Marlinus Nggilo (37 thn) terlahir darI keluarga yang miskin. Jika bisa memilih, tentu ia akan memilih supaya tidak terlahir dari keluarga yang miskin ini. Namun apa daya, ia tidak punya kuasa untuk hal ini. Ayahnya berasal dari Suku Kadai, Ibunya dari Suku Mange. Mange, Kadai dan Siboyo adalah tiga suku asli yang mendiami Pulau Taliabu dan ujung Barat Pulau Mangoli.

Masa kanak-kanaknya dijalani di desa Lekokadai, salah satu desa yang berada di bibir selat Capalulu. Ber­sekolah di SD Lekokadai. Lulus SD, Marlinus ter­henti dan tak dapat melanjutkan pendidikannya ke SMP karena terkendala biaya. Untuk meringankan beban keluarganya, Linus demikian biasa disapa dibesarkan oleh orang tua angkatnya yakni Bapak Matheos Septory dan Ibu Ruth Nggilo. Bapak Matheos beserta istrinya sangat berjasa dalam membentuk karakternya menjadi seorang yang tangguh. Sejak kelas 4 SD, anak miskin ini telah membanting tulang dengan kerja kopra untuk membiayai hidupnya.

Jejak-jejak Sekolah dan Mimpi-mimpi LINUS.

Lelaki yang terlahir pada tanggal 6 Januari 1986 ini kemudian melewati masa kanak-kanak dan remaja yang ceria dengan pikul dan guling kayu di Perusahan Barito Trans, selain kerja kopra yang telah dilakukan sejak kelas 4 SD. Pekerjaan berat untuk anak seusianya kala itu dijalani untuk membantu kondisi ekonomi keluarga.

Kendati demikian, niat untuk menyelamatkan masa depannya masih menjadi mimpi yang harus diwujudkan. Menariknya, Linus memiliki budaya baca yang kuat. Kendati ia menjalani kerja yang tidak ringan, sedapat mungkin kebiasaan membaca dilakukan.

Bahan bacaannya macam-macam walaupun ber­bentuk penggalan-penggalan buku, koran atau majalah yang kelihatannya telah kusut dan kusam. Salah satu bahan baca yang paling utuh dan rapih yang dimiliki olehnya hanyalah Alkitab. “…Alkitab yang latih beta lancar membaca sekaligus menjadi Sumber Ilmu Pengetahuan dan etika”, demikian pengakuannya.

Dalam serba kurangan yang dialami oleh Linus, ternyata semesta telah menggariskan jalan hidupnya secara istimewa. Adalah Thomas Takndare, seorang Guru di SD Lekokadai, yang mendorong Linus untuk mengikuti program SMP Terbuka pada tahun 2004. Pada tahun 2006 ia mengikuti ujian Paket B.

Di tahun yang sama, pada usia 19 tahun, Linus menjadi anggota Sidi Gereja dan tak lama berselang diangkat sebagai Majelis Jemaat Samuya Pantai dalam periode pelayanan tahun 2005 – 2010. Ditengah perjalanan, Linus atestasi ke Jemaat Lekokadai dan melanjutkan pelayanannya.

Tahun genap nampaknya menjadi milik Linus. Setelah lulus ujian paket B di tahun 2004, empat tahun berselang yakni di tahun 2008, Linus mengikuti ujian Paket C. Adalah Bapak Bairuddin, Kepala Sekolah SD Lekokadai yang berjasa baginya untuk mengikuti ujian dimaksud.

Cerita ironi dan miris kembali membayangi Linus bersama 69 orang temannya. Supaya lulus ujian dengan mudah, mereka diwajibkan membayar Rp. 70 Ribu/orang untuk mendapatkan bocoran jawaban. Jalan berat kembali dialami oleh Linus sebab dari 70 Orang peserta ujian, hanya Linus yang tidak membayar. Ia tidak punya uang. Pada gilirannya Ia dipisahkan dari teman-temannya dan menempati satu ruangan kosong seorang diri. Ternyata semesta masih me­nunjukan rahmatnya kepada Linus. Ditengah-tengah harapan dan kegundahan, Linus dinyatakan lulus ujian Paket C.

Tahun 2008 Linus ke Ambon bersama Pdt. Sin Sahertian, Ketua Majelis Jemaat Lekokadai kala itu. Nampak wajah sedih menyeruak saat ia menyebut nama Pendetanya yang telah berpulang kepada Sang Pengutusnya pada tanggal 20 April 2022 silam.

Niat hati ke Ambon untuk berkuliah di Institut Agama Kristen Negeri Ambon tak dapat diwujudkan. Linus kembali ke Lekokadai. Dari sini, Linus meretas jalan ke masa depannya yang penuh misteri itu. Ia kemudian pergi ke kampung halaman ayahnya di Desa Mintun berada di pesisir Utara Pulau Taliabu dan bersiap diri untuk merantau ke Luwuk – Sulawesi Tengah.

Malang tak dapat ditolak untung tak dapat diraih, Linus tak punya modal untuk memulai niat merantau. Karena tekadnya, ia meminjam uang gereja sebesar Rp. 500 Ribu untuk uang kuliah. Pdt. John Simaela me­ngabulkan dan memberi pinjaman sesuai jumlah yang diajukan. Pada tahun 2009, jalan misteri masa depan dirambahnya dengan semangat sebagai suluh perjuangan.

Babak Baru sang Petualang.

Setibanya di Luwuk, Linus si anak kampung ber­usaha untuk bertemu dengan Dekan Fakultas Keguruan, Universitas Tompotika. Hal ini dilakukan sebab Linus telah “terlambat kereta” perkuliahan yang sudah berjalan 2 bulan.

Oleh dekan, Linus dianjurkan untuk berproses melalui kampus pararel di Kecamatan Lumbi-lumbia karena hanya pada kampus inilah tersisa 1 kursi kosong dari kuota 33 kursi yang disediakan. Di kampus ini hanya ada tiga jurusan; Matematika, PPKN dan BK. Pintu ke jurusan matematika dan PPKN telah tertutup.

Perjuangan untuk menjadi mahasiswa Jurusan Matematika atau PPKN rupanya Nihil Target. Ia ditawarkan untuk mengambil jurusan BK, namun apa mau dikata Linus anak Kadai belum pernah men­dengar nama jurusan ini.

Tawaran itu tentu membingungkan. Apa itu BK? sesuaikah BK dengan minatnya? Apakah bisa menjadi mahasiswa jurusan BK? Banyak perta­nyaan yang membuncah dalam benaknya. Namun dalam waktu yang sempit, ia harus segera memu­tuskan. Mau kembali? Sudah kepalang merantau. Mau lanjut? Makhluk apa BK itu. Dalam situasi krusial kurang dari 10 menit, Linus dipaksa untuk mene­tapkan keputusan; Lanjut. Linus didaulat menjadi mahasiswa BK; Bimbingan Konseling. Setelah di­terima menjadi mahasiswa, di semester tiga, Linus berusaha kembali ke Lekokadai untuk melepaskan tugasnya sebagai Majelis Jemaat.

“Rejeki anak soleh”, pintu berkat terbuka lebar

Linus sang petarung menjalani hari-hari kuliahnya sambil bekerja di Toko Raja Mebel yang sekaligus menjadi rumah keduanya. Jalan-jalan misteri Linus kian benderang, sambil kuliah la mendapatkan kepercayaan untuk mengajar di Sekolah Tinggi Ilmu Kebidanan mengasuh Mata Kuliah Pendidikan Agama Kristen. Supaya fokus pada tugas ini, Linus resign dari Raja Mebel. Untuk tugas mengajar, ia diganjar dengan insentif Rp. 15 Ribu/SKS. Mata Kuliahnya memiliki tiga SKS di tambah biaya transport sebesar Rp. 150 Ribu/bulan. Untuk menghemat, Linus jalan kaki pulang pergi ke kampus tempat ia mengajar. Tawaran lainpun datang dari SMK Citra Medika untuk mengajar Pendidi­kan Agama Kristen. Satu tahun ia menjalani permintaan itu dengan upah Rp. 3000/Jam mengajar. Se­tiap hari Linus memiliki 3 Jam mengajar. Bila dikalkulasi per bulan maka ia mendapat Rp. 252 Ribu. Itu cukup untuk hidupnya.

Modal apa yang dimiliki oleh Linus sehingga ia mendapatkan kesempatan untuk mengajar Pen­didikan Agama Kristen, pada­-hal ia sama sekali tidak pernah me­ngenyam pendidikan sema­cam itu di sejarah hidupnya.

Ternyata, pe­ng­alaman menjadi Majelis Jemaat di Samuya dan Lekokadai itulah yang telah me­-nolong Linus di kem­bara perjua­ngan semasa studinya sehingga jalan misteri itu dising­kap satu persatu oleh semesta. Tiga tahun berlalu, Linus menyudahi kuliahnya pada tahun 2013 dan Wisuda dengan IPK 3,82.

Di Luwuk, Linus terlibat aktif dengan wadah berhimpun orang Maluku yang bernama Kerukunan Keluarga Maluku Nusa Ina. Bersama kerukunan itu, Linus merasa tak sendiri di tanah rantau. Linus yang dekat dengan aktivis GMKI Luwuk ini tercatat sebagai mahasiswa berprestasi dan diperhatikan oleh kampusnya. Tak heran bila ia mendapatkan tawaran beasiswa untuk studi lanjut. Kembali Linus harus memilih hidup adalah pilihan Linus Menerima kesempatan studi lanjut atau menyudahi jalan kembara ini? Adalah Patrisia Hoa Kelen, sang kekasih hati yang “game pulang” Linus dari perantauannya. Linus kembali ke tanah Taliabu bersama segudang pengalaman, ilmu dan prestasinya untuk menyentak generasi-generasi Taliabu, khususnya putra-putri Kadai yang distigmakan seperti keledai.

LINUS si Pemimpi yang menjadi Pemimpin

Seperti cerita yang berjejer sebelumnya, kini Linus dipercaya sebagai Sekretaris Desa Mintun – Kec. Taliabu Utara, Tenaga Operator pada SD Inpres Mintun untuk mengelola Data Daprodik sejak 2018, menjadi Wakil Sekretaris Jemaat GPM Mintun dan Bendahara AMGPM Daerah Sula Taliabu. Memang prestasi Linus di atas tak sementereng jabatan publik lainnya, namun baginya itu sudah cukup bagi seluruh perjuangan dan jalan-jalan terjal yang ia lalui. Ayah empat orang anak yang kini tersisa tiga orang ini hidup bahagia bersama belahan jiwanya; Patrisia. Kebahagiaan ia nikmati dari jalan panjang perjuangan yang tidak mudah. Namun kebahagiaan itu tak digenggamnya sendiri. Linus masih terus berjuang supaya generasi Taliabu umumnya, secara khusus generasi suku Kadai punya kesadaran bahwa Pendidikan adalah jendela masa depan. Ia sadar bahwa mayoritas masyarakat sukunya masih terjajah oleh kebodohan dan kemiskinan karena pengabaian negara. Linus merasa perlu untuk menularkan kisahnya kepada generasi setelahnya.

Kini bersama istri, Linus berniat untuk melanjutkan studi pasca sarjana ke tanah Sunda, ibu kota bumi priangan, Bandung untuk perdalam ilmu Konseling. Niatnya bersama ilmu itu, ia punya kapasitas diri untuk membawa keluar generasinya dari lobang hitam kemiskinan dan keterbelakangan. Secara Pribadi, saya berdoa untuk cita-cita luhur Linus. Penulis: Pdt. Fridolin R. Kwalomine.