OPTIMISTISKAH ekonomi kita tahun ini? Pertanyaan ini menjadi pertanyaan wajib di awal tahun. Demikian juga saat diskusi Jumpa Pakar pada rangkaian Peringatan Ke-52 Hari Ulang Tahun Media Indonesia (25/1/2022). Bila yang dimaksud optimistis ialah tumbuh lebih tinggi jika dibandingkan dengan tahun lalu, tentu jawabannya optimistis. Meskipun, ada faktor global yang menjadi tantangan. Namun, banyak faktor domestik yang berpotensi menjadi pendorong pertumbuhan pada 2022. Pemulihan ekonomi global sangat dipengaruhi kecepatan vaksinasi dunia karena kesenjangan yang lebar akan menjadi penghambat aliran orang dan barang. Tahun ini global akan sedikit melemah akibat masalah domestik yang dihadapi negara-negara utama, baik seperti krisis properti di Tiongkok maupun infl asi akibat kenaikan harga energi seperti di Amerika Serikat. Proyeksi kenaikan suku bunga oleh The Fed juga menjadi kekhawatiran karena akan menekan nilai tukar dan menyempitkan spread imbal hasil. Meski demikian, Indonesia tidak perlu terlalu khawatir karena dampak negatifnya terhadap ekonomi Indonesia semakin berkurang.

Faktor domestik Ekonomi nasional di era pandemi semakin ditentukan oleh faktor domestik. Konsumsi rumah tangga, yang porsinya terhadap PDB cukup besar (56%-57%) misalnya, akan tumbuh lebih tinggi. Penyebabnya karena kelas menengah dan atas, yang porsinya lebih dari 80% total konsumsi rumah tangga, akan ada kenaikan belanja yang signifi kan baik barang maupun jasa. Kuncinya, tentu bila tidak terjadi lonjakan kasus positif covid-19, dan realisasi vaksinasi baik tahap satu, dua, maupun booster berjalan sesuai rencana. Untuk konsumsi pemerintah, meskipun menurun jika dibandingkan dengan tahun lalu, masih menjadi sumber penting. Investasi yang selama masa pandemi tumbuh positif akan berlanjut, baik investasi PMA maupun PMDN. Walaupun ada pekerjaan rumah untuk mendorong porsi investasi sekunder (industri pengolahan). Era emas bonus demografi tersisa delapan tahun karena terpangkas pandemi selama dua tahun sehingga penciptaan lapangan kerja dan nilai tambah terhambat.

Ekspor yang tumbuh relatif tinggi tahun lalu tetap positif. Meskipun ada kekhawatiran harga komoditas dan permintaan dunia tahun ini menurun. Namun, impor akan tumbuh lebih tinggi karena permintaan domestik meningkat, baik untuk rumah tangga maupun industri. Neraca perdagangan akan kembali menjadi isu penting setelah absen selama dua tahun. Tren peningkatan permintaan ini akan menekan infl asi tahun ini. Tidak hanya akibat demand pull, inflasi juga akan terdorong oleh cost push, akibat kemungkinan pele mah an nilai tukar rupiah dan rencana kenaikan harga yang diatur pemerintah (LPG, BBM, dll). Menghadapi tantangan, kebijakan moneter 2022 memang lebih berat jika dibandingkan dengan tahun lalu sehingga kebijakan yang sangat longgar dalam dua tahun terakhir tidak mudah dipertahankan. Namun demikian, perlu kehati-hatian. Tekanan inflasi misalnya, karena akan lebih didorong permintaan dan pemulihan, tidak perlu respons yang terlalu reaktif.

Kebijakan fiskal tahun ini tidak ada pilihan lebih ekspansif. Ada dua alasan. Pertama, masalah mendasar perlu menjadi perhatian: Debt Service Ratio yang naik dari 15% (2008) menjadi 45% (2020) dan rasio pembayaran bunga terhadap penerimaan pajak kembali naik tajam, dari 10,3% (2012) menjadi 24,5% (2020), serta defisit pada keseimbangan primer. Kedua, fiskal tahun ini menghadapi banyak tekanan. Penerimaan negara yang tidak seperti tahun lalu, bila harga komoditas dan minyak menurun. Tuntutan peningkatan penerimaan pajak dituntut lebih adil. Menaikkan tarif dan perluasan objek PPN memang sangat menggoda dilakukan karena mudah dan ada alasan tren global di era pandemi. Namun, untuk Indonesia perlu pertim­bangan masak. Selain itu, pembiayaan defisit menghadapai tantangan imbal hasil yang lebih tinggi akibat perubahan The Fed.

Belanja program prioritas Alih-alih ekspansif, kebijakan APBN harus lebih fokus untuk belanja program prioritas, yang dapat memberikan multiplier effect besar bagi ekonomi riil. Saat ini sebagaimana disampaikan IMF, pertumbuhan ekonomi inklusif lebih penting jika dibandingkan dengan pertumbuhan tinggi. Kelas bawah, yang selama dua tahun terakhir sangat bergantung program bantuan sosial, harus diberikan kesempatan untuk mendapatkan tambahan pendapatan. Dengan kata lain, program pemulihan ekonomi nasional (PEN) 2022 harus bergeser dari penyelamatan menuju ke arah pemulihan. Anggaran PEN selama dua tahun terakhir fokus pada penyelamatan rumah tangga, dan bisnis, digeser pada program-program yang mendorong gerakan ekonomi sektor riil. PEN yang makin terbatas, mendesak untuk dapat menjadi captive market bagi produk nasional dan UKM.

Baca Juga: Omikron, Fenomena Blessing in Disguise?

Memang sudah terlambat bila baru dimulai tahun ketiga stimulus fi skal. Namun, program pemulihan terintegrasi harus dilakukan. Sebagai contoh, paket sembako untuk 18,8 juta keluarga harus diisi dengan produk-produk UKM daerah sehingga akan ada gerakan ekonomi secara meluas. Selanjutnya, dana PEN untuk UKM yang nilainya cukup besar akan diprioritaskan untuk UKM produk paket sembako yang efi sien dan kompetitif. Kebijakan ini akan terus berlanjut dan terintegrasi untuk mendorong sisi produksi yang lemah. Masalah global supply chain yang terganggu akibat pandemi, harus ditangkap sebagai momentum untuk mendorong produksi dalam negeri dan domestic value chain. Backward and forward linkage yang rendah di industri manufaktur, secara berkelanjutan akan semakin tinggi dan berkelanjutan. Memang tidak mudah untuk menyusun kebijakan terintegrasi saat ini. Namun, harus dimulai. Tren pertumbuhan investasi yang tinggi dan relokasi industri global yang semakin masif harus dimanfaatkan untuk mendukung revitalisasi industri nasional. Tidak hanya investasi besar.

Mendorong investasi domestik skala menengah dengan kebijakan insentif yang komprehensif (fiskal, perdagangan, dll) juga sangat penting. Demikian juga tren transformasi digital yang sangat positif, juga perlu strategi sehingga digitalisasi segera bergeser dari yang saat ini masih fokus di sektor jasa (perdagangan, keuangan, dan transportasi) untuk segera bergerak ke produksi. Akhirnya, pilihan kebijakan ekonomi nasional tidak hanya mendorong ekonomi pulih dengan tumbuh postif dan tinggi, tetapi juga harus mampu memperbaiki struktur ekonomi lebih adil dan kompetitif. oleh: Hendri Saparini  Ekonom dan Pendiri CORE Indonesia