DALAM konferensi pers di Nusa Dua Bali baru-baru ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani mewanti-wanti situasi global yang diperkirakan akan mengalami resesi. Ia mengakui berbagai risiko global saat ini akan mendorong kenaikan inflasi dan penurunan pertumbuhan ekonomi. Indonesia tentu bukanlah negara yang kebal terhadap ancaman resesi global. Oleh karenanya, kewaspadaan harus ditingkatkan.

Data Bloomberg (Juli, 2022) memang menyebutkan kemungkinan negara-negara Asia diterpa resesi me­ningkat. Namun, dari sisi ketahanan, Asia masih lebih baik daripada Eropa dan Amerika. Bloomberg memperkirakan peluang Indonesia terkena resesi sebesar 3%, jauh di bawah negara tetangga seperti Malaysia, Vietnam, dan Thailand yang 10%. Sementara itu, peluang Australia, Tiongkok, dan Jepang terkena resesi lebih tinggi, yaitu di atas 20%.

Meski Indonesia masih lebih baik dari negara-negara sekitar, bukan berarti kita boleh abai terhadap potensi resesi. Kenyataannya, data Biro Pusat Statistik (BPS) menunjukkan tingkat inflasi pada Juni 2022 sebesar 4,35%. Angka tersebut merupakan yang tertinggi sejak lima tahun terakhir. Inflasi pada Juni juga berada di atas perkiraan ambang batas atas Bank Indonesia (BI). Jika kenaikan inflasi terjadi secara berkelanjutan, tidak mustahil akan berdampak berat bagi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) kita.

Ketika muncul ancaman resesi ekonomi, kita harus segera menengok bagaimana UMKM kita. Mengapa? Karena lebih dari 90% pekerja Indonesia ada di sana. Jika UMKM tidak kuat menghadapi imbas dari krisis global, pengangguran massal akan menjadi berita harian yang tak terelakkan. Oleh karenanya, kita harus cermat melihat UMKM kita. Selanjutnya, kita juga perlu merumuskan langkah yang tepat guna menguatkan UMKM dari terpaan badai krisis yang bisa jadi segera datang.

Geliat UMKM

Baca Juga: Mempersiapkan Anak di Era Metaverse

Saat ini sebenarnya UMKM kita sedang berjuang menyelesaikan fase pemulihan akibat covid-19. Sektor produksi dan distribusi sudah bergerak lagi. Geliat UMKM sudah mulai terlihat dari meningkatnya per­tumbuhan kredit UMKM. BI mencatat penyaluran kredit ke sektor UMKM meningkat 16,9% secara tahunan pada April 2022. Berdasarkan jenis penggunaan, peningkatan kredit UMKM didorong oleh kredit investasi ataupun kredit modal kerja.

Geliat UMKM sendiri, utamanya ditopang oleh sektor konsumsi yang menguat. Pertumbuhan ekonomi triwulan pertama lebih didorong sisi pengeluaran yang didominasi konsumsi rumah tangga (BPS, 2022). Peningkatan konsumsi rumah tangga pada tiga bulan pertama digerakkan oleh faktor mobilitas masyarakat dan ekonomi yang semakin baik. Kondisi tersebut menyebabkan meningkatnya daya beli dan konsumsi masyarakat.

Senada dengan BPS, data BI menunjukkan kredit perorangan tumbuh 8,4% secara tahunan. Hal itu seiring dengan meningkatnya optimisme konsumen. Survei BI pada Juni 2022 menunjukkan indeks keyakinan konsu­men (IKK) sebesar 128,2 atau berada di level optimistis (indeks > 100). IKK itu penting sebagai sinyal penggerak sektor konsumsi karena menggambarkan persepsi konsumen mengenai kondisi ekonomi saat ini dan ekspektasi mereka.

IKK memang tidak menunjukkan daya beli. Namun, menggambarkan keyakinan konsumen akan penghasilan saat ini yang dapat berpengaruh pada daya beli. Harus diakui bahwa faktor penggerak perekonomian kita masih pada sektor konsumsi. Para ekonom menyebutnya sebagai consumption driven economy atau ekonomi yang digerakkan oleh konsumsi. Oleh karenanya, penting bagi pemerintah untuk menjaga stabilitas daya beli konsumen agar ekonomi terus bergerak.

Menjaga faktor permintaan

Pemerintah dapat menguatkan UMKM, salah satunya dengan menjaga faktor permintaan, yaitu dengan menjaga daya beli masyarakat. Naiknya harga bahan bakar dan beberapa komoditas volatil lainnya bukan hanya berpotensi meningkatkan inflasi, melainkan juga bisa menurunkan daya beli. Jika daya beli terganggu, tentu pertumbuhan UMKM akan terganggu.

Pemerintah perlu berhati-hati dalam memutuskan kebijakan penarikan subsidi yang berpotensi mendo­rong inflasi dan melemahkan daya beli.

Daya beli masyarakat juga dapat dijaga dengan melanjutkan program bantuan sosial (bansos) yang sudah berjalan selama ini. Para penerima bansos ialah konsumen langsung UMKM yang perlu dipertahan­kan daya belinya. Dalam jangka panjang, tentu pemerintah harus bisa menciptakan lapangan kerja sebanyak-banyaknya karena daya beli juga sangat terkait dengan ada tidaknya pekerjaan yang layak bagi masyarakat.

Faktor permintaan juga dapat diciptakan dari belanja barang dan jasa lembaga pemerintah dan BUMN yang dialokasikan pada UMKM. Arahan Presiden, yang meminta 40% pengadaan barang dan jasa pemerintah berasal dari UMKM, harus segera direalisasikan. BUMN pun perlu diinstruksikan lebih tegas untuk memberi kesempatan bagi pelaku UMKM menjadi vendor. Dalam hal ini, segala hambatan masuk bagi UMKM pada proyek pemerintah dan BUMN perlu diper­longgar.

Digitalisasi dan penetrasi pasar

Jika pasar domestik mengalami stagnasi, UMKM perlu menyiapkan exit strategy. Pasar-pasar luar negeri harus mulai menjadi orientasi agar UMKM bisa melanjutkan geliat pertumbuhannya. Untuk itu, pemerintah melalui berbagai perwakilannya di luar negeri perlu memfasilitasi UMKM untuk bisa mengakses pasar yang lebih luas. Kolaborasi dengan diaspora pengusaha Indonesia perlu dilakukan untuk membantu UMKM mengakses pasar.

Banyak studi membuktikan bahwa literasi digital menjadi kunci dari kesuksesan penetrasi pasar domestik ataupun internasional. Sayangnya, tingkat literasi digital UMKM kita masih terbilang rendah. Dalam hal ini, pemerintah dan pemangku kepentingan lain perlu membantu UMKM dalam meningkatkan literasi digital. Dalam ekosistem ekonomi digital yang semakin menguat, UMKM tidak bisa tidak harus membekali diri dengan kecakapan digital.

Meski kondisi makro Indonesia saat ini dipredikasi lebih memiliki daya tahan jika dibandingkan dengan negara lain, tidak berarti ancaman resesi tidak akan datang. Orang bijak mengatakan lebih baik bersiap payung sebelum hujan. Inilah waktunya untuk mengakselerasi UMKM agar tumbuh dan semakin tangguh sebelum resesi ekonomi datang. Dengan gotong royong seluruh pemangku kepentingan, tentu kita optimistis bisa menjaga UMKM dari ancaman resesi global. Oleh: Mukhamad Najib Guru Besar Manajemen IPB University  (*)