INDONESIA mengonfirmasi kasus pertama infeksi virus korona penyebab Covid-19 pada awal Maret 2020. Sejak itu berbagai upaya penanggulangan dilakukan pemerintah untuk meredam dampak dari pandemi di berbagai sektor. Hampir seluruh sektor terdampak, tak hanya kesehatan. Sektor ekonomi juga mengalami dampak serius akibat pandemi virus korona.

Pembatasan aktivitas masyarakat berpengaruh pada aktivitas bisnis yang kemudian berimbas pada perekonomian. Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II 2020 minus 5,32%. Sebelumnya, pada kuartal I 2020, BPS melaporkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya tumbuh 2,97%, turun jauh dari pertumbuhan sebesar 5,02% pada periode yang sama 2019. Pada awal Februari lalu, BPS mencatat pertumbuhan ekonomi sepanjang 2020 mengalami kontraksi 2,07% secara year on year. Tulisan Prof Tjandra Yoga Aditama di suatu media mengupas persoalan ekonomi dan kesehatan pandemi Covid-19. Dikatakan bahwa yang amat perlu diwaspadai adalah angka positivity rateatau kepositifan kita yang sudah berkisar 20% dan bahkan dalam beberapa hari sampai 30%, padahal kita ketahui rekomendasi Badan Kesehatan Dunia (WHO) adalah hanya 5%. Angka kepositifan menunjukkan bagaimana besarnya penularan terjadi di masyarakat. Dan, angka kita menunjukkan empat kali atau bahkan pernah enam kali dari angka WHO.

Selanjutnya diuraikan bahwa pandemi Covid-19 memberi dampak amat besar pada sektor ekonomi dan sosial di dunia. WHO bersama International Labour Organization (ILO), Food and Agriculture Organization (FAO), dan International Fund for Agricultural Development (IFAD) pada Oktober 2020 menyatakan bahwa disrupsi sosial-ekonomi akibat Covid-19 amat besar. Puluhan juta orang dapat jatuh menjadi amat miskin. Jumlah orang kurang gizi di dunia yang pada Oktober 2020 diperkirakan 690 juta orang akan bertambah 132 juta lagi sampai akhir 2020.

Penurunan kemiskinan yang sudah terjadi dalam tiga-empat tahun belakangan ini akan berbalik trennya. Masalah kemiskinan sampai saat ini terus-menerus menjadi masalah yang berkepanjangan. Apalagi, adanya pandemi Covid-19 yang memorak-porandakan kehidupan ekonomi masyarakat jelas akan meningkatkan jumlah orang miskin yang memerlukan bantuan pemerintah.

BPS mencatat, garis kemiskinan pada Maret 2020 sebesar Rp454.652 per kapita per bulan. Sementara itu, garis kemiskinan Bank Dunia adalah USD1,9 per kapita per hari atau setara Rp798.200 per bulan (kurs Rp14.000). Kalau rumah tangga terdiri atas empat orang, maka minimal penghasilan adalah Rp3.192.800 per bulan agar tidak disebut rumah tangga miskin. Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mengungkapkan, jika diukur dengan standar Bank Dunia, maka angka kemiskinan (sekitar 25 juta orang) bisa lebih dari dua kali lipat. Dengan banyaknya pemutusan hubungan kerja (PHK) dan karyawan yang dirumahkan akibat Covid-19, maka ancaman kemiskinan kian kasatmata di hadapan orang-orang yang dulunya telah hidup di atas garis kemiskinan.

Baca Juga: Penilaian Kelulusan Siswa

Persoalan gizi bermuara pada persoalan kemiskinan karena kondisi miskin menyebabkan rumah tangga kesulitan mengakses kebutuhan pangan. Ini yang sangat mengkhawatirkan. Pandemi Covid-19 akan semakin membatasi asupan gizi masyarakat golongan bawah. Tanpa Covid-19 saja problem gizi di negara kita ibarat masalah yang tak kunjung selesai. Mulai dari stunting, gizi kurang, gizi buruk, anemia, dan sebagainya yang menimpa berbagai segmen umur, menyebabkan potensi sumber daya manusia (SDM) Indonesia terpuruk.

Pemerintah pada awalnya berbesar hati melihat tren penurunan stunting dari 30,8% (2018) menjadi 27,6% (2019). Dengan tren tersebut, diperkirakan target penurunan prevalensi stunting menjadi 14% pada 2024 dapat dicapai. Namun, ketika pada 2020 pandemi Covid-19 menghantam berbagai sendi kehidupan masyarakat, maka problem gizi dan stunting dikhawatirkan akan naik kembali. Mengapa?

Stunting diawali ketika janin dalam kandungan. Bila bayi yang dilahirkan memiliki panjang badan kurang dari 48 cm, maka bayi tersebut dikatakan stunting, dan ini bisa terjadi karena ibu hamil mengalami kurang energi kronis (KEK) dan kekurangan gizi lainnya sehingga pertumbuhan janin tidak optimal. Pandemi Covid-19 yang menyebabkan disrupsi kehidupan ekonomi keluarga menyebabkan ibu hamil terutama dari kelompok miskin mengalami defisiensi gizi.

Dalam masa pertumbuhannya, anak usia di bawah dua tahun (baduta) baik yang lahir normal maupun yang lahir stunting dapat mengalami problem stunting dalam rentang dua tahun awal kehidupannya. Biasanya pola asuh yang buruk dan pola makan anak yang tidak memenuhi syarat gizi menjadi pemicu munculnya stunting. Apabila dalam periode usia dua tahun pertama ini anak mengalami stunting, maka ada kemungkinan perkembangan otak terganggu sehingga anak mengalami problem kognitif. Ini yang sangat dikhawatirkan pemerintah karena bonus demografi tidak akan menghasilkan keuntungan apa-apa bila sumber daya manusianya dibangun dari generasi yang sejak awal menderita stunting.

Pertumbuhan fisik anak stunting mungkin dapat pulih karena anak bertumbuh tinggi badannya hingga usia 18 tahun. Namun, perkembangan kognitif yang terganggu saat anak usia dua tahun akan sulit dipulihkan. Sebab itu, intervensi bagi anak penderita stunting yang harus dilakukan pemerintah adalah pemberian makanan bergizi (telur, susu, kacang hijau, cukup pangan sumber karbohidrat) dan harus dibarengi intervensi psikososial untuk mengejar ketertinggalan perkembangan otaknya.

Stunting adalah problem konsumsi pangan. Pangan berkualitas (hewani) konotasinya masih mahal di mata masyarakat. Saat ini konsumsi susu masyarakat Indonesia masih sangat rendah di kalangan bangsa-bangsa ASEAN. Kurang gizi kronis (stunting) terjadi akibat masyarakat miskin tidak dapat mengakses pangan bergizi seperti susu, telur, daging, dan ikan. Harga daging sapi yang baru-baru ini melonjak membuat masyarakat semakin sulit mengonsumsi daging.

Indonesia hanya unggul dalam konsumsi beras karena masyarakatnya doyan makan nasi. Sementara untuk konsumsi sayuran dan buah juga masih rendah. Data Survei Konsumsi Makanan Individu (2014) menunjukkan bahwa konsumsi sayur dan buah rata-rata orang Indonesia hanya 108 g per hari, padahal WHO menganjurkan konsumsi 400 g per hari.

Asupan gizi erat kaitannya dengan kecerdasan dan produktivitas bangsa. Data UNDP tentang Human Development Index(HDI) menempatkan Indonesia pada posisi menengah di kalangan negara-negara ASEAN. Peringkat HDI di atas Indonesia adalah Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, dan Thailand. Yang berada di bawah Indonesia adalah Vietnam, Filipina, Laos, Kamboja, dan Myanmar. Dari 188 negara, peringkat HDI Indonesia berada di posisi urutan ke-113. Kita harus menyadari bahwa pembangunan bervisi SDM kini harus menjadi fokus perhatian. Pembangunan sarana fisik tetap harus dilanjutkan, namun tanpa harus mengabaikan pembangunan SDM. Perbaikan gizi masyarakat untuk mengeliminasi stunting menjadi prasyarat penting untuk mendukung pembangunan SDM.(Ali Khomsan, Guru Besar Departemen Gizi Masyarakat IPB)