AMBON, Siwalimanews – 16 Program Unggulan Murad Ismail dan Barnabas Orno, hanyalah janji manis yang sengaja ditebar untuk meraih simpati publik kala kampanye.

Pasalnya, hingga saat ini, tak satu­pun program mereka yang bisa diimplementasikan. Mereka bahkan dinilai gagal mengawasi 16 program ung­gulan dalam rangka meningkat­kan kesejahteraan masyarakat.

Andai saja ada program yang di­arahkan untuk mendongkrak kese­jahteraan rakyat, otomatis angka kemiskinan di Maluku tidak akan meningkat.

Akademisi FISIP Unpatti, Paulus Koritelu menilai, 16 program ung­gulan yang diusung MI-Orno seba­gai Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku jika itu diawasi dan dija­lankan, tentu saja tingkat kesejah­teraan masyarakat Maluku akan bertambah, dan angka kemiskinan juga dengan sendirinya bisa ditekan.

“Jadi memang saya salut dengan konstruksi program dari pasangan MI-Orno yang idal untuk mas­yarakat Maluku terkhususnya untuk meningkatkan kesejahteraan masya­rakat Maluku,” kata Koritelu saat diwawancarai Siwalima melalui tele­pon selulernya, Selasa (24/1).

Baca Juga: Polri-TNI Amankan Eksekusi Lahan di Passo

Namun dia berpendapat, upaya untuk menurunkan angka kemiski­nan belum secara maksimal dila­kukan.

“Saya menilai ini belum maksimal sehingga dari data BPS jumlah orang miskin bertambah di Maluku saya kira ini sesuatu yang sangat wajar. Tentu dalam kerangka berpikir ilmiah, ada variabel yang sifatnya makro yang universal, tetapi juga ada variabel mikro yang ternyata terabaikan dari kepemimpinan kali ini.  Yang makro mungkin kita tahu ada covid, tetapi skala mikro saya kira kepemimpinan kali ini harus mendapatkan perhatian khusus dari semua lapisan masyarakat,” ujarnya.

Data BPS yang dirilis pada perte­ngahan Januari 2023 menyebutkan jumlah orang miskin pada September 2022 mencapai 299,66 ribu orang atau bertambah 6,09 ribu orang, jika dibanding bulan Maret 2022 sebesar 290,57 ribu.

Paparan angka kemiskinan yang meningkat di Maluku, lanjut Kori­telu, adalah sesuatu yang objektif dan wajar ketika memang kinerja pemrpov yang dirasakan masyarakat belum maksimal berdasarkan angka kemiskinan yang terus bertambah dari waktu ke waktu.

Secara objektif kita tahu sampai saat ini kriteria kemiskinan lokal itu belum cukup dominasi blantika aka­demik soal angka-angka kemiskinan.

“Jadi misalnya terlepas 16 program unggulan MI-Orno itu tetapi secara objektif syarat kemiskinan yang diterapkan oleh BPS dan masih perlu mendapatkan kajian akademis yang jauh lebih komprehensif,” tuturnya.

Selain itu, lanjut Koritelu, bentuk kemiskinan yang sangat mempri­hatinkan itu adalah, mentalitas rakyat Maluku yang mungkin terlalu diterpa oleh bencana maupun nilai-nilai budaya yang terabaikan karena variabel-variabel politik yang terlalu dominan, karena itu manivestasi munculnya kemiskinan dalam mas­yarakat makin merajalela dimana-mana.

“Artinya kalau masyarakat kita dibilang miskin tentu mereka tidak mau, tetapi ketika diberikan bantuan baru rame-rame,” katanya.

Menurut, tidak jalannya 16 program unggulan ini akibat keroposnya koordinasi internal pada pemprov sendiri.

“Berpacu pada 16 program yang sudah disusun itu sebentarnya fokus kesitu, sehingga menurut saya konselasi pemenangan pada Pilkada yang akan datang itu bukan pada basis massa, tetapi maksimalkan program,” tuturnya.

Ditambahkan 16 program ung­gulan MI-Orno ini sangat ideal tetapi sayangnya hanya sebatas sebuah dokumen perencanaan dan hanya pada tataran wacana, ini juga karena dinamika internal yang memang harus diperbaiki.

Janji Kampanye

Untuk diketahui, 16 program ung­gulan MI-Orno adalah (1) Pemin­dahan Ibukota ke Makariki, Seram dan percepatan Pembangunan Per­kantoran Provinsi. (2) Rekruitmen PNS dan pejabat berdasarkan kom­perensi dan mempertimbangan keter­wakilan suku, agama, dan ke­wilayahan. (3) Penerapan sistem e-goverment dan e-budgeting untuk transparansi dan percepatan pela­yanan publik. (4) Harga sembako stabil dan murah. (5) mewajibkan perusahaan di Maluku memper­kerjakan minimal 60% anak Maluku. (6) Biaya pendidikan gratis untuk SMU-SMK di Maluku. (7) Kartu Beasiswa Maluku untuk mahasiswa berprestasi yang kurang mampu. (8) Pengembangan RSUD menjadi RSUD pusat bertaraf Internasional. (9) Meningkatkan status puskes­mas biasa menjadi puskesmas rawat inap di daerah terpencil dan terjauh. (10) Kartu Maluku sehat untuk berobat gratis di puskesmas dan rumah sakit. (11) Bedah rumah untuk keluarga miskin. (12) menciptakan produk lokal “one sub distric/one village, one product. (13) Pengem­bangan Provinsi Kepulauan dan Maluku sebagai Lumbung Ikan Nasional. (14) Pembangunn Smart City di pusat kabupaten/kota di Maluku. (15) Maluku terang dengan listrik masuk desa. (16) Revitalisasi lembaga-lembaga adat.

Koritelu menyayangkan 16 program unggulan MI-Orno tersebut tidak dijalankan hingga diakhir masa jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku.

Rakyat Dikorbankan

Terpisah, Akademisi Unidar Rauf Pellu menyayangkan sikap Gubernur Maluku Murad Ismail dan Barnabas Orno yang tidak merealisasikan 16 program prioritas yang disampaikan saat kampanye pemilihan Gubernur 2018 lalu.

Menurutnya, 16 poin janji kam­panye tersebut telah membuat masyarakat Maluku menjatuhkan pilihan kepada Murad Ismail dan Barnabas Orno, namun tidak ada satu pun yang direaliasi oleh pasangan yang bertajuk Baileo ini.

“Sangat disayangkan seluruh janji kampanye yang disampaikan Murad dan Orno tidak berjalan dan rakyat merasa mereka dibohongi,” ujar Pellu.

Murad dan Orno kata Pellu seha­rusnya konsisten untuk menjalan­kan seluruh janji yang disampaikan kepada masyarakat, sebab itu merupakan beban moral kepada rakyat Maluku yang telah memper­cayakan Murad-Orno sebagai pemimpin lima tahun.

Apalagi, dalam janji tersebut terdapat beberapa poin yang ber­sentuhan langsung dengan kesejah­teraan masyarakat, tetapi faktanya saat ini justru angka kemiskinan justru meningkat dan ditindak berbanding lurus dengan semangat Murad-Orno diawal kampanye.

Pellu menegaskan, jika sediakala Murad-Orno konsisten untuk men­jalankan janji kampanye maka dapat dipastikan jumlah penduduk miskin akan menurun sehingga Maluku dapat keluar dari status daerah miskin ke empat di Indonesia.

Tak Sentuh Masalah

Pemerintah Provinsi Maluku dinilai belum maksimal dalam menekan tingkat kemiskinan di Maluku lantaran program-program yang bersentuhan dengan angka kemiskinan belum gencar direalisasi.

Anggota DPRD Provinsi Maluku, Michael Tasane menjelaskan hingga saat ini masih ada daerah-daerah yang masuk dalam kategori miskin ektrim, tetapi belum disentuh de­ngan denga intevensi program yang sesuai dengan karakteristik daerah.

“Kalau sampai saat ini Maluku kasih miskin karena memang program yang dilakukan belum bersen­tuhan dengan kondisi masyarakat khususnya di lima daerah miskin ekstrim,” ujar Tasane kepada war­tawan di ruang kerjanya, Selasa (24/1).

Diakuinya, masalah kemiskinan bukan menjadi tanggung jawab Pemerintah Provinsi Maluku semata karena ada juga Pemda Kabupaten dan Kota tetapi Pemprov harus melakukan intevensi baik program maupun anggaran.

Bahkan pinjaman SMI tahun 2020 sebesar 683 miliar ternyata belum dapat menyelesaikan persoalan yang menjadi hambatan bagi masyarakat di kabupaten dan kota untuk keluar dari kemiskinan ekstrim, padahal dengan anggaran sebesar itu harusnya persoalan klasik sudah harus dituntaskan.

Pemerintah Provinsi selama ini hanya memprioritaskan Kota Ambon dan Kabupaten Maluku Tengah dengan berbagai program pemba­ngunan, tetapi daerah lain justru tidak tersentuh akibatnya angka kemiskinan terus meningkat.

Menurutnya, salah satu langkah yang dapat ditempuh jika Pemda ingin menekan angka kemiskinan ialah dengan menggenjot pemba­ngunan infrastruktur di daerah penyumbang angka kemiskinan, sebab konektivitas wilayah akan berpengharu terhadap tingkat ke­miskinan.

“Masyarakat kecil kesulitan ber­aktivitas memasarkan hasil sumber daya alam karena pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan belum terakses dengan baik, ini yang harus menjadi prioritas Pem­prov bukan yang lain,” tegasnya.

Tasane mencontoh salah satu desa di Bursel, yakni Desa Fakal, Kecamatan Fenafafan memiliki potensi sumber daya alam yang sangat luar biasa, namun akses jalan belum dibangun.

“Di desa itu penghasil sayur, ken­tang, bawang, dan wortel, namun, warga kesulitan memasarkan hasil kebunya di pusat pereko­no­mian, artinya warga kesulitan memo­bili­sasi hasil pertanian,” ucap Tasane.

Selain itu, program-program pem­berdayaan selama ini masih ber­fokus di Kota Ambon dan Maluku Tengah sedangkan daerah lain tidak tersentuh sehingga sangat disayangkan.

Politisi Golkar Maluku ini pun mengingatkan Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku untuk dapat bekerja ekstra di sisa periode ini agar angka kemiskinan dapat ditekan dengan memperbanyak program pember­dayaan dan membuka akses konek­tivitas agar warga dengan mu­dah memasarkan hasil pertanian se­hingga dengan sendirinya dapat me­ni­ngkatkan kesejahteraan masyarakat.

Terpisah, akademisi Fisip Unpatti Victor Ruhunlela menilai persoalan kemiskinan di Maluku belum terkola dengan baik oleh Pemerintah baik Provinsi maupun Kabupaten dan Kota.

Menurutnya, upaya untuk me­nurunkan angka kemiskinan harus dilakukan dengan mengedepankan kolaborasi antara pemerintah provinsi dan kabupaten serta kota sebab jika tidak ada kolaborasi dan kerja sama maka upaya menurunkan angka kemiskinan justru akan gagal dilakukan.

“Kemiskinan ini harus dikelola dengan baik dan juga harus ada ko­laborasi antara pemerintah provinsi dan kabupaten/kota sebab kalau tidak ini akan gagal,” ujar Ruhunlela.

Dikatakan, diera otonomi daerah ini Pemerintah Kabupaten dan Kota memiliki kewenangan yang cukup besar terhadap setiap persoalan yang diterjadi artinya Pemda tidak boleh mempertahankan ego masing-masing daerah sebab jika diper­tahankan angka kemiskinan akan meningkat.

Disisi lain  sebagai wakil peme­rintah pusat di daerah, Pemrov Ma­luku harus terus melakukan inter­vensi terhadap setiap kebijakan yang dilakukan agar bersesuaian dengan kebutuhan masyarakat di kabupaten dan kota.

Ruhunlela berharap Pemerintah Provinsi Maluku dapat membangun sinergitas bersama Kabupaten dan Kota dalam menekan angka ke­miskinan di Maluku.

Orang Miskin Bertambah

Badan Pusat Statistik Provinisi Maluku mencatat, angka kemiskinan di Maluku mengalami peningkatan yang cukup drastis pada September 2022.

Data BPS yang dirilis pada perte­ngahan Januari 2023 menyebutkan jumlah orang miskin mencapai 299,66 ribu orang atau bertambah 6,09 ribu orang, jika dibanding bulan Maret 2022 sebesar 290,57 ribu.

Adapun presentase penduduk miskin di Maluku per September 2022 tercatat 16,23 persen lebih tinggi dibandingkan Maret 2022 yang hanya 15,97 persen.

Jumlah tersebut naik 3,12 ribu orang dibandingkan bulan Maret 2022 tercatat sebesar 245,45 ribu orang. jika dilihat dari sisi persentase, tingkat kemikinan di perdesaan pada September 2022 (24,54 persen) juga mengalami kenaikan dibandingkan Maret 2022 sebesar 23,50 persen.

Sebaliknya jumlah penduduk miskin di perkotaan pada September 2022 tercatat sebanyak 48,08 ribu orang. Jumlah ini bertambah 2,96 ribu orang dibandingkan periode Maret 2022 yang menunjukkan angka 45,12 ribu orang. Bila dilihat dari sisi persentase, tingkat kemiskinan di perkotaan pada September 2022 (5,90 persen), juga mengalami ke­naikan dibandingkan Maret 2022 yang sebesar 5,82 persen.

Menanggapi hal ini, Ketua Fraksi Partai Perindo Amanat Berkarya DPRD Provinsi Maluku, Jantje Wenno mengungkapkan, kenaikan angka kemiskinan di tahun terakhir pemerintahan Gubernur Murad Ismail dan Barnabas Orno menjadi pukulan telak bagi pasangan yang mengusung jargon Baileo ini.

Padahal dalam sejumlah kesem­patan, lanjut Wenno, MI sapaan akrab Gubernur Maluku ini selalu sesumbar angka kemiskinan yang terus menurun.

“Ini miris, mereka agak sedikit bangga bahwa angka kemiskinan Maluku berkurang tetapi, justru awal tahun baru rilis BPS justru menunjukkan angka kemiskinan Maluku bertambah,” ujar Wenno kepada Siwalima melalui pesan WhatsApp, Sabtu (21/1).

Menurutnya, kenaikan jumlah penduduk miskin sebesar 6.09 orang untuk Provinsi Maluku ukuran dengan jumlah penduduk 1.8 juta jiwa cukup banyak, dan menjadi pukulan telak bagi Murad Ismail dan Barnabas Orno karena penanganan kemiskinan sebagaimana visi dan misi tidak berhasil dilakukan.

Wenno menilai, penyebab dari naiknya angka kemiskinan Maluku lantaran selama ini pemerintah Provinsi Maluku tidak mengedepan­kan program-program pemberda­yaan pada daerah-daerah yang men­jadi kantong kemiskinan ekstrim, akibatnya terjadi kontradiktif antara hasil BPS dengan pernyataan Pe­merintah Provinsi Maluku.

Pemerintah Provinsi Maluku, kata Wenno, cenderung tidak menyen­tuh daerah-daerah yang menjadi kantong penyumbang kemiskinan artinya, jika anggaran daerah lebih banyak dikucurkan kepada wilayah kantong kemiskinan pasti akan turun, namun sayangnya Pemprov hanya berpusat di daerah yang relatif kecil tingkat kemiskinan sehingga tidak ada manfaatnya.

Selain itu, pinjaman Pemerintah Provinsi Maluku kepada PT SMI sebesar 683 miliar ternyata tidak mampu untuk menekan angka kemiskinan di Maluku, padahal mestinya dengan pinjaman SMI angka kemiskinan harus menurun bukan bertambah.

Isapan Jempol

Gubernur Maluku Murad Ismail dan Barnabas Orno dalam berbagai kesempatan mengungkapkan jika angka kemiskinan Provinsi Maluku terus mengalami penurunan, namun faktanya nyanyian mantan Dankor Brimob tersebut hanya isapan jempol belaka.

Pasalnya, sampai dengan tahun terakhir Pemerintahan yang diusung PDIP, Gerindra, PAN, Nasdem, Hanura, PKPI dan PPP tersebut tidak berhasil untuk menekan angka kemiskinan, hingga dipenghujung tahun pemerintah periode 2019-2024.

Akademisi Fisip UKIM, Amelia Tahitu menjelaskan, data yang dike­luarkan Badan Pusat Statistik Pro­vinsi Maluku sejak tahun 2019 hingga 2022 lalu masih menun­juk­kan tren peningkatan yang cukup signifikan dan tidak berbanding lurus dengan pernyataan yang se­ring dikeluarkan Gubernur Maluku.

Dijelaskan, data yang dikeluarkan BPS Provinsi Maluku menujukan terjadi peningkatan 6,09 orang pen­duduk miskin di Maluku dan daya inilah yang menjadi dasar dalam mengklaim bahwa pemerintahan gagal untuk menurunkan angka kemiskinan sebab soal naik dan turun ada indikator ukurnya.

“Kalau Gubernur sering bilang kemiskinan turun tapi faktanya naik, maka data yang digunakan Gubernur itu keliru sebab data BPS menjadi valid menujukan kenaikan signifi­kan,” bebernya.

Menurutnya, Gubernur dan Wakil Gubernur tidak boleh memberikan harapan kepada masyarakat seakan-akan kemiskinan di Maluku mengalami penurunan, tetapi harus diikuti dengan fakta agar masyarakat ketahui dan merasa tidak dibohongi.

Tahitu menilai, kenaikan angka kemiskinan di Maluku selama periode ini terjadi karena seluruh proses pembangunan Maluku tidak memperhatikan daerah-daerah yang selama ini menjadi kantong kemiskinan, akibatnya kurang berhasil menekan angka kemiskinan.

Selama ini tambah dia, anggaran daerah seperti pinjaman SMI hanya di larahkan kepada Kota Ambon dan Maluku Tengah sedangkan kedua daerah ini yang menyumbang angka kemiskinan bagi Maluku melainkan MBD, SBT, Buru, Buru Selatan dan Tual.

Karenanya, Tahitu meminta Pemerintah Provinsi Maluku dan kabupaten/kota agar dapat berkolaborasi dengan baik lagi kedepan agar angka kemiskinan dapat ditekan dan masyarakat dapat sejahtera. (S-05/S-20)