PODIUM Media Indonesia tanggal 6 Juli 2023 yang ditulis Ahmad Punto memaparkan hal yang menyedihkan, yakni jahatnya aksi perundungan yang hingga kini masih saja terjadi. Aksi perundungan sering kali dialami anak-anak di bawah umur yang lugu dan tak berdaya. Apa yang dialami R, seorang bocah berusia 13 tahun, siswa kelas VII sebuah SMP Negeri di Pringsurat, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, ialah contoh nyata bagaimana dampak yang menumpuk karena perundungan bisa berakibat sangat fatal. Akibat sering dirundung teman-teman sekolahnya, R ternyata menyimpan rasa dendam yang menumpuk dan trauma yang mendalam. Bocah malang itu, yang sepintas tampak tidak berdaya dan hanya diam ketika dirundung teman-temannya, ternyata di hatinya menyimpan bara api. Ia memendam amarah yang luar biasa dan rasa sakit hati yang tak tertahankan. Itu disebabkan apa yang dia alami tidak mendapat empati dari guru-gurunya di sekolah. Bahkan, menurut pengakuannya, gurunya pun tak jarang ikut memojokkan dan mempermalukannya saat ia mengadukan kelakuan teman-temannya. Puncaknya, pada Selasa, 27 Juni 2023 lalu, sekitar pukul 02.00 WIB, R datang ke sekolahnya dengan membawa tiga botol molotov. Tujuannya satu, membakar sekolahnya sendiri.

Dendamnya meletup bersama molotov yang akhirnya menghanguskan bangunan tempat ia selama ini menimba ilmu. R yang tampak tidak berdaya tiba-tiba melampiaskan dendamnya dengan cara membakar gedung sekolah tempat ia belajar sekaligus tempat ia menjadi korban aksi perundungan.   Faktor pendorong Daftar terjadinya berbagai aksi perundungan sebetulnya dapat terus diperpanjang. Kasus perundungan tidak hanya terjadi di tempat-tempat yang tidak aman, seperti di penjara anak, di sekolah kedinasan, atau di lingkungan yang tertutup. Di sekolah, di pondok pesantren, dan lembaga keagamaan pun aksi perundungan kerap terjadi. Berdasarkan data Biro Data dan Informasi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), sepanjang Januari-April 2023, tercatat sebanyak 251 anak berusia 6-12 tahun menjadi korban kekerasan di sekolah. Sebanyak 251 korban kekerasan dengan rentang usia sekolah dasar itu terdiri atas 142 anak perempuan dan 109 anak laki-laki.

Data Kementerian PPPA mencatat sebanyak 99 anak itu ialah korban kekerasan fisik, 88 kekerasan psikis, 78 kekerasan seksual, 1 eksploitasi, 5 penelantaran, dan 35 kekerasan lainnya. Selain mengalami luka psikologis, rasa malu, dan ketakutan yang berlebihan, tidak sedikit korban aksi perundungan yang meninggal dunia karena kesakitan. Tidak sekadar dicaci maki, diplonco, dan lain sebagainya, sebagian korban yang mengalami aksi kekerasan fisik, tak jarang masuk rumah sakit dan tewas sia-sia di usia muda karena menjadi korban aksi perundungan teman-temannya sendiri yang kebablasan. Sejumlah faktor yang mendorong dan memicu terjadinya aksi perundungan di sekolah ialah, pertama, karena agresivitas pelaku yang secara psikologis memang memiliki sifat arogan, sok berkuasa, dan senang melakukan tindak kekerasan kepada temannya.  Studi Antoniadou & Kokkinos (2013), misalnya, menemukan bahwa siswa-siswa tertentu umumnya merupakan tipe pencari sensasi yang berbahaya, agresif, dan menantang. Di sekolah, siswa tipe tersebut sering kali merasa sah-sah saja melakukan aksi perundungan karena dianggap sebagai bagian dari aktivitas berisiko, dan perilaku yang berbeda–yang menjadi bagian dari identitas sosial mereka. Kedua, karena kurangnya rasa empati dan rendahnya perasaan untuk memahami keberadaan teman-teman sekolahnya, terutama teman-temannya yang dianggap rentan dan tidak berdaya.

Studi yang dilakukan Ang & Goh (2010) mene­mukan bahwa siswa yang semula menganggap tindakannya hanya main-main dan menggoda tak jarang kemudian berubah menjadi tindakan perundungan yang menekan teman-temannya.  Dalam banyak kasus, aksi guyonan yang terus berkembang liar bukan tidak mungkin berubah menjadi ajang untuk mem-bully temannya yang lain karena dianggap sebagai bagian dari hiburan dan keasyikan bermain. Pelaku yang superior biasanya lebih terpeluang melakukan aksi perundungan terhadap teman-temannya yang subordinasi. Ketiga, karena korban dinilai merupakan bagian dari kelompok liyan (the other) yang aneh, kuper, dan karena itu berpotensi menjadi korban aksi perundungan. Dalam sebuah laporan, disebutkan bahwa remaja disabilitas umumnya tiga kali lebih rentan di-bully jika dibandingkan dengan remaja normal, termasuk remaja difabel juga sudah banyak yang memiliki media sosial (https://difabel.tempo.co/read/1105592/). Sering terjadi bahwa anak-anak yang menjadi pelaku merasa anak-anak difabel, anak korban yang menarik untuk dirundung karena ketidakberdayaan mereka. Justru ketika menghadapi anak-anak yang tidak berdaya, pelaku merasa mendapatkan sasaran empuk yang dapat memenuhi hasrat mereka mendemonstrasikan kekuasaannya. Keempat, pelaku tindak perundungan sebagian besar ialah siswa yang termasuk nakal di sekolah.

Studi yang dilakukan Suyanto & Sugihartati (2022) menemukan di berbagai sekolah biasanya memang selalu ada siswa tertentu yang termasuk bandel, nakal, dan sok jagoan. Mereka itulah yang ditengarai sering menjadi pelaku bullying teman-teman mereka sendiri, mulai tindakan menganggu yang ringan, pemalakan, hingga tindak kekerasan.  Sebanyak 47,5% responden mengaku sering mengalami tindakan bullying dari siswa yang nakal tersebut. Sementara itu, pelaku bullying yang lain, menurut 19% responden, yang sering ialah siswa yang populer di sekolah dan kakak kelas (16%).    Mencegah Mencegah aksi perundungan agar tidak terus berkembang harus diakui bukan hal yang mudah. Ada sejumlah hal yang perlu diperhatikan dalam upaya penanganan aksi perundungan. Pertama, bagaimana mengikis terjadinya segregasi sosial di lingkungan sekolah yang berpotensi menjadi habitus bagi terjadinya tindak perundungan, ada baiknya jika di sekolah siswa diajak membiasakan diri menjalin kerja sama dengan siswa lain, dalam berbagai kegiatan yang sengaja memang didesain untuk itu. Alih-alih mendorong kompetisi atau kontestasi dalam semua hal, dalam kesempatan tertentu, guru ada baiknya membiasakan siswa untuk tergabung dalam sebuah proyek kolaborasi.  Kedua, dalam penanganan kasus tindak perundungan, ada baiknya jika dikembangkan kolaborasi antara sekolah dan orangtua melalui komite sekolah. Ketika sebagian siswa tidak berani menghadapi risiko yang lebih parah kalau melaporkan tindakan  perundungan yang dialami, menjadi tugas guru dan orangtua untuk mendukung tindakan pelaporan agar dapat dikembangkan pembinaan yang terbaik bagi masa depan siswa.

Baca Juga: UU Kesehatan, Penerang atau Bumerang?

Bentuk penanganan terhadap kasus perun­dungan seyogianya tidak serbaregulatif-punitif, tetapi bisa juga dengan pembinaan yang lebih personal–yang melibatkan guru BK.  Sejak awal, perlu dipikirkan upaya penanganan kasus perundungan tidak malah membuat korban makin terintimidasi, tetapi justru harus merasa lebih terlindungi. Sekolah sebaiknya juga bersikap responsif. Tidak mendiamkan atau menganggap sepele kasus perundungan karena akan berisiko membuat korban lebih tertekan. Oleh: Bagong Suyanto Guru Besar dan dosen sosiologi anak di FISIP Universitas Airlangga (*)