ILMU sejarah adalah satu dari sekian ilmu yang memegang prinsip serta kaidah yang menekankan pada perlunya otentisitas sumber, baik sumber tertulis maupun lisan. Sumber-sumber yang dianggap valid dan berimbang (objektif) merupakan instrumen penting bagi upaya rekonstruksi sejarah.

Bagi mahasiswa Pendidikan Sejarah terutama yang tengah menyusun tugas akhir, akan mengalami pergulatan dalam mencari, mengumpulkan, dan memilah data/sumber, atau yang biasa disebut kegiatan heuristik. Kegiatan tersebut diperlukan sebelum melakukan verifikasi, interpretasi, dan melakukan kritik terhadap sumber-sumber yang diperoleh agar kegiatan penulisan sejarah (historiografi) dilandasi justifikasi ilmiah.

Saya termasuk yang pernah mengalami sukarnya menempuh semua proses tersebut. Tetapi, belakangan saya merasa beruntung telah diajarkan untuk terbiasa mengolah validitas sumber hingga ke akarnya. Saya jadi kritis terhadap teks, terhadap pemberitaan, terhadap opini publik, jauh sebelum hingar berita hoaks hilir-mudik di antara grup WhatsApp dan di hampir semua platform media sosial.

Tulisan ini tidak ditujukan untuk memperlihatkan sisi lain dari keunggulan ilmu sejarah dari ilmu lainnnya karena pada dasarnya semua ilmu memiliki model metodologi serupa. Tetapi, yang khas dari ilmu sejarah ialah penekanannya terhadap uji validitas data atau sumber. Bahkan suatu sumber yang dianggap sezaman (primer), objektif, dan berasal dari media kredibel sekalipun tetap tidak luput dari kritik.

Dijajah Hoaks

Dalam pengertian sederhana, untuk memperoleh gambaran proporsional tentang suatu realitas, seseorang memerlukan upaya yang dilandasi sikap kritis terhadap setiap informasi yang diperolehnya. Sebab, disadari ataupun tidak, kebenaran tidak bisa benar-benar kita ketahui hanya dengan menerima informasi melalui kata ataupun tulisan, tanpa terlebih dahulu menelusuri otentisitasnya. Budaya berpikir semacam itu tentu diperlukan untuk terhindar dari bahaya laten hoaks, yang saat ini serupa dengan kolonialisme jenis baru.

Persoalannya sekarang apakah masyarakat kita terdidik dengan budaya berpikir kritis semacam itu? Apakah masyarakat kita mengetahui bahwa setiap berita itu ada kadar kebenarannya? Apakah masyarakat kita mengetahui bahwa ada berita yang bahkan kadar kebenarannya di angka nol?

Kita harus berani jujur dan terbuka bahwa kenyataanya memang sebagian besar masyarakat kita belum terdidik dalam mengolah dan menentukan keakuratan suatu informasi. Mereka juga mungkin tidak mengetahui bahwa tidak semua media, dan tidak semua tokoh-tokoh di dalam masyarakat kita, memiliki sensibilitas dalam konteks penanaman nilai-nilai persatuan, di tengah suasana pandemi Covid-19 yang harusnya terbebas dari ikatan kepentingan politik temporer.

Miniminya kesadaran dan sensibilitas dalam mendalami otentisitas informasi menjadi satu dari sekian variabel potensial suburnya berita hoaks. Kita juga harus mengakui bahwa model komunikasi pemerintah yang cenderung satu arah tidak dapat terlalu diharapkan untuk membangkitkan kesadaran masyarakat akan bahaya hoaks.

Terlebih saat ini terdapat fakta memperihatinkan mengenai berita hoaks di masa pandemi yang intensitasnya justru meningkat. Narasi-narasi destruktif yang mengemas pemberitaan miring terkait vaksinasi juga tidak luput dari jangkauan produsen hoaks.

Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) mencatat sebaran berita bohong terkait Covid 19 yang terhitung dari sejak pandemi sampai Juli 2021 sebanyak 3.777. Dari jumlah tersebut, 113 di antaranya telah ditindaklanjuti ke proses hukum.

Sementara informasi hoaks yang berkaitan dengan vaksin yang tercatat sampai 16 Juli 2021 sebanyak 1.839 konten. Sebaran hoaks paling dominan ditemukan di Facebook sebanyak 1.676. Twitter menempati urutan kedua dengan sebaran hoaks sebanyak 96. Sementara YouTube dan TikTok juga tidak luput dari jangkauan berita hoaks, yang jika digabung tercatat 56 konten informasi yang tersebar di dua situs berbagi video tersebut.

Banyaknya temuan konten hoaks terkait Covid-19 agaknya berbanding lurus dengan masyarakat yang memercayainya. Saya menyaksikan sendiri bagaimana masyarakat pada lapisan bawah meyakini bahwa kematian yang terus-menerus meningkat bukan karena Covid-19, melainkan karena ada pengaruh dari interaksi obat terhadap pasien. Tampak sekali mereka tidak terlalu menghiraukan Covid-19 sebagai suatu realitas yang tengah dihadapi.

Selain itu, terdapat juga masyarakat yang percaya ada kandungan berbahaya di dalam vaksin Covid-19. Hal tersebut pada gilirannya membuat mereka enggan melakukan vaksinasi. Tidak sedikit dari mereka menularkan keyakinannya tersebut kepada anggota keluarga, dan masyarakat sekelilingnya. Padahal, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menerangkan bahwa 94% pasien yang meninggal karena belum divaksin. Ini mengindikasikan betapa lemahnya pencernaan masyarakat kita terhadap informasi yang diterima. Kita tentu tidak bisa membiarkan persoalan ini berlarut-larut.

Strategi Penanganan Hoaks

Pemerintah tengah gencar melakukan upaya edukasi melalui Program Nasional Literasi Digital yang menyasar di 514 kabupaten/kota. Kemkominfo menginisiasi program literasi digital dengan menggandeng pihak-pihak terkait. Program literasi digital memuat empat pilar pokok di antaranya budaya bermedia digital, (digital culture), aman bermedia (digital safety), etis bermedia (digital ethics), dan cakap bermedia (digital skills).

Program ini menyasar semua kalangan, utamanya kalangan pelajar, mahasiswa, guru, dosen, juga kalangan jurnalis. Kalangan terpelajar harus menjadi garda depan dalam menyampaikan edukasi terkait bahaya hoaks khususnya yang berkaitan dengan Covid-19. Sementara jurnalis memiliki peran yang tidak kalah krusial sebab bagaimanapun media memiliki pengaruh yang besar dalam membangun kesadaran dan persepsi publik.

Dengan digalakkannya program ini, diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran masyarakat menjadi warga digital yang cakap dan bertanggung jawab. Akan tetapi, program literasi digital yang dilakukan saat ini harus dipandang sebagai salah satu ikhtiar. Sebab, masih terdapat upaya lain yang menuntut ada strategi komunikasi yang bersifat terpadu. Dalam hal ini kita memerlukan peran dari tokoh masyarakat, khususnya pemuka agama yang mampu berpikir jernih, dekat dengan masyarakatnya, serta bersikap arif dalam mencermati situasi.

Selain itu, peran dari kalangan aktivis, khususnya yang tergabung dalam sejumlah organisasi kepemudaan (OKP) dan mahasiswa juga sangat diharapkan kehadirannya. Aktivis mahasiswa tidak boleh kehilangan sikap kritisnya, tetapi juga tidak boleh menutup mata dan abai terhadap potensi ancaman hoaks yang saat ini terus menyebar karena dampak buruknya yang bisa mengancam persatuan.

Semua komponen yang tadi disebutkan harus ditugaskan mengisi ruang kosong yang menjadi pemisah antara pemerintah dengan masyarakat. Ruang yang selama ini telah sesak dijejali purbasangka, serta dimanfaatkan oleh tangan-tangan kotor yang dengan senang hati menyebarkan ilusi kepada masyarakat di tengah suasana pandemi. Karena tidak dapat disangkal bahwa terdapat konten politik dalam sejumlah platform media sosial yang berisi propaganda sebagaimana yang ditemukan oleh Kemkominfo.

Bagaimanapun, informasi hoaks terkait Covid-19 telah menjelma sebagai masalah besar yang membahayakan terhadap upaya penanganan yang kini tengah dilakukan pemerintah. Kita harus berani menegakkan kepala, dan tidak usah segan mengatakan bahwa para produsen hoaks adalah proyeksi dari watak kolonial yang gemar memecah-belah. (Rian Fauzi, Dosen Pendidikan Sejarah STKIP Setiabudhi Rangkasbitung)