Sebuah Prioritas  ADA hal yang menarik dari pidato Presiden Joko Widodo saat menyampaikan Nota Keuangan APBN 2022 di depan Parlemen. Presiden menyampaikan bahwa Pemerintah menyiapkan enam fokus utama dalam kebijakan APBN 2022; melanjutkan upaya pengendalian covid-19 dengan tetap memprioritaskan sektor kesehatan. Untuk itu Pemerintah mengalokasikan Anggaran kesehatan direncanakan sebesar Rp255,3 triliun, atau 9,4% dari belanja negara. Anggaran tersebut akan diarahkan untuk melanjutkan penanganan pandemi, reformasi sistem kesehatan, percepatan penurunan stunting, serta kesinambungan program Jaminan Kesehatan Nasional. Untuk penanganan covid-19, fokus Pemerintah antara lain antisipasi risiko dampak covid-19, dengan testing, tracing, dan treatment, melanjutkan program vaksinasi, serta penguatan sosialisasi dan pengawasan protokol kesehatan AKI dan AKB dalam kebijakan kesehatanRencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 telah memberikan arah pembangunan bidang kesehatan dengan visi meningkatkan pelayanan kesehatan melalui jaminan kesehatan nasional, khususnya penguatan pelayanan kesehatan primer dengan peningkatan upaya promotif dan preventif yang didukung oleh inovasi dan pemanfaatan teknologi. Kebijakan dalam RPJMN ini difokuskan pada lima hal yaitu meningkatkan kesehatan ibu, anak, keluarga berencana dan kesehatan reproduksi, mempercepat perbaikan gizi masyarakat, meningkatkan pengendalian penyakit, Gerakan masyarakat hidup sehat (Germas) dan memperkuat sistem kesehatan dan pengendalian obat dan makanan. Peningkatan kesehatan ibu dan anak difokuskan pada upaya penurunan angkat kematian ibu (AKI) melahirkan, angka kematian bayi (AKB) lahir, angka kematian neonatal dan peningkatan cakupan vaksinasi.

Dalam 30 tahun terakhir, upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah memang sudah mampu menurunkan AKI yang pada 2020 AKI di Indonesia sudah mencapai 230 per 100 ribu melahirkan. Namun jika dilihat tren penurunannya, masih sangat lambat. Bahkan AKI saat ini juga masih jauh dari target millenium development goals (MDGs) yaitu sebesar 102 per 100 ribu peristiwa melahirkan. Dengan penurunan AKI yang hanya 1,8% per tahun, Indonesia juga diperkirakan tidak akan mampu mencapai target sustainable development goals (SDGs) sebesar 70 kematian ibu per 100 ribu penduduk. Hal yang sama juga terjadi pada penurunan AKB yang masih berlangsung lambat.

Meskipun AKB pada 2020 telah mencapai 21 kematian per 100 ribu kelahiran, namun dengan tren penurunan yang masih lambat diperkirakan juga tidak akan mencapai target SDGs pada 2030 sebesar 12 kematian bayi per 100 ribu kelahiran.Upaya pemerintah untuk menurunkan AKI dan AKB masih jauh dari harapan. Padahal kebutuhan untuk menurunkan AKI dan AKB ini sudah sangat mendesak mengingat Indonesia termasuk 10 negara dengan kematian setelah persalinan (neonatal) tertinggi di dunia. Upaya penurunan AKI dan AKB menjadi semakin berat akibat pandemi covid-19 yang berkepanjangan yang melanda Indonesia. Setidaknya ada tiga penyebab potensi peningkatan AKI dan AKB akibat pandemi covid-19; pertama, terjadinya penurunan layanan imunisasi dasar bagi balita dan pemeriksaan kecukupan gizi dan balita. Hal ini disebabkan oleh menurunnya penyelenggaraan posyandu di mana hampir 50% puskesmas tidak mengadakan posyandu selama masa pandemi. Cukup banyak puskesmas yang menutup layanan/operasional karena tenaga kesehatannya (nakes) terpapar covid-19. Kedua, terjadinya penurunan pelayanan pemeriksaan kehamilan ritin bagi ibu hamil akibat pandemi. Penurunan terjadi karena layanan puskesmas ataupun RSUD yang tutup sementara akibat adanya nakes yang terpapar covid-19, maupun kekhawatiran ibu hamil untuk datang memeriksakan kehamilan ke faskes untuk tertular virus ini. Data Kemenkes misalnya menyebutkan 84% Pelayanan Kesehatan Terdampak dalam 6 bulan awal pandemi. Di sisi lain 83,6% puskesmas mengalami penurunan kunjungan pasien. Ketiga, potensi peningkatan AKB ini disebabkan adanya potensi peningkatan stunting akibat pandemi covid-19 ini yang diperkirakan meningkat hingga 7 juta anak.

Tantangan untuk menekan atau menurunkan angka AKI dan AKB di Indonesia dengan wilayah yang tersebar begitu luas dengan ribuan pulau yang dihuni dan dataran yang bervariasi sangatlah berat. Dari mulai akses ke faskes yang sulit pada penduduk di daerah pegunungan maupun pulau-pulau kecil, infrastruktur yang masih minim di pedalaman, tenaga bidan dan dokter yang terbatas untuk untuk memenuhi kebutuhan di semua wilayah dan jumlah penduduk yang besar sampai dengan tradisi yang masih menghambat. Masih banyak masyarakat di pedesaan yang lebih percaya kepada penolong kelahiran tradisional seperti dukun beranak, paraji, kepercayaan untuk melahirkan di rumah atau bahkan di hutan, termasuk kurangnya kesadaran masyarakat untuk menggunakan jasa pelayanan kesehatan. Di sisi lain banyak masyarakat yang juga karena keadaan maupun tradisi juga melakukan nikah pada usia yang belia dan kemudian juga melahirkan dalam usia muda yang berisiko.Tantangan dan kebijakan Tantangan penurunan AKI dan AKB yang demikian besar seharusnya didukung dengan alokasi anggaran yang juga besar. Namun kenyataannya dalam alokasi anggaran Kementerian Kesehatan (Kemenkes) di 2021, alokasi anggaran untuk peningkatan kesehatan ibu dan anak sekaligus penurunan angka AKI dan AKB hanya Rp0,8 triliun atau hanya 1% dari total anggaran prioritas nasional bidang kesehatan, dan hanya 0,9.% dari total anggaran reguler Kemenkes.

Angka ini juga berarti hanya 0,4% dari total anggaran Kemenkes 2021 (termasuk anggaran penanganan covid-19). Padahal penurunan AKI dan AKB ini sudah menjadi konsensus global menjadi salah satu target dalam MDGs maupun SDGs. Komponen APBN yang terkait dengan AKI dan AKB yang disalurkan melalui sektor kesehatan, ada juga yang dialokasikan melalui transfer ke daerah dan dana desa (TKDD). Belanja TKDD yang digunakan untuk mendukung target penurunan AKI dan AKB ialah sebagian besar dialokasikan melalui dana transfer khusus (DTK), yang terdiri atas DAK fisik bidang kesehatan dan KB baik reguler maupun penugasan serta DAK nonfisik melalui dana bantuan operasional kesehatan dan bantuan operasional keluarga berencana (Dana BOK dan BOKB).

Baca Juga: Gelombang Ketiga

Proporsi DAK fisik terhadap anggaran kesehatan dalam TKDD mencapai lebih dari 50% atau yang terbesar dibanding komponen lain. Namun hasil penelitian yang dilakukan oleh Pusat Kajian Anggaran Badan Keahlian DPR menunjukkan bahwa pemberian alokasi anggaran DAK fisik penugasan berupa pembangunan gedung puskesmas, pembangunan atau rehabilitasi RS rujukan maupun penguatan intervensi stunting, tidak disertai dengan penurunan nilai AKI pada provinsi-provinsi yang menerima. Dari 16 provinsi penerima DAK fisik penugasan, hanya 4 provinsi (25%) yang mengalami penurunan nilai AKI. Sebaliknya 4 provinsi lain justru mengalami kenaikan AKI. Artinya, penambahan anggaran yang dialokasikan untuk penurunan AKI justru menunjukkan hasil yang sebaliknya. Hasil kajian tersebut juga menunjukkan tidak ada korelasi positif antara nilai AKI dan AKB dengan besara alokasi anggaran DAK fisik kesehatan untuk penurunan AKI dan AKB. Sebaliknya juga dari kebijakan anggaran DAK fisik kesehatan itu terlihat ada daerah dengan AKI dan AKB rendah yang mendapat prioritas anggaran DAK fisik kesehatan untuk penurunan AKI dan AKB. Demikian pula daerah yang memiliki AKI dan AKB tinggi namun tidak memperoleh priortas anggaran DAK fisik kesehatan. Pola prioritas alokasi anggaran ini juga tidak mengalami perubahan signifikan dari anggaran 2020 ke 2021 di mana ada 6 provinsi dengan AKI tinggi dan 12 provinsi dengan AKB tinggi yang tidak mengalami perioritas anggaran DAK fisik kesehatan.

Kebijakan yang kurang tepat dari sisi alokasi anggaran untuk penurunan AKI sebetulnya juga sudah berlangsung dari beberapa tahun sebelumnya dan tidak kunjung ada perbaikan. Dalam APBN 2014 misalnya alokasi anggaran untuk pembinaan pelayanan kesehatan ibu dan anak yang muaranya juga penurunan AKI dan AKB hanya 0,54% dari total anggaran bidang kesehatan. Tren penurunan AKI dan AKB yang sangat lambat secara implisit juga menunjukkan adanya strategi yang salah dalam kebijakan anggaran untuk penurunan AKI dan AKB ini. Strategi yang salah ini bisa berasal dari kurang tepatnya arah kebijakan dan program yang dirancang untuk penurunan strategi ini, maupun kelemahan dalam implementasi kebijakan di lapangan oleh pemerintah pusat maupun daerah. Namun yang jelas dari alokasi anggaran yang ditetapkan oleh pemerintah dalam APBN, menunjukkan belum sinkronnya antara penetapan penurunan AKI dan AKB sebagai prioritas program bidang kesehatan dan kebijakan anggaran yang dibuat serta strategi implementasinya.

Pelajaran penting dari apa yang terjadi sebelumnya maupun implementasi lapangan dalam kebijakan anggaran penurunan AKI dan AKB dalam APBN 2020 dan 2021, tidak boleh lagi terjadi di APBN 2022. Jika pemerintah serius menjadikan penurunan AKI dan AKB sebagai prioritas bidang kesehatan, harus dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan anggaran penurunan AKI dan AKB ini. Apalagi di 2022 diharapkan anggaran bidang kesehatan tidak lagi banyak tersedot untuk penanggulangan covid-19. Selain alokasi anggaran penurunan AKI dan AKB yang perlu ditingkatkan, alokasi DTK melalui DAK baik fisik maupun non fisik bidang kesehatan yang ditujukan untuk penurunan AKI dan AKB harus betul-betul tepat sasaran wilayah dan tepat jenis program yang dilaksanakan.   Pelaksanaan atas DTK dalam bentuk DAK bidang kesehatan oleh daerah ini juga harus dimonitor dan dievaluasi dengan baik sehingga alokasi anggaran yang diberikan efektif dalam penurunan AKI dan AKB. Jangan sampai AKI dan AKB hanya menjadi prioritas di kebijakan dan belum prioritas dalam anggaran.( Kurniasih Mufidayati, Anggota F-PKS, Komisi IX DPR RI)