IDUL Fitri ialah momentum kembalinya kepada fitrah: kesucian diri. Kesucian diri ialah modal untuk kita bergerak ke depan menjalani kehidupan. Kesucian bukanlah status yang statis, melainkan status yang dinamis karena kita kembali akan berdialektika dengan kehidupan nyata setelah Ramadan. Oleh karena itu, kita akan berharap bahwa dengan modal kesucian ini, kita semakin jernih membedakan yang benar dan yang salah, memetakan keadaan, dan terus proaktif mem­berikan solusi sehingga kita terus berada dalam rel kemajuan.

Orientasi untuk bergerak maju tersebut didasari pada dua hal. Pertama, menjalankan fungsi manusia se­bagai khalifah di muka bumi yang harus memak­murkan dan sekaligus menjaga kehidupan dunia dari kerusakan (QS Hud: 61; QS Al-Anbiya: 107; QS Al-Baqarah: 30; QS Al-Baqarah:11). Orientasi maju ialah konsekuensi dari tanggung jawab manusia yang memang diciptakan untuk menjaga bumi karena manusia ialah makhluk yang paling sempurna yang dikaruniai kelebihan daripada makhluk lainnya (QS At-Tiin:4; QS Al-Isra’: 70).

Kedua, sebagai bentuk syukur kita atas nikmat yang tak terhingga dari Allah SWT (QS An-Nahl ayat 4), baik nikmat kehidupan, nikmat akal, nikmat kemerdekaan, maupun nikmat iman. Nikmat Allah kepada kita akan secara akumulatif membesar dan membesar manakala kita selalu mensyukurinya dengan jiwa dan tindakan nyata yang impactful. Apabila kita bersyukur, akan bertambah nikmatnya (QS Ibrahim ayat 7).

Nilai-nilai kemajuan

Islam ialah agama yang berisi nilai-nilai kemajuan. Hal itu tecermin pada beberapa orientasi yang diajarkan Al-Qur’an dan sunah Nabi.

Baca Juga: Cerita Sang Penakluk Jalan Misteri

Pertama, orientasi sebagai pembelajar. Ayat yang pertama kali turun ialah iqra yang artinya membaca. Penguatan literasi ternyata menjadi fondasi dalam membangun masyarakat. Namun, membaca bisa dimaknai lebih luas tidak saja membaca teks, tetapi juga membaca konteks. Teks yang tertulis dalam Al-Qur’an ialah sesuatu yang fix (QS Al-Isra: 105).

Namun, kehidupan bersifat dinamis karena dunia selalu mengalami perubahan sehingga kita ditugasi untuk terus menggali nilai-nilai yang terkandung dalam teks untuk diterapkan dalam berbagai konteks sesuai dengan dimensi ruang dan waktu. Mempelajari teks dan mengamati konteks ialah aktivitas pembelajaran yang luar biasa.

Dalam QS Ali Imran ayat 190-191 ditegaskan bahwa “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang, terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi ulil albab (orang yang berakal), (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), ‘Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau men­ciptakan semua ini sia-sia’”.

Sosok ulul albab adalah sosok pembelajar sejati, baik pembelajar atas fe­nomena alam, fenomena sosial, maupun bahkan pembelajar atas wahyu yang diturunkan Allah SWT. Banyak kisah da­lam Al-Qur’an yang harus menjadi bahan pelajaran untuk peringatan ke de­pan dan hanya ulul albab yang mampu belajar dari kisah-kisah tersebut. Allah berfirman dalam QS Yusuf ayat 111, yang artinya: “Su­ngguh, pada kisah-kisah me­reka itu terdapat pe­ngajaran bagi orang yang mempunyai akal.”

Sosok ulul albab ialah sosok pembelajar sejati ka­rena terus berpikir dan berpikir sehingga mengakumulasi ilmu yang didapatkan untuk diamalkan. Itulah mengapa Allah meningkatkan derajat orang-orang yang berilmu, tidak lain karena orang-orang yang berilmu inilah yang diharapkan bisa terus menebar rahmat di muka bumi. Orang-orang yang berilmulah yang bisa merancang arah perubahan sosial. Sebagaimana firman Allah yang artinya: “…Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat” (QS Al-Mujadalah: 11).

Namun, yang membedakan antara ulul albab dan pembelajar biasa ialah keseimbangan mereka pada pikir dan zikir. Intensitas zikir tersebut membuat seorang ulul albab menyadari bahwa ilmunya sangat terbatas, ibarat setetes air di antara lautan samudra. Sikap rendah hati inilah yang akan terus mendorong ulul albab untuk belajar dan belajar, serta berpikir-berpikir. Sikap rendah hati itu ialah buah dari kesadaran penuh bahwa ilmu Allah mahaluas dan kesadaran itu tertanam sebagai hasil dari proses zikir yang berkualitas. Kemahaluasan ilmu Allah tersebut tertulis dalam QS At-Talaq ayat 12.

Sosok ulul albab yang pembelajar itu semakin diharapkan perannya dalam transformasi bangsa. Oleh karena itu, di era yang serbacepat ini, sosok ulul albab juga harus dimaknai sebagai sosok yang adaptif dengan pola pikir tumbuh (growth mindset), yang terus memacu skill dan kompetensi baru dengan learning agility yang tinggi. Kemampuan kecepatan belajar ini sangat penting agar bisa berperan menjadi trend setter perubahan.

Kedua, orientasi pada masa depan. Ada dua dimensi masa depan, yaitu masa depan di dunia dan di akhirat. Allah berfirman dalam Al-Qur’an surah Al-Hasyr ayat 18, yang artinya, “Hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok, dan bertakwalah kepada Allah.” Ayat itu merupakan fondasi tentang visi masa depan. Visi besar seorang mukmin ialah menjadi hamba yang berbahagia di dunia dan akhirat. Hal itu disebabkan kesadaran bahwa akhirat lebih abadi daripada dunia. Namun, untuk menuju akhirat, kita juga harus lewati jembatan dunia sebagaimana ayat berikut yang artinya: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi” (QS Al-Qasas: 77).

QS Al-Qasas ayat 77 di atas turun untuk me­ngingatkan kisah Qarun yang berlimpah harta, tetapi akhirnya binasa. Qarun ialah orang saleh miskin yang kemudian minta tolong Nabi Musa agar didoa­kan kaya. Namun, setelah kaya raya, dia menjadi sombong dan meninggalkan ibadah serta tidak lagi peduli sesama. Jadi, ayat tersebut mengingatkan kita perlunya keseimbangan dunia dan akhirat. Akhirat menjadi titik ujung masa depan yang abadi, tetapi kita harus melewati titik-titik antara yang ada di dunia. Ketika kita menjalani kehidupan di dunia, kita pun dituntut untuk mengombinasikan titik masa depan akhirat dan masa depan dunia sehingga doa kita pun lalu menjadi doa agar bahagia dunia dan akhirat.

Ketiga, orientasi tentang waktu dan kualitas kerja. Kualitas kerja ialah orientasi bagi seorang yang beriman. Hal itu tecermin pada melekatnya dua kata, yaitu beriman dan beramal saleh, dalam sejumlah ayat. Orang menuju akhirat perlu kehidupan yang baik di dunia. Kehidupan yang baik di dunia memerlukan kualitas kerja yang baik pula. Kualitas kerja yang baik ialah hasil pemanfaatan waktu yang baik pula. Artinya, setiap waktu akan dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk berbuat baik. Tidak ada waktu yang terbuang sia-sia. Nabi Muhammad SAW bersabda yang artinya: “Dua nikmat yang banyak manusia tertipu di dalam keduanya, yaitu nikmat sehat dan waktu luang” (HR Bukhari, Tirmidzi dan Ibnu Majah). Allah juga mengingatkan kepada kita dalam QS Al-Ashr ayat 1-3 yang artinya, “Demi masa. Sungguh, manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran”.

Kualitas kerja atau amal saleh ini menjadi modal kita menjadi orang yang bermanfaat. Bukankah sebaik-baik manusia ialah orang bermanfaat untuk orang lain? Kerja yang berkualitas ialah kerja yang memiliki manfaat. Tentu level manfaat bermacam-macam, tergantung pada kualitas kerja kita. Ada orang yang hanya mampu memberikan manfaat spontan yang berdimensi jangka sangat pendek. Namun, ada juga orang yang bisa memberikan manfaat kepada lingkungan sekitar dengan dimensi jangka panjang.

Bila orang memberikan ilmu kepada orang lain, dan ilmunya bermanfaat untuk kemaslahatan manusia, artinya manfaat yang dia ciptakan berdimensi luas, baik cakupan penerima manfaat yang sangat banyak maupun durasi manfaat yang lebih lama. Begitu pula, bila seseorang hadir dengan inovasi unggul yang mampu memberi solusi atas masalah kehidupan, tentu ini juga dapat dikategorikan sebagai manfaat yang berkelanjutan.

Keempat, orientasi untuk saling menginspirasi dan kolaborasi. Al-Qur’an surah Al-Ashr 1-3 di atas sekaligus menegaskan orang yang beriman dan beramal saleh ialah orang yang saling menasihati tentang kebenaran dan kesabaran. Tentu ayat itu penting bagi kita di tengah masalah dan tantangan kehidupan yang berbeda dari waktu ke waktu.

Untuk menghadapi masalah dan tantangan, perlu ide dan pemikiran serta pada saat yang sama juga memerlukan semangat dan motivasi baru. Di sinilah, inspirasi tentang kebenaran dan kebaikan sangat diperlukan untuk menjadi modal dalam memperkuat kualitas kerja. Begitu pula, masalah dan tantangan yang selalu ada menuntut kita untuk lebih sabar. Kesabaran begitu ditekankan Allah karena ujian dan cobaan tidak akan pernah berhenti sebagaimana dialami seluruh nabi. Begitu pula dalam QS Al-Ma’idah ayat 2 ditegaskan Allah yang artinya: “…Saling menolonglah kamu dalam melakukan kebajikan dan takwa. Dan jangan saling menolong pada perbuatan yang dosa dan permusuhan”.

Ayat itu sekaligus menggambarkan bahwa manusia ialah makhluk sosial yang memerlukan sikap saling tergantung. Lebih-lebih, hari ini kita makin merasakan sebuah era yang penuh dengan kecepatan, ketidakpastian, dan kompleksitas. Era seperti ini memerlukan skill kolaborasi yang kuat. Kolaborasi itu ialah modal penting untuk lahirnya sebuah inovasi. Hampir semua inovasi yang disruptif ialah inovasi hasil kolaborasi.

Kelima, integritas. Kolaborasi yang akan bertahan dalam waktu lama ialah kolaborasi yang berbasis pada sikap saling percaya (trust). Inilah yang membuat negara-negara maju sangat produktif berinovasi karena kuatnya kolaborasi antarilmuwan dan antarlembaga. Kelanggengan kolaborasi mereka tercipta karena basis hubungannya ialah kepercayaan. Hal itu bisa terwujud karena masyarakat mereka sudah tergolong apa yang disebut Fukuyama sebagai high trust society, yaitu masyarakat dengan rasa saling percaya yang tinggi. Mereka bisa saling percaya karena mereka memiliki integritas yang kuat yang berpegang pada prinsip kejujuran.

Banyak hadis Nabi yang merintahkan kita untuk berbuat jujur, antara lain: “Tinggalkanlah yang meragukanmu pada apa yang tidak meragukanmu. Sesungguhnya kejujuran lebih menenangkan jiwa, sedangkan dusta (menipu) akan menggelisahkan jiwa” (HR Tirmidzi nomor 2518 dan Ahmad 1/200).

Thomas Stanley mengatakan, dari 100 faktor sukses, ternyata nomor satu ialah kejujuran, bukan kepintaran, bukan di mana kita sekolah, dan bukan berapa nilai sekolah kita. Jelas, bahwa Islam mengajarkan kepada kita kejujuran. Hal itu juga tertlihat jelas dari keteladanan Nabi Muhammad SAW yang sangat terkenal dengan julukan ‘Al-Amin’.

Keenam, berpikir positif. Seorang mukmin selalu mengambil hikmah dari setiap peristiwa. Bahkan, dalam QS Al-Insyirah ayat 5 ditegaskan, “setelah ada kesulitan pasti ada kemudahan”. Kita dilatih untuk bersikap positif atas kejadian apa pun. Ayat berikut ini juga mengingatkan kita keharusan berprasangka baik, yang artinya: “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui” (QS Al-Baqarah: 216).

Nabi menganjurkan kepada kita semua untuk terus berpikir positif (husnuzan), sebagaimana sabdanya: “Allah Ta’ala berfiman: ‘Aku sesuai dengan prasangka hamba-Ku. Aku bersamanya apabila ia memohon kepada- Ku’.” (HR Muslim). Hadis Nabi itu menegaskan pentingnya mindset baru yang harus selalu positif. Sikap positif itu akan berdampak pada menguatnya optimisme dalam berbagai hal dan optimisme ialah modal untuk kemajuan.

Ketujuh, proaktif dan penuh inisiatif. Nilai itu muncul sebagai pemahaman atas QS Ar-Ra’d ayat 11, yang menegaskan bahwa Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang akan mengubahnya. Di sinilah masa depan kita akan ditentukan kita sendiri. Maju mundurnya kehidupan kita sangat bergantung pada sikap proaktif dan daya inisiatif melalui visi, strategi, dan eksekusi yang kita lakukan. Telah ditegaskan, bahwa “Seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya” (QS An-Najm ayat 39). Artinya, upaya mewujudkan visi hidup kita diperlukan sebuah langkah proaktif. Tidak ada yang datang tiba-tiba. Semua memerlukan usaha dan melewati tahapan proses. Oleh karena itu, penguatan kualitas sikap proaktif dan daya inisiatif sangat diperlukan untuk transformasi kita ke depan.

Ketujuh nilai tersebut bisa menjadi pilar budaya kemajuan. Budaya kemajuan itu diperlukan untuk merespons perubahan. Kemajuan secara kultural sangatlah penting bagi konstruksi kemajuan secara material, seperti teknologi, infrastruktur, ekonomi, dan bangunan fisik lainnya. Seluruh dimensi kemajuan itu didasari kerangka spiritualitas yang kuat sehingga iman dan takwa tetap menjadi fondasi pokoknya.

Kemajuan yang berkeadilan

Kemajuan yang hendak kita capai juga sudah seharusnya bisa dirasakan semua orang. Ketika nilai budaya kemajuan tersebut di atas penting untuk mendorong pertumbuhan dan kemakmuran, nilai-nilai kemanusiaan dan solidaritas sosial mendorong terciptanya pemerataan dan keadilan. Inilah kita sebut dengan kemajuan inklusif, atau kemajuan yang berkeadilan.

Salah satu hikmah Idul Fitri ialah kesucian hati, yang menjadi modal untuk memperkuat nilai kemanusiaan. Kuatnya nilai kemanusiaan itu kemudian menjadi pendorong kepedulian dan solidaritas sosial. Pada Ramadan, juga diperintahkan untuk mengasah kepedulian sosial melalui instrumen zakat, infak, dan sedekah. Salat dan zakat ialah dua kata yang selalu ditempatkan secara bersama dalam sejumlah ayat. Setelah salat, jangan lupa menafkahkan harta di jalan Allah, termasuk di dalamnya dalam membantu orang fakir dan miskin. Artinya, selalu ada dimensi hablum minallah dan hablum minannas dalam kriteria ketakwaan. Secara gamblang ciri tersebut kita dapatkan di QS Al-Baqarah ayat 3 yang artinya: “(Yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, melaksanakan salat, dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka”. Artinya kelompok masyarakat bawah atau kaum mustadzafin harus diperhatikan sehingga kemajuan yang kita capai ialah kemajuan yang human.

Kemanusiaan, kepedulian sosial, dan keadilan ialah nilai-nilai yang harus terus kita perjuangkan. Bahkan, lebih jauh Allah SWT meminta kita berbuat adil termasuk kepada orang-orang yang kita benci, sebagaimana QS Al-Maidah ayat 8, yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan”.

Kemajuan harus berbagi. Kemajuan yang kita raih harus memperhatikan hak-hak orang lain. Karena itu, gagasan kemajuan yang berkeadilan ialah prinsip pokok dalam membangun bangsa ini mengingat kita masih menghadapi keragaman kelas ekonomi. Ada masyarakat kita yang sudah masuk 5.0, ada juga yang masih 3.0, 2.0, dan bahkan 1.0. Di kala kecepatan perubahan ini terjadi, tidak ada cara lain selain kita harus maju bersama. Jangan sampai ada satu kelompok masyarakat pun yang tertinggal dalam perjalanan meraih kemajuan. Kita ialah bangsa yang merdeka secara bersama-sama dan maju pun harus bersama-sama.

Marilah kita jadikan momentum Idul Fitri ini untuk memperkuat semangat kita mewujudkan kemajuan yang berkeadilan, yakni memperkuat nilai-nilai kemajuan (pembelajar, orientasi masa depan, kualitas kerja, integritas, kolaborasi dan inspirasi, berpikir positif, dan proaktif) serta nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan. Semoga Allah meridai setiap langkah kita. Penulis: Arif Satria Ketua Umum ICMI Rektor IPB University.