Presiden Jokowi melakukan peninjauan pameran produk Defend ID sebelum meluncurkan Holding dan Program Strategis Badan Usaha Milik Negara Industri Pertahanan (Defend ID), di Hanggar Fasilitas Kapal Selam PT PAL, Surabaya, 20 April 2022. ( Laily Rachev – Biro Pers Sekretariat Presiden) Foto: Presiden Jokowi melakukan peninjauan pameran produk Defend ID sebelum meluncurkan Holding dan Program Strategis Badan Usaha Milik Negara Industri Pertahanan (Defend ID) di Hanggar Fasilitas Kapal Selam PT PAL, Surabaya, 20 April 2022. ( Laily Rachev – Biro Pers Sekretariat Presiden)

Sejak tahun 2020, belanja pertahanan Indonesia meningkat tajam dibandingkan masa sebelumnya. Meskipun Indonesia terkena pandemi Covid-19, nyatanya belanja pertahanan mencetak rekor tersendiri, khususnya kegiatan-kegiatan yang dibiayai oleh Pinjaman Luar Negeri Negeri (PLN).

PLN memang merupakan sumber utama belanja pertahanan karena nilai belanja modal dalam APBN tahunan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pertahanan. Hingga awal April 2023, dari alokasi PLN sebesar US$ 25,7 miliar dalam Daftar Rencana Pinjaman Luar Negeri Jangka Menengah 2020-2024, Menteri Keuangan telah menerbitkan Penetapan Sumber Pembiayaan (PSP) sebesar US$ 25,2 miliar.

Apabila semua PSP tersebut dapat dieksekusi oleh Kementerian Pertahanan dan Kementerian Ke­uangan, nilai utang luar negeri untuk belanja pertaha­nan tidak akan mencapai US$ 25,2 miliar. Sesuai dengan aturan yang berlaku, untuk setiap kegiatan yang menerima PSP, Indonesia harus mengalo­kasikan dana Rupiah Murni Pendamping (RMP).

Sejauh ini rata-rata nilai RMP adalah 7,5% dari total nilai setiap kegiatan, di mana RMP berasal dari alokasi APBN tahunan bagi Kemenhan. Rata-rata tenor PLN untuk belanja pertahanan adalah sekitar 30 tahun dengan suku bunga yang cukup kompetitif di pasar internasional.

Baca Juga: Pentingkah GSP Bagi Indonesia?

Mengacu pada aturan yang berlaku, setiap kegiatan belanja pertahanan yang bermitra dengan produsen senjata luar negeri harus disertai dengan meka­nisme imbal dagang, kandungan lokal dan offset. Dalam praktiknya, kegiatan yang terkait dengan mekanisme kandungan lokal dan offset jauh lebih mengemuka dibandingkan dengan mekanisme imbal dagang berdasarkan pertimbangan bahwa imbal dagang tidak banyak berkontribusi pada kemajuan industri pertahanan Indonesia.

Untuk belanja pertahanan saat ini, nampaknya tidak ada kegiatan yang memakai mekanisme imbal dagang lantaran Kemenhan nampaknya lebih suka dengan mekanisme kandungan lokal dan offset. Da­lam konteks untuk penguasaan teknologi, meka­nisme offset merupakan mekanisme yang paling menjanjikan dibandingkan dengan mekanisme kandungan lokal.

Program pengadaan major weapon systems dalam belanja pertahanan saat ini yang membutuhkan PLN ratusan juta hingga miliaran dolar AS di antaranya adalah rudal pertahanan udara, pesawat angkut, pesa­wat tempur, dan kapal selam. Semua program tersebut telah mendapatkan PSP, bahkan beberapa di antaranya telah memiliki kontrak dengan status efektif.

Lewat kucuran PLN, diharapkan kegiatan alih teknologi lewat kandungan lokal dan offset dapat berjalan untuk membantu meningkatkan pengua­saan teknologi pertahanan oleh industri pertahanan Indonesia. Terkait dengan pemanfaatan dana PLN untuk alih teknologi melalui kedua mekanisme tersebut, terdapat beberapa hal yang perlu dicermati.

Pertama, efektivitas kandungan lokal dan offset. Apakah benar bahwa kandungan lokal dan offset dapat berkontribusi secara efektif pada peningkatan penguasaan teknologi pertahanan?

Terdapat keraguan bahwa upaya untuk mening­katkan kemampuan penguasaan teknologi pertaha­nan dapat dilakukan hanya melalui mekanisme kan­dungan lokal dan offset apabila tidak diikuti dengan pula kegiatan riset dan pengembangan oleh industri pertahanan lokal bersama dengan pemerintah.

Penting untuk dipahami bahwa mekanisme kan­dungan lokal dan offset hanya memberikan bagian-bagian tertentu saja dari suatu teknologi sehingga mustahil untuk mengandalkan penguasaan tek­nologi tersebut tanpa diimbangi dengan kegiatan riset dan pengembangan secara mandiri.

Kedua, keseimbangan antara kandungan lokal dan offset. Indonesia terkadang puas dengan pemberian kandungan lokal dalam akuisisi sistem senjata, di antaranya adalah kemampuan maintenance, repair and overhaul (MRO), pendidikan dan pelatihan tenaga ahli lokal dan pemakaian bahan baku lokal.

Kandungan lokal nampaknya menjadi pilihan ketika offset tidak dapat dilakukan karena negara penjual tidak memberikan lisensi ekspor untuk offset. Offset yang dimaksud di sini adalah offset langsung, misalnya menjadi bagian dari global supply chain produsen sistem senjata yang produknya dibeli oleh Indonesia.

Akan lebih baik apabila ke depan offset lebih dominan daripada kandungan lokal. Namun tentu saja hal demikian mensyaratkan kemampuan industri pertahanan domestik untuk menyerap teknologi yang akan diberikan oleh mitra asing.

Ketiga, utang sebagai andalan untuk alih teknologi. Program pengadaan sistem senjata yang mensya­ratkan adanya alih teknologi nilainya selalu lebih mahal daripada program serupa tanpa persyaratan alih teknologi.

Menjadi pertanyaan apakah efektif mengandalkan utang untuk alih teknologi melalui mekanisme kandungan lokal dan offset? Penggunaan utang hanya akan efektif pada titik tertentu apabila nilai PSP yang disetujui cukup besar sehingga tersedia ruang fiskal pada pinjaman itu yang dapat dimanfaatkan untuk membiayai kegiatan alih teknologi.

Secara ideal, upaya penguasaan teknologi per­tahanan harus menggunakan pembiayaan yang berbeda daripada utang pengadaan sistem senjata. Namun lemahnya political will membuat gagasan adanya pembiayaan tersendiri bagi program penguasaan teknologi tidak dapat diwujudkan.

Kalaupun terdapat penggunaan dana APBN untuk penguasaan teknologi pertahanan, sejauh ini baru sebatas program KFX/IFX dan pembangunan fasilitas produksi atau modernisasi fasilitas produksi pada industri pertahanan BUMN. Sebagai contoh, pemerintah telah mengucurkan dana Rp 2,78 triliun kepada PT PAL Indonesia untuk membangun fasilitas kapal selam.

Program akuisisi kapal selam merupakan salah satu kegiatan yang mendapatkan PSP cukup besar, yakni US$ 2,1 miliar untuk pengadaan dua kapal selam diesel elektrik. Pertanyaan kritis yang muncul apakah Indonesia akan mendapatkan alih teknologi melalui offset seperti yang diharapkan?

Hal ini akan sangat tergantung pada Kemenhan dalam bernegosiasi dengan dua galangan kapal asal Eropa yang menawarkan solusi kapal selam kepada Indonesia. Sebagai ilustrasi, Naval Group telah menyatakan komitmen memberikan 35% offset kepada Indonesia, selain membangun semua kapal selam di Indonesia.

Keputusan pembelian sistem senjata merupakan keputusan politik, namun akan lebih baik apabila di antara unsur-unsur pertimbangan dalam keputusan itu terkait dengan engineering dan keuntungan industri yang didapatkan oleh Indonesia dari pemberian kontrak ke salah satu pabrikan.

Dikaitkan dengan korelasi antara belanja pertahanan terhadap alih teknologi, hal demikian akan sangat ditentukan oleh seberapa besar belanja pertahanan yang tersedia, termasuk untuk investasi teknologi.

Akankah Indonesia akan mendapatkan keuntungan di bidang engineering dan industri melalui belanja US$ 2,1 miliar? Jawaban atas pertanyaan itu bukan ditentukan oleh galangan seperti Naval Group, tetapi oleh Kemenhan. Oleh: Kurniawan Budi IriantoPejabat pengawas pada Kementerian Keuangan.