INDONESIA diprediksi bakal mengalami gelombang ketiga covid-19. Judul berbagai berita yang bertebaran di jagat maya terkait dengan hal ini pun beragam. Ada yang datar-datar saja, tidak sedikit pula yang menakutkan. Misalnya, ‘Astaga dokter anu prediksi kedatangan gelombang ketiga covid-19 di Indonesia, kapan?’, atau judul seperti ini ‘Awas, gelombang ketiga mengancam’, dilengkapi dengan tanda seru. Entah apakah tujuannya untuk menakut-nakuti atau untuk memberi peringatan. Yang pasti, faktor click bait jadi alasan utama sang editor untuk menarik minat pembaca.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, prediksi artinya adalah ramalan atau prakiraan. Contoh, ramalan cuaca atau ramalan bintang (zodiak). Zaman dulu, masyarakat menggunakan ramalan untuk memperoleh pengetahuan atas pertanyaan atau situasi melalui cara-cara okultisme atau ritual tertentu. Ramalan juga digunakan untuk mengetahui masa depan melalui cara-cara yang umumnya dipandang tidak rasional. Orang yang melakukan ramalan biasa disebut sebagai peramal, tukang/juru ramal, atau ahli nujum.

Dalam hal prakiraan terkait dengan gelombang ketiga covid-19, yang bertindak sebagai juru ramal tentu saja pakar kesehatan, entah itu dokter atau ahli virus, bukan dukun. Metodenya pun rasional, didasari pada dalil ilmu pengetahuan. Mereka, misalnya mengatakan gelombang ketiga covid-19 mungkin dapat terjadi karena mayoritas masyarakat Indonesia belum mempunyai imunitas untuk melawan virus atau tingkat vaksinasi yang masih cukup rendah.Dalil itu masuk akal. Faktanya, tingkat vaksinasi di Indonesia memang masih di bawah target sasaran nasional.

Data yang diperoleh dari Satgas Covid-19 per 1 Oktober 2021, mereka yang telah memperoleh vaksinasi tahap pertama baru mencapai 92.161.001 jiwa, sedangkan vaksin kedua sebanyak 51.750.697 jiwa. Sementara itu, target sasaran vaksinasi nasional sebanyak 208.265.720. Jika dibandingkan dengan total sasaran vaksinasi nasional tersebut berarti vaksinasi dosis pertama baru mencapai 44,25%. Adapun tingkat vaksinasi dosis kedua di Indonesia baru mencapai 24,85%.

Selain tingkat vaksinasi, kian longgarnya mobilitas warga belakangan ini juga diprediksi dapat menjadi pemicu lonjakan kasus. Apalagi jika pada libur panjang akhir tahun nanti, mobilitas masyarakat tidak dibatasi secara ketat. Beberapa kali lonjakan kasus yang terjadi di Indonesia, dipicu karena hal ini. Prediksi ini tentu harus jadi warning, (peringatan) dan menjadi perhatian kita bersama untuk melakukan langkah-langkah mitigasi yang komprehensif dari hulu ke hilir.   Kesiapan infrastruktur dan fasilitas kesehatan mesti dilakukan dari sekarang. Ketersediaan tempat tidur, tabung oksigen, dan personel tenaga kesehatan, misalnya, mesti disiapkan sejak dini.

Baca Juga: Menderaskan Informasi Pertanian

Jangan sampai kita kewalahan lagi seperti pada kasus-kasus lonjakan sebelumnya. Begitu pun dengan percepatan program vaksinasi, harus terus digenjot agar semakin cepat tercipta kekebalan komunitas. Langkah penting lainnya ialah terus memberlakukan pembatasan kegiatan masyarakat, me­ningkatkan testing, dan memperbaiki tracing.Selain itu, dari sisi ekternal, pengetatan pintu masuk juga merupakan langkah tepat untuk mencegah peningkatan kasus.

Jangan ada lagi petugas bandara atau pelabuhan yang lalai untuk mengawasi penerapan prosedur kesehatan bagi pendatang dari luar negeri. Pengawasan jalur-jalur masuk ilegal ke Indonesia dan pengamanan perbatasan, juga mesti diperkuat. Ingat, meski kasus di dalam negeri melandai, di negara tetangga di sekeliling kita kini sedang terjadi lonjakan kasus. Ini harus diwaspadai.Intinya, kita mesti bersiap tapi jangan juga lantas jadi paranoid. Anggap saja seperti membaca ramalan cuaca. Meski belum tentu benar (namanya juga prediksi), tidak ada salahnya sedia payung sebelum hujan.( Adiyanto, Wartawan Media Indonesia)