Bentuk tindak pidana menurut hukum pidana di negara kita saat ini masih terbagi antara kejahatan (mala in se) dan pelanggaran (mala prohibitia) atau dapat dilihat dari buku kedua KUHP yang dikualifikasikan sebagai kejahatan dan buku ketiga yang dikualifikasikan sebagai pelanggaran. Perbedaaan mendasar antara kejahatan dan pelanggaran tentu dapat dilihat dari tindakan dan akibatnya dimana akibat dari suatu kejahatan lebih besar dampaknya dibanding pelanggaran. Selain itu percobaan melakukan kejahatan dapat diancam dengan pidana dimana maksimum ancaman pidananya dikurangi sepertiga namun percobaan melakukan pelanggaran tidak diancam pidana.

Berbicara tentang kejahatan selalu menarik untuk dibahas, hal ini dikarenakan kejahatan yang diartikan sebagai perilaku yang melanggar hukum pidana selalu mengalami perkembangan baik dari segi bentuk maupun latar belakang dilakukannya kejahatan. Munculnya beberapa ilmu pengetahuan yang menjadikan kejahatan sebagai objek kajiannya juga menjadi alasan bahwa dalam menyikapi kejahatan tidaklah semudah menjustifikasi bahwa semua kejahatan bersumber pada satu penyebab yaitu ekonomi. Di dalam perkembangannya pendekatan tentang masalah kejahatan diartikan sebagai masalah manusia. Topinard seorang antropolog Perancis kemudian mengenalkan suatu ilmu yang mempelajari masalah kejahatan sebagai masalah manusia yang dinamakan Kriminologi. Selain ilmu kriminologi, terdapat juga beberapa ilmu pengetahuan yang menjadikan kejahatan sebagai objek kajiannya diantaranya adalah :

  1. Etiologi Kriminal dimana ilmu pengeta­huan ini menjadikan pelaku kejahatan sebagai objek kajiannya. Latar belakang seseorang melakukan kejahatan (melanggar hukum pidana), memban­dingan kenapa seseorang melakukan tindak pidana sementara orang lain tidak melakukan tindak pidana dan lain sebagainya merupakan beberapa fokus bahasan dalam ilmu ini.
  2. Victimologi, dimana ilmu pengetahun ini memfokuskan korban kejahatan sebagai objek kajiannya. Keterkaitan korban dalam kejahatan, interaksi korban dengan pelaku kejahatan, tanggung jawab korban sebelum kejahatan terjadi merupakan beberapa hal yang menjadi fokus bahasan dalam ilmu ini.
  3. Sosiologi Hukum, ilmu pengetahuan ini menjadikan kejahatan sebagai objek kajiannya layaknya kriminologi. Fokus bahasan dalam sosiologi hukum ini sangatlah luas karena mencakup bagaimana kelayakan aturan (regulasi) yang ada guna mencegah terjadinya kejahatan,
  4. Penologi, dimana ilmu pengetahuan ini menjadikan masyarakat sebagai objek kajiannya. Peran masyarakat dalam terciptanya kejahatan, budaya hukum dalam suatu masyarakat dan lain sebagainya merupakan fokus bahasan dalam penology.

Berbicara tentang tindak pidana akan semakin rumit jika tindak pidana tersebut dilakukan oleh seorang anak. Keterbatasan yang dimiliki oleh seorang anak baik dari segi pengetahuan terhadap tindak pidana, sifat dasar anak yang selalu ingin mencoba sesuatu yang baru, rentannya seorang anak untuk dipengaruhi oleh orang dewasa, dan beberapa faktor lainnya menjadikan seorang anak rentan melakukan tindak pidana. Seorang anak yang merupakan generasi penerus bangsa dengan kerentanan tersebut sudah seharusnya diberikan perlindungan maksimal baik oleh unit terkecil dalam hal ini adalah keluarga hingga unit terbesar yaitu, masyarakat dan negara dalam hal ini adalah Pemerintah. Perlindungan yang diberikan kepada anak dapat berbentuk tindakan-tindakan pencegahan (preventif) yang dilakukan sebelum seorang anak melakukan tindak pidana dan tindakan-tindakan penanganan yang baik apabila seorang  anak terlanjur melakukan tindak pidana (represif). Kedua tindakan tersebut jika tidak dilakukan secara maksimal maka tentunya akan menghancurkan masa depan dari anak itu sendiri.

Terkait tindakan represiv dalam penanganan anak Frank Tannenbaum yang merupakan seseorang yang secara khusus merintis konsep penjulukan (labeling) mengatakan bahwa : “ Masyarakat mendramatisir arti tingkah laku yang salah dan pelaku divonis sedemikian kerasnya sehingga pelaku sendiri terpaksa merasa dirinya jahat, mungkin masyarakat sebenarnya masyarakat bermaksud baik untuk memperbaiki si anak namun cara memperbaikinya terkadang keliru yang justru membuat si anak yang awalnya hanya melakukan kenakalan berubah menjadi melakukan kejahatan. Apa yang disampaikan Frank menjadi penting jika melihat maraknya tindak pidana yang dilakukan oleh anak. Seperti yang sudah penulis jabarkan diatas bahwa keterbatasan yang dimiliki oleh anak jika tidak dicermati secara bijak maka tentunya akan membawa dampak yang buruk terhadap psikis dan mental anak. Masyarakat yang seharusnya memiliki peran dalam memperbaiki kondisi tumbuh kembang anak malah memiliki peran sebaliknya.

Terkait penanganan terhadap anak, khususnya anak yang berkonflik dengan hukum sistem pemidanaan di negara kita telah mengenal bentuk keadilan restoratif yang dijewantahkan dalam proses diversi.  Pengertian diversi sendiri termuat dalam pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) dimana disebutkan bahwa diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Proses peradilan pidana anak sendiri dapat diartikan sebagai proses yang dimulai dari penyelidikan oleh Kepolisian dan diakhiri dengan pembimbingan oleh Balai Pemasyarakatan (BAPAS).

Baca Juga: Pendidikan ala Finlandia

Konsep diversi walaupun terdengar asing bagi sebagian kalangan namun sebenarnya dalam penerapannya sudah jauh dilakukan lebih dulu oleh masyarakat. Penulis sendiri berpendapat bahwa proses diversi mirip dengan proses mediasi dimana berkaitan dengan sebuah proses yang memilki tujuan yang sama yaitu mencari win-win solution bagi para pihak yang bertikai. Hukum adat yang merupakan salah satu bentuk hukum yang hidup di masyarakat juga menerapkan mediasi atau biasanya dengan sebutan lain sebagai bentuk penyelesaian sengketa. Memang ada beberapa pendapat yang mengatakan bahwa konsep hukum pidana kita tidak mengenal konsep mediasi namun pada kenyataan proses mediasi tersebut tetap tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat.

Diversi dalam sistem peradilan pidana anak (SPPA) menekankan betapa pentingnya memperhatikan kepentingan korban dalam artian tidak serta merta hanya berfokus kepada kepentingan terbaik bagi anak pelaku. Dalam proses diversi kepentingan/pendapat korban menjadi penting dikarenakan upaya diversi tidak akan berhasil tanpa adanya persetujuan korban terkecuali untuk tindak pidana yang memenuhi syarat Pasal 9 ayat 2 UU SPPA. Untuk diversi sendiri pertama kali dilakukan pada tingkat penyidikan di Kepolisian dimana dimulai dengan pemeriksaan yang dilakukan oleh Penyidik dan Penelitian kemasyarakatan (Litmas) yang dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan (PK) Bapas. Laporan litmas yang dibuat nantinya berisi rekomen­dasi apakah tindak pidana tersebut dapat diupayakan diversi atau tidak dimana rekomendasi litmas berkaitan erat dengan amanat Pasal 7 ayat 2 UU SPPA dimana ancaman pidana di ba­wah 7 tahun dan bukan meru­pa­kan pengulangan tindak pidana. Apabila tindak pidana yang dilakukan oleh anak dapat diupayakan diversi maka laporan litmas ini menjadi penting sebagai bekal selama pelaksanaan pro­ses diversi dikarenakan laporan hasil litmas melihat tindak pidana yang dilakukan oleh anak secara kompeherensif. Perlu juga diketahui bahwa apabila proses diversi tidak berhasil pada tingkat penyidikan maka proses diversi akan dilanjutkan pada tingkat kejaksaan dan juga tingkat pe­meriksaan perkara di Pengadilan. Pertanyaannya adalah bagaima­na dengan tindak pidana yang tidak memenuhi syarat pasal 7 ayat 2 UU SPPA namun pihak korban berniat untuk menyele­saikan perkara tersebut? untuk tindak pidana tersebut seharus­nya tetap dapat dilakukan mediasi namun perlu ditekankan bahwa hasil mediasi tidak dapat menye­lesaikan perkara tersebut walau­pun sudah adanya perdamaian dimana hal ini berkaitan dengan asas legalitas. Hasil mediasi ter­sebut tetap dibuat dalam bentuk surat kesepakatan/perdamaian yang nantinya dapat dijadikan bahan pertimbangan Hakim dalam memutus perkara yang dilakukan oleh anak. Hal ini menjadi penting dimana pemu­lihan (to restore) hubungan  antara pelaku dan korban tetap terpenuhi dan asas legalitasnya juga tidak diabaikan. (Grace Huwae Pembimbing Kemasyarakatan Bapas Ambon)