AMBON, Siwalimanews – Sahrul Nurdin, otak dibalik tran­saksi penjualan senjata api atau senpi dan amunisi ke kelompok kriminal bersenjata (KKB) di Papua divonis 12 tahun penjara potong masa tahanan di Pengadilan Negeri Ambon, Kamis (3/6).

Pria 36 tahun itu divonis bersamaan dengan lima terdakwa lainnya de­ngan hukuman bervariasi. Selain Sahrul, lima terdakwa lain yakni San Herman Palijama alias Sandro (34), dan Muhammad Romi Arwanpitu alias Romi (38) yang merupakan dua ok­num anggota polisi divonis dengan hukuman tujuh tahun penjara. Se­lanjutnya, warga sipil Ridwan Moh­sen Tahalua (44), Handri Morsalim (43) dan  Andi Tanan (50) juga di­ganjar dengan hukuman tujuh tahun penjara.

Vonis enam terdakwa ini dibaca­kan majelis hakim yang diketuai Pasti Tarigan. Dalam amar putusannya, ma­jelis hakim mengatakan, enam terdak­wa itu terbukti secara sah dan meya­kinkan bersalah melakukan tindak pidana secara bersama-sama, meneri­ma, menyerahkan, membawa, meng­ua­sai, menyimpan, menyembu­nyikan, mempergunakan  senjata api dan amu­nisi tanpa hak sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Da­rurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang peru­bahan  “Ordonnantie Tijdelikke Bij­zondere Strafbepalingen” (STBL. 1948 No.17) jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, pasal 338  jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

“Memvonis nam terdakwa seba­gaimana dalam amar putusan yang disebutkan di atas, serta memerin­tahkan agar para terdakwa tetap di tahan,” ujar Taringan.

Vonis yang dijatuhkan hakim ini, lebih ringan dari tuntutan jaksa yang meminta majelis hakim menjatuhkan hukuman 10 tahun penjara kepada dua oknum polisi yakni San Herman Palijama alias Sandro (34), dan Muhammad Romi Arwanpitu alias Romi (38). Dan Sahrul Nurdin (39),  dengan hukuman 12 tahun penjara, serta Ridwan Mohsen Tahalua (44), Handri Morsalim (43) dan  Andi Tanan (50) dengan hukuman delapan tahun penjara.

Baca Juga: Eks Kadis PU KKT Cs Tersangka Kasus Taman Kota Saumlaki

Didakwa Pasal Berlapis

Untuk diketahui, Jaksa Penuntut Umum Eko Nugroho, dalam dakwa­annya menjelaskan transaksi penjua­lan senpi serta peranan para ter­dakwa. Disebutkan, transaksi senja­ta api, dilakukan oleh para terdakwa di sejumlah lokasi. Dimana awal tran­saksi atas permintaan Atto Murib (DPO) pemilik tambang emas di kilometer 54 Kabupaten Nabire Papua kepada Welem Tauk  warga Ambon (terdakwa dalam berkas perkara tersendiri yang diajukan penuntutan secara terpisah) untuk mencarikan senpi dan amunisi untuk dibeli.

Dari permintaan tersebut, Welem Taruk kemudian berkenalan de­ngan Sam Herma Palijama yang merupa­kan anggota Polresta Ambon. Taruk kemudian meminta dicarikan sen­jata rakitan untuk dijual kembali.

Sam selanjutnya mengiyakan per­mintaan tersebut dan menghubungi warga Rumahkay Iwan Touhuns (DPO) untuk mencarikan senjata rakitan seperti yang diminta. Sekitar bulan Oktober 2020, Iwan kemudian menghubungi Sam dan memberita­hukan bahwa  ada senjata api rakitan jenis SS1 yang siap dijual.

“Sam selanjutnya menuju Desa Rumahkay untuk melihat senjata yang dijual dengan harga Rp.8 juta tersebut,” ujar JPU saat membacakan dakwaan.

Senjata rakitan yang didapatkan terdakwa tersebut kemudian dita­war­kan kepada Welem Taruk dengan harga Rp.20 juta. Setelah ada per­setujuan dengan harga yang dita­warkan keesokan harinya Taruk menuju desa Rumahkay untuk lakukan transaksi.

“Taruk datang dengan mobil Avansa Veloz hitam dan menunggu terdakwa Sam di ujung Desa Rumah Kai selanjutnya Taruk memberikan uang Rp.20 juta kepada terdakwa Sam dan mengambil senjata api rakitan tersebut,”pungkasnya.

Transaksi berlanjut pada Desem­ber 2020, dimana Iwan Touhuns (DPO) kembali menghubungi Ter­dakwa Sam bahwa ada senjata ra­kitan yang mau dijual dengan harga Rp.6 juta. Terdakwa sam selanjutnya menghubungi Welem Taruk bahwa terdapat senjata yang akan dijual dengan harga Rp.20 juta.

Setelah ada persetujuan Willem Taruk kemudian melakukan pemba­yaran secara transfer kerekening terdakwa Sam.

Selanjutnya terdakwa sam menuju desa Rumahkay membayar uang Iwan dan mengambil yang kemudian disimpan rumahnya di Desa Pia, Saparua. Januari 2021 Welem Taruk datang mengambil senjata tersebut dan membawa senjata itu ke Papua melalui lewat jalur laut Seram.

Selanjutnya, di bulan Agustus 2020 tepatnya dipangkalan Ojek Lorong Desa Batu Merah Keca­matan Sirimau Kota Ambon, ter­dakwa Muhammad Romi Arwanpitu yang juga oknum anggota Polri, mendapatkan senjata api jenis pistol dari saksi Amirudin Lessy, ok­num anggota TNI Angkata Udara (diproses pidana militer) dan mena­warkan senpi yang disimpan dipi­nggangnya itu kepada terdakwa Rid­wan Mohsen Tahalua dengan harga Rp.5 juta. Pistol tersebut kemudian di bawa ke Pasar Arumbai untuk ditawarkan ke terdakwa Sahrul Nurdin.

Transaksi berlanjut lagi diawal tahun 2020, dimana terdakwa Handri Morsalim menawarkan senjata api laras pendek rakitan beserta 1 amunisi kepada terdakwa Sahrul di Pasar Mardika yang dibeli seharga Rp.1 juta.

Pada bulan November 2020 ter­dakwa Andi Tanan kemudian mencari Milton Sialeky, oknum anggota TNI Angkatan Darat yang diproses pidana militer untuk membeli amunisi.

Transaksi jual beli butir peluru terjadi sebanyak tiga kali  yakni seratus butir peluru kaliber 5,56 dbeli dibawa Jembatan Merah Putih dengan harga RP. 500.000, kedua di November 100 butir peluru kaliber 5,56 dengan RP. 500.000 dan ketiga 400 butir kaliber 5,56 di Januari 2021 bertempat di depan gereja Pan­tekosta, Lampu Lima  dengan harga Rp. 1 juta.

Atas perbuatannya , para terdakwa diancam pidana pasal 1 ayat (1) Undang- Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 dan Undang-Undang RI dahulu No.8 tahun 1948 jo Pasal 55 ayat (1) ke-l KUHP.

Usai jaksa membacakan dakwaan­nya, hakim langsung menunda sidang hingga pekan depan dengan agenda pemeriksaan saksi. (S-45)