PADA penghujung Februari 2022 sebuah pesan masuk ke salah satu grup whatsapp saya. Pesan tersebut berisi dua tautan berita terkait kasus anak dan perempuan di metaverse. Yang pertama, kisah seorang peneliti BBC bernama Andy Burrows. Dia menyampaikan penga­lamannya saat mencoba aplikasi metaverse yang menerapkan rating batas usia minimal 13 tahun bagi penggunanya.

Andy memasuki aplikasi tersebut dengan menyamar sebagai anak gadis berusia 13 tahun. Namun, ternyata dia bisa masuk ke sebuah klub striptease tanpa ada verifikasi usia. Di sana, dia mengaku masuk ke dalam ruangan khusus di mana para avatar (karakter dalam dunia maya) melihat berbagai hal yang tidak pantas bagi anak-anak di bawah umur; pelecehan seksual, grooming (menghasut) seksual, simulasi seks, ditawari alat seks dan kondom, bahkan didekati pria-pria dewasa dan ancaman pemerkosaan di dunia virtual.

Tautan kedua, berita tentang perempuan asal London bernama Nina Jane Patel. Dia mengaku mengalami pelecehan seksual berupa pemerkosaan oleh beberapa avatar laki-laki saat berada di metaverse yang sedang dikembangkan oleh meta. Jane Patel menceritakan pengalamannya saat dia dilecehkan secara verbal dan seksual. Meskipun terjadi secara virtual, tapi pengalaman tersebut membuatnya mengalami trauma dan menggambarkannya sebagai mimpi buruk yang nyata.

Membaca berita di atas, sebagai seorang perem­puan sekaligus ibu yang bergerak dalam berbagai kegiatan literasi digital, berita ini tentu saja membuat saya khawatir. Terbayang dalam benak berbagai per­ma­salahan keluarga di era digital yang saat ini belum tuntas, seperti kecanduan internet, cyber bullying, penipuan daring, kekerasan, pornografi, kesehatan mental, ekspliotasi seksual daring, dan berbagai anca­man konten negatif lainnya. Dengan adanya meta­verse, maka akan bertambah lagi satu pekerjaan ru­mah bagi orang tua untuk mempersiapkan keluar­ga­nya memasuki era ini beserta peluang dan tantangannya.

Mengenal metaverse

Baca Juga: Memutus Lingkaran Generasi Stunting

Metaverse sebenarnya bukan hal baru, terlebih bagi para gamers. Sejarah perjalanannya telah dimulai sejak sejak 1956. Kala itu sinematografer Amerika Serikat, Morton Leonard Heilig, menciptakan mesin virtual reality (VR) untuk pertama kalinya yang diberi nama Sensorama. Mesin tersebut mampu mensimulasikan pengalaman mengendarai sepeda motor dengan menggabungkan video tiga dimensi, audio, suasana dan kursi yang bisa bergetar.

Istilah metaverse sendiri pertama kali muncul dalam novel Snow Crash karya Neal Stephenson pada 1992. Dalam novel tersebut, Neal menceritakan tentang manusia yang bisa saling berinteraksi satu sama lain secara virtual di ruangan 3D. Kehadiran mereka direpresentasikan oleh para avatarnya, baik laki-laki maupun perempuan, yang penampilannya bisa dibuat sesuai dengan keinginan.

Belakangan, istilah metaverse mulai ramai diper­bincangkan sejak CEO Facebook, Mark Zuckerberg, mengubah nama perusahaannya dari Facebook menjadi Meta Platform Inc. Metaverse dengan konsep dunia virtualnya, digadang-gadang akan menjadi masa depan internet. Di Indonesia, beberapa pesohor pun mulai melebarkan sayap bisnisnya di metaverse seperti pasangan Raffi Ahmad dan Nagita Slavina. Mereka dikabarkan sedang membangun platform game metaverse di bawah bendera RansVerse.

Melalui platform ini, para pengguna RansVerse nantinya bisa membeli dan menjual barang dan berbagai konten hiburan yang dijual di toko atau mal virtual. Melalui metaverse ini, kita bisa masuk ke dunia virtual dan melakukan berbagai aktivitas di dunia nyata, seperti berkumpul bersama dalam sebuah acara, berbelanja, jalan-jalan ke berbagai belahan dunia bahkan luar angkasa, melakukan berbagai percobaan, membuat tanah sendiri dan menjual properti, masuk ke dalam permainan. Kehadiran manusia di dunia virtual tersebut diwakili oleh avatar yang bisa dikreasikan sendiri dan dihubungkan dengan menggunakan headset VR dan kacamata Augmenten Reality (AR).

Digital literacy adalah kunci

Sebagaimana pisau, dia akan menjadi alat yang berguna bila digunakan untuk memasak dan berbahaya bila digunakan untuk kejahatan. Begitu juga dengan metaverse. Sebagai media, metaverse bisa digunakan untuk hal-hal positif yang memberikan peluang dan manfaat bagi banyak orang, begitu juga sebaliknya. Semuanya tergantung diri kita, manusia, sebagai penggunanya.

Saya pribadi meyakini bahwa teknologi adalah ber­kah dari Tuhan untuk memfasilitasi dan memu­dahkan manusia dalam berbagai bidang kehidu­pan. Karena itu, kita harus mensyukurinya dengan cara memanfaatkannya sebaik mungkin untuk hal yang bermanfaat. Supaya optimal, salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan memahami dan menerapkan literasi digital sejak usia dini.

Secara sederhana, saya memaknai literasi digital sebagai kemampuan seseorang dalam mene­rima, memproses, menyebarluaskan serta meman­faatkan teknologi dan perangkat digital. Supaya terliterasi dengan baik, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Siberkreasi dan Japelidi merumuskan 4 (empat) pilar literasi digital, yaitu: 1) Kecakapan digital (digital skills), 2) Budaya digital (digital culture), 3) Etika digital (digital ethics), dan 4) Keamanan digital (digital safety).

Keempat pilar ini menjadi satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan untuk membekali kita mengarungi era digital. Pilar pertama, kecakapan digital, difo­kuskan pada kemampuan kita dalam menggunakan alat teknologi baik dalam mengoperasikan pe­rangkat keras dan perangkat lunaknya. Kecakapan juga mengacu pada kemampuan kita untuk menjadikan internet sebagai peluang untuk berkembang.

Menghadapi era metaverse, kita sebagai orang tua tentunya harus belajar lebih banyak tentang teknologi ini. Bila tidak sanggup menguasainya, minimal kita mengetahui dan memahaminya. Dengan demikian, kita bisa menjadi sahabat diskusi yang menyenangkan bagi anak-anak kita saat mereka menanyakan seputar metaverse. Pilar kedua yaitu budaya digital. Budaya di ruang digital merupakan hal penting yang harus dipahami remaja supaya mereka bisa tumbuh menjadi manusia yang bertakwa, memiliki kepedulian, cinta tanah air, sikap toleransi, saling menghargai terhadap berbagai perbedaan, empati dan karakter baik lainnya sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.

Sementara itu, pilar ketiga yaitu etika digital, berfokus pada kemampuan seseorang dalam bersikap bijak, santun dan beretika saat berselancar di dunia digital. Dengan menyadari bahwa dunia maya sama dengan dunia nyata, remaja kita akan lebih berhati-hati dalam berinteraksi dan berko­munikasi di ruang digital.

Mereka akan memahami bagaimana cara mengatur tingkah laku, menjaga tata bahasa, menyaring dan mendistribusikan informasi yang benar, serta perilaku etis lainnya supaya terhindar dari cyber bullying, hoaks, hate speech, penghinaan, dan sebagainya.

Pilar terakhir, yakni keamanan digital mengacu pada kemampuan mengenali, menerapkan, meningkatkan kesadaran perlindungan data pribadi dan keamanan digital. Melalui pilar ini, remaja kita bisa diajak untuk memahami bahwa apa yang kita bagikan akan meninggalkan jejak digital.

Karena itu, penting untuk mengetahui data pribadi dan bagaimana cara melindunginya. Supaya tidak digunakan oleh pihak yang tak bertanggung jawab untuk penipuan, penculikan, pencurian data dan sebagainya yang bisa menimbulkan banyak kerugian.

Dengan membekali pemahaman dan penge­tahuan literasi digital, diharapkan anak-anak kita memiliki nilai spiritual, moral, dan ‘imunitas’ yang tinggi terhadap informasi. Sehingga kelak mereka akan mampu berpikir kritis dan memiliki kemandirian dalam memilih konten apa saja yang baik dan tidak bagi dirinya, meskipun kita sebagai orang dewasa sedang tidak berada di samping mereka. Oleh: Rita Nurlita, Founder Keluarga Digital Indonesia, ASN Diskominfo Kota Depok (*)