TANGGAL 14 Februari 2024 menjadi tanggal yang bersejarah bagi negeri ini. Saat itu, masyarakat di seluruh penjuru negeri akan berbondong-bondong memilih pemimpin untuk lima tahun ke depan. Kendati waktu pemilihannya singkat dan sederhana, yakni cukup dengan mencoblos gambar calon presiden, hal itu akan berdampak besar bagi kelangsungan negeri ini kelak. Ini juga berdampak pada kondisi kejujuran dan keadilan masyarakat dalam mengisi iklim demokrasi yang sejak lama sudah dinikmatinya.

Pemilu yang jujur dan adil memegang peranan krusial dalam menjaga keseimbangan demokrasi di Indonesia. Proses ini bukan sekadar ritual formal, melainkan fondasi utama bagi warga negara untuk mengekspresikan hak politiknya dengan bebas dan adil. Kejujuran dan keadilan dalam penyelenggaraan pemilu menjadi penjamin bahwa suara setiap individu memiliki bobot yang sama tanpa adanya diskriminasi atau manipulasi politik. Dengan demikian, pemilu menjadi instrumen utama bagi rakyat dalam memilih pemimpin dan menentukan arah masa depan negara.

Selain itu, pemilu yang jujur dan adil juga berperan penting dalam membangun legitimasi pemerintahan. Proses pemilihan yang transparan dan adil membantu memperkuat kredibilitas pemimpin yang terpilih, sehingga mereka memiliki legitimasi yang kuat untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan. Legitimasi ini menjadi dasar yang kokoh bagi pemerintah untuk mengimplementasikan kebijakan-kebijakan yang mendukung kesejahteraan rakyat serta menangani berbagai isu dan tantangan yang dihadapi oleh negara.

Tidak hanya itu, pemilu yang jujur dan adil juga berfungsi sebagai penjaga stabilitas politik dan sosial. Dengan adanya proses pemilihan yang bebas dari kecurangan, potensi konflik politik yang merusak stabilitas negara dapat diminimalisir. Hal ini membantu menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan dan pembangunan negara, serta mendorong perdamaian dan harmoni di antara berbagai kelompok masyarakat.

Penyelenggaraan pemilu yang jujur dan adil juga merupakan cerminan dari prinsip keadilan dan supremasi hukum dalam sistem politik. Ketika proses pemilihan dijalankan dengan integritas, maka hal ini akan memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap institusi demokratis dan aturan yang berlaku. Ini mendorong tumbuhnya budaya hukum dan keadilan yang menjadi pijakan kuat bagi kemajuan demokrasi di Indonesia.

Baca Juga: Tatkala Influencer Ragu Harus Pilih Capres Nomor Berapa

Sejarah mempunyai bab yang panjang untuk bahan belajar manusia kekinian. Keadilan dan kejujuran dalam memilih pemimpin, dapat diketahui sejak masa khulafaurrasyidin, yakni para pemimpin pengganti Nabi Muhammad yang cerdas lagi bijaksana. Di antara empat khalifah yang dikenal, terdapat satu nama yang tepat untuk mendiskusikan tema ini, yakni Ali bin Abi Thalib, sang khalifah keempat.

Berprinsip

Ali bin Abi Thalib adalah salah satu figur yang memegang peranan penting dalam sejarah Islam masa awal, terutama dalam konteks kepemimpinan dan keadilan. Setelah periode kepemimpinan tiga khalifah sebelumnya, yaitu Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Utsman bin Affan, Ali diangkat sebagai khalifah keempat. Ali memperoleh gelar tersebut tidak semata-mata karena kedekatannya dengan Nabi Muhammad, tetapi juga karena reputasinya sebagai sosok yang berpegang teguh pada prinsip keadilan dan kejujuran.

Kepemimpinan Ali sebagai khalifah terjadi pada saat yang sangat kritis dalam sejarah umat Islam. Bangsa Arab pada masa itu terpecah belah oleh konflik internal dan pertikaian politik yang mengancam stabilitas dan kesatuan umat. Dalam situasi yang penuh gejolak ini, Ali berhasil menegakkan keadilan dan kejujuran sebagai pijakan utama dalam kepemimpinannya. Dia menegaskan pentingnya menyelesaikan konflik secara adil dan menghindari tindakan sewenang-wenang yang dapat memperburuk situasi.

Ali Muhammad Ash-Shallabi menceritakan dalam bukunya Biografi Ali Bin Abi Thalib (terbit 2019) Sebelum pemilihannya sebagai khalifah keempat, Ali bin Abi Thalib mengalami berbagai halangan dan rintangan yang menghalangi jalan menuju kepemimpinan.

Meskipun memiliki hubungan keluarga yang dekat dengan Nabi Muhammad, tidak semua pihak di masyarakat Arab pada masa itu menginginkannya sebagai khalifah. Persaingan politik yang intens di kalangan umat Islam membuat banyak pihak memiliki preferensi dan pilihan khalifah yang berbeda-beda. Selain itu, ada juga kelompok yang memandang Ali sebagai sosok yang terlalu keras dan radikal dalam pandangan politiknya, sehingga menimbulkan ketidakpercayaan terhadap kemampuannya untuk memimpin secara inklusif dan harmonis.

Masa setelah terbunuhnya Utsman bin Affan menjadi masa yang sangat berat bagi Ali. Terbunuhnya Utsman memicu krisis politik dan sosial yang dalam sejarah Islam dikenal sebagai Perang Saudara Pertama. Selama periode ini, Ali harus berjuang keras untuk memulihkan kepercayaan umat Islam terhadap arti penting kepemimpinan dan stabilitas dalam negara.

Dia berusaha keras untuk menyatukan umat Islam di bawah panji keadilan dan kebenaran, serta membuktikan komitmen dan kemampuannya sebagai pemimpin yang mampu menangani tantangan dan konflik internal dengan bijaksana dan adil.

Namun, Ali tidak hanya mengalami rintangan dari luar, tetapi juga dari dalam lingkaran kekuasaan. Tidak semua sahabat Nabi Muhammad atau tokoh penting dalam masyarakat Arab saat itu sepenuhnya mendukungnya. Hal ini menambah kompleksitas situasi politik yang dihadapinya dan menuntutnya untuk menjalani proses politik yang rumit dan penuh tekanan.

Meskipun demikian, Ali berhasil mengatasi berbagai rintangan dan mengambil peran yang kuat dalam memimpin umat Islam ke arah yang lebih stabil dan bersatu, meskipun dengan segala tantangan yang ada.

Kendati berbeda zaman, pemilihan umum di Indonesia pada tahun ini tak ubahnya kisah Ali yang menjemput kepemimpinannya. Kejeniusan, kepintaran dan kelayakan memang sudah dimiliki oleh masing-masing calon pemimpin, namun kita juga membutuhkan rekam jejak pemimpin yang adil dan jujur serta bagaimana mereka mempraktekkan laku kebajikan itu di masa silam.

Memilih pemimpin tentu bukan hanya persoalan bibit, bebet dan bobot, namun juga penting menimbang perhatian mereka akan masyarakat. Abu Bakar as-Siddik, khalifah pertama, sempat menyatakan, ”Amma ba’du, wahai sekalian manusia sesungguhnya saya telah diangkat sebagai pemimpin kalian, meski bukan yang terbaik diantara kalian, jika saya berbuat baik, dukunglah saya. Sebaliknya jika saya berbuat salah, luruskanlah.” Apakah kebijakan semacam itu ada pada calon pemimpin kita? Mari kita tunggu waktu yang menjawab. (*)