JARINGAN meristem akar kemiskinan semakin cepat membelah, menancap, dan menyeret kelompok masyarakat yang mengantungkan ikhtiar dan asa di sektor informal. Imunitas ekonomi pekerja informal kian rapuh, khususnya mereka yang terkonsentrasi di desa. Secara spasial, kemisikinan di kawasan perdesaan (13,20%) melampaui kawasan perkotaan (7,88%).

Tren penurunan angka kemiskinan yang sempat terjadi beberapa waktu belakangan sekejap buyar. Selanjutnya, Sakernas (2020) memperlihat­kan kalau sektor pertanian merupakan medan juang bagi 4,9 juta jiwa pekerja informal, dan menyebar di perdesaan. Namun demikian, kecenderungan atas tabungan dan tingkat investasi yang rendah mengantarkan mereka ke titik paling rentan.  Setahun lebih ujian pendemi ternyata tidak hanya menstimulus angka kemiskinan. Ketimpangan juga turut melebar. Pada September 2020 tercatat rasio gini sebesar 0,385 lebih tinggi 0,005 poin terhadap September 2019 (BPS, 2020). Bila dibedah lagi, distribusi pendapatan semakin berjarak di kawasan perdesaan dengan peningkatan dari 0,315 September 2019 menjadi 0,319 pada September 2020.   Potret rerata upah nominal harian buruh tani nasional dimulai pada Maret 2020 hingga Maret 2021 menunjukan tren kenaikan sebesar 2,15%. Upah nominal terbaik dibukukan pada Maret 2021 yaitu Rp56.470. Sayang sekali hal serupa tidak terjadi pada upah riil buruh tani. Pola penurunan konsisten ditunjukkan sejak September 2020 (Rp52.837) sampai Maret 2021 (Rp52.461).  Artinya kontraksi daya beli buruh tani tak terelakkan.

Setali tiga uang dengan hasil kajian Bank Dunia (WB) pada 2020, bahwa 30%-50% pekerja mengalami penurunan daya beli dibandingkan ketika krisis belum melanda. Guncangan begitu kencang di tingkat rumah tangga berpenghasilan menengah ke bawah. Transisi BSU  Tidaklah berlebihan bila petani dan buruh tani kita sematkan predikat pahlawan pangan. Pahlawan yang berjasa terhadap pemenuhan nutrisi lewat makanan bagi khalayak luas. Tetapi pahlawan itu dibiarkan terkapar, semakin kritis di tengah krisis. Ironisnya, petani dan buruh tani sebagai pekerja di sektor informal amat jauh dari payung perlindungan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek).

Data Sakernas (2020) menyingkap bahwa tingkat perlindungan sosial pekerja di sektor formal cukup kontras dengan pekerja informal. Hanya 3,16% pekerja sektor informal yang terdaftar sebagai peserta BPJS Ketena­gakerjaan. Padahal risiko kecelakaan kerja tidak luput mengintai mereka.  Di samping itu, ada hal unik. Partisipasi dalam program jamsostek menjadi determinan untuk mengakses salah satu instrumen perlindungan sosial lewat bantuan subsidi upah (BSU) sebagaimana beberapa waktu lalu disalurkan pemerintah. Lagi–lagi pekerja informal termasuk petani dan buruh tani mengalami kekejaman imbas desain kebijakan tersebut. BSU cuman milik pekerja formal. Nasib pekerja informal seperti pahlawan pangan kita kian terkatung-katung selama masa pengujian pandemi. Kehadiran Permenaker No. 14 Tahun 2020 cenderung memihak pekerja sektor formal, menstimulus kecemburuan sosial (social jealousy) antar pekerja.

Sebenarnya, sekalipun rumah tangga sektor pertanian berpindah ke sektor formal non-pertanian pada periode 2007–2014 terbukti tidak terlalu signifikan meningkatkan kesejahteraannya (Moeis et.al, 2020). Tak ada salahnya jika pahlawan pangan masih bertahan. Kini, APBN 2021 difokuskan pada program perlindungan sosial seperti program keluarga harapan (PKH), Kartu Sembako, Pra Kerja, guna mengakselerasi pemulihan ekonomi nasional. Seberkas cahaya mulai tampak bagi petani dan buruh tani, merobek kegelapan di ruang hampa harapan. Cahaya harapan itu terlihat mendekat via salah satu program padat karya tunai desa (PKTD) dengan total alokasi Rp37,08 triliun (Kemendes, 2021).

Baca Juga: Mutasi Double dan Triple Covid-19

Langkah ini diyakini mampu menyerap 4,2 juta pekerja di level desa. Transisi program BSU ke PKTD wajib didukung dengan catatan. Memang betul idealnya alternatif ini dapat memengaruhi budget constraint rumah tangga petani dan buruh tani. Pergeseran konsumsi bahan pangan maupun non-pangan besar kecilnya akan bertumbuh positif. Namun, ada hal krusial yang menurut hemat penulis mesti diperhatikan pemerintah. Melindungi pahlawan pangan di bawah payung jamsostek adalah kredo mewujudkan negara kesejahteraan (welfare state).  Sekarang saat yang tepat. Bukankah pemerintah yang baik meletakan telinganya ke bumi, menjaga interaksi tak berujung dari gemuruh suara rakyat, termasuk enggan mengalienasi pahlawan pangan dengan tembok formal non-formal untuk mengakses jaminan sosial juga perlindungan sosial lainnya? Maka dari itu, redistribusi fiskal mutlak ditempuh mengikuti mekanisme Penerima Bantuan Iuran (PBI) Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sebagaimana tertuang dalam Perpres No. 64 Tahun 2020. Hal ini penting, karena redistribusi fiskal lewat dukungan kepada program jaminan sosial merupakan cara terampuh menyusutkan kadar kesenjangan pendapatan pekerja (Piketty, 2015). Konsolidasi Jamsostek Temuan Dartanto (2013) menegaskan bahwa rumah tangga yang dikepalai oleh pekerja di sektor pertanian punya peluang cukup besar untuk turun kelas menjadi miskin. Penurunan produktivitas pertanian menjadi faktor penentu tingkat kesejahteraan petani yang melesu serta menciptakan kantong–kantong kemiskinan di perdesaan (Budimanta, 2019). Oleh karenanya, akselerasi tingkat cakupan kepesertaan jamsostek bagi pahlawan pangan perlu dijalankan secara progresif serta serius agar produktivitas pertanian lebih mengembirakan lagi.

Sebab, pada tingkat sektoral, Jamsostek memiliki korelasi positif terhadap produktivitas (ILO, 2018). Di samping itu Jamsostek menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap peserta dan atau anggota keluarganya. Kebutuhan dasar hidup seperti yang diterjemahkan dalam UU No. 40 Tahun 2004 yaitu, kebutuhan esensial setiap orang agar dapat hidup layak, demi terwujudnya kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sinyalemen penguatan jamsostek kepada pahlawan pangan hadir dengan terbitnya Inpres No. 2 Tahun 2021 Tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan. Beleid ini memberikan instruksi kepada menteri pertanian untuk mendorong petani menjadi peserta aktif dalam program Jamsostek. Perlahan negara terlihat tidak alpa dalam mengupayakan kesejahteraan kepada seluruh masyarakat secara merata, sembari mengejar target RPJMN 2020–2024.

Sebanyak 63,7 juta pekerja ditargetkan terlindungi dalam program Jamsostek pada 2024. Sekarang adalah bagaimana mengimplementasikannya? Kala ruang fiskal menyempit, kelihatannya refocusing dan realokasi anggaran subsidi pupuk bisa jadi opsi. Dengan asumsi seluruh buruh tani belum terlindungi program Jamsostek, dibutuhkan anggaran Rp659 milliar untuk menyokong iuran program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM) sejak Mei sampai Desember 2021, tergolong rendah. Hanya 2,61% dari total anggaran subsidi pupuk. Inilah cara kita menghargai jasa pahlawan pangan. Tengoklah Tiongkok yang telah melakukan praktik redistribusi fiskal agar petani terlindungi dengan menyiapkan akun perlindungan sosial petani di perdesaan lewat subsidi pemerintah (Zhonggen, 2017).  P

ilihan berikut adalah melakukan perkawinan silang (cross pollination) dana publik dan dana sektor swasta di bidang pertanian, yang masuk sebagai charity fund serta kontribusi iuran dari petani dan buruh tani. Dana tersebut masuk ke sistem pendanaan blended finance dengan skema penggabungan subsidi pemerintah, subsidi kolektif serta kontribusi individual. Model pendanan ini patut dipertimbangkan, apalagi ketika ekonomi nasional sudah kembali pulih. Ke depan, ancaman internal maupun eksternal terhadap perekonomian nasional merupakan suatu keniscayaan. Menjadikan pahlawan pangan sebagai peserta dalam program jamsostek adalah salah salah satu upaya memitigasi kehancuran yang lebih parah bagi mereka dan keluarganya apabila terjadi shock. Katup pengaman dari kemisikinan dan ketidakpastian akan masa depan telah mereka miliki.

Andaikata di lain waktu data kepesertaan dalam program Jamsostek menjadi basis penyaluran bantuan sosial (social assistance), hendaklah disalurkan melalui kanal yang inklusif. Sebagai bagian dari kelompok masyarakat yang paling worse off pekerja informal seperti pahlawan pangan kita jangan diabaikan lagi. Pembedaan bentuk bantuan sosial bagi pekerja hanya sukses mempertajam segregasi kelas sosial, menumpulkan keguyuban sesama anak bangsa. Jangan lupa, kita senasib sepenanggungan dengan pahlawan pangan bangsa ini.( Joshua Breinhmamana, Mahasiswa Pascasarjana FEB UI)