggi merupakan dua hal yang harus sejalan di era digital saat ini agar kondisi literasi semakin hari bahkan setiap tahun semakin membaik. Salam literasi! oleh: Rara Rezky Setiawati, S.S.Staf Teknis Kantor Bahasa Provinsi Maluku.