PEMERINTAH melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan merilis kebijakan humanis yang berlaku sepanjang masa pandemi covid-19. Kebijakan tersebut intinya adalah bahwa kesehatan dan keselamatan peserta didik, pendidik, tenaga kependidikan, keluarga dan masyarakat, merupakan prioritas utama dalam menetapkan kebijakan pembelajaran.  Kebijakan tersebut tentu saja sangat relevan sebagai bentuk sikap terbaik sehubungan kasus penyebaran covid-19 yang hingga kini masih meninggi.

Ada dua basis pembelajaran yang wajib dijadikan bingkai dan pondasi utama pembelajaran, yakni kesehatan dan keselamatan. Kesehatan dan keselamatan adalah nilai vital yang sulit ditawar dalam ranah pribadi maupun kolektif. Ancaman terhadap keduanya serta-merta akan merontokkan apa pun bentuk dan wujud indah yang diimpikan pada tujuan lain, tanpa terkecuali yang di lakukan di satuan pendidikan maupun di kampus-kampus, yang sedang bereuforia menata diri sebagai kampus merdeka.  Esensi dan ironi keselamatan  Secara esensial semua komponen bangsa, terutama para stakeholder pendidikan dan pembelajaran, telah memahami betul bahwa keselamatan sejak dulu adalah prioritas tertinggi.

Di masyarakat pun sudah terbiasa dengan filosofi dasar; urip kuwi sing penting slamet. Namun, keselamatan itu sesuatu yang berhubungan dengan harga. Ada guyonan yang sangat populer yang diungkap oleh abang becak ketika penumpangnya rewel ketakutan, “Wanine mbayar murah kok njaluk slamet”.  Esensi keselamatan selalu bersanding dengan hal-hal lain yang bersifat ironi.  Dalam masa sebelum pandemi covid-19, perwujudan keselamatan tidak sepenuhnya dapat sesuai dengan yang semestinya. Keterbatasan-keterbatasan, serta mindset literasi peserta didik dan masyarakat yang masih memprihatinkan, acapkali menghasilkan ‘pemandangan umum’ yang biasa terlihat dalam kehidupan keseharian. Ironisnya, hal tersebut kemudian dianggap sesuatu yang normal. Padahal itu adalah ‘bom waktu’ yang setiap saat bisa meledak mengancam keselamatan dan meluluh-lantakkan peserta didik dan pendidik dalam segmen proses pembelajaran.

Terdapat beberapa hal yang ironi tentang keselamatan pembelajaran; pertama, fenomena Indiana Jones hingga saat ini masih terjadi, walau mungkin dianggap dalam skala kecil di beberapa wilayah tertentu di Tanah Air. Peserta didik, yang umumnya masih usia SD dan SMP tiap hari berangkat dan pulang menutut ilmu dengan melintasi medan yang mengerikan, yakni harus meniti tali jembatan kecil bergelantung di atas aliran sungai yang sangat deras. Betapa mereka harus ‘menyabung nyawa’ tiap harinya hanya untuk sebuah proses pembelajaran. Kedua, fenomena ‘penumpang akrobatik’ anak berseragam sekolah hingga saat ini pun mungkin masih terlihat di beberapa wilayah perdesaan, terutama daerah pinggiran yang memiliki keterbatasan akses moda transportasi umum.

Para peserta didik, nampak berjubel, bergelantungan di pintu, bahkan duduk di atap kendaraan yang mereka tumpangi tanpa memperhitungkan keselamatan diri. Mereka pasrah dengan keadaan dan hal tersebut dianggap bagian dari syarat untuk menjadi orang sukses di kemudian hari. Ketiga, situasi bangunan fisik sekolah masih sangat banyak yang jauh dari kelayakan. Jauh dari arti kenyamanan, kepantasan, dan keselamatan. Mulai dari atap ruang kelas yang bocor saat hujan, meja dan kursi yang reyot dengan paku yang menyeruak, hingga bangunan sekolah yang tampak miring yang jelas tampak hendak roboh hanya menunggu waktu.  Keempat, belum adanya keharusan sekolah untuk memiliki aset ruang terbuka bagi aktivitas pembelajaran formal pendidikan jasmani/olahraga, menyebabkan banyak sekolah pilih meminjam gratis lahan komunal yang ada di luar lingkungan sekolah. Umumnya menuju ke lokasi tersebut peserta didik harus menyeberangi jalan, bahkan ramai lalu-lintas.

Baca Juga: Sinergitas Pemerintah–Masyarakat Kunci Sukses Lawan Covid-19

Hal ini memiliki risiko keselamatan tersendiri yang tak boleh disepelekan. Keselamatan masa pandemi Kebijakan pembelajaran berbasis keselamatan bersama didesain melalui perbaikan mindset dan literasi dengan mengedepankan pengendalian diri untuk ‘jangan main paksa’. Main paksa adalah pemicu besar bagi munculnya sebab ketidakselamatan; pertama, jangan main paksa untuk mengartikan new normal sebagai keadaan wis normal hingga memicu eforia kembali ingin pembelajaran secara luring.

Pembelajaran yang bersifat luring adalah proses interaksi kompleks yang sangat sulit untuk menghindar dari bentuk kerumunan. Physical distancing merupakan protokol kesehatan yang sangat sulit untuk dipenuhi di samping keteguhan peserta didik untuk taat memakai masker. Ada ancaman deindividuasi ketika peserta didik, termasuk juga mahasiswa tatkala berada di tempat yang sama di waktu yang sama.  Kedua, jangan main paksa dengan dasar zona hijau. Pembagian zona itu sebenarnya hanya di atas kertas saja seperti warna-warna beda dalam peta sebuah pulau. Ada zona hijau, kuning, oranye, merah, dan hitam. Faktanya, tidak ada sekat yang mensterilkan daerah zona hijau dari penetrasi daerah lain, apalagi mobilitas penduduk yang memang sulit dikendalikan. Ketiga, jangan main paksa sebelum disiplin pribadi dan kolektif yakin tersiapkan. Nilai keselamatan itu sesuatu yang sangat berharga bagi semua orang, tetapi acapkali ada kondisi lain yang menyebabkannya terkalahkan. Misalnya, banyak kasus kecelakaan kendaraan umum terjadi karena penumpangnya melebihi kapasitas. Keselamatan berhubungan dengan sikap disiplin pribadi maupun kolektif. Diperlukan syarat ketat disiplin pribadi dan kolektif yang memberhasilkan keselamatan bersama.

Mematuhkan sesuai dengan protokol kesehatan WHO merupakan pekerjaan rumah yang tidak ringan ketika new normal pembelajaran diberlakukan. Satu dalih besar pembelajaran yang berbasis keselamatan adalah mengupayakan pembelajaran yang dapat memutus mata rantai penularan virus secara sungguh-sungguh, bukan setengah-setengah.

Mewujudkan keselamatan dalam pembelajaran memiliki sisi optimistis untuk tetap mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai dengan tuntutan keadaan. Ada sejumlah tantangan besar yang harus disiapkan semua pihak untuk memberhasilkannya. Persoalan tools untuk komunikasi daring, kuota, serta perangkat untuk memerdekakan publik dalam mengakses pembelajaran daring, tentu menjadi keniscayaan persoalan teknis.

Tetapi investasi termahal yang harus dihadirkan ternyata adalah mindset individu dan kolektif dalam mendisiplinkan perilaku keselamatan dalam kehidupan keseharian. Jangan ada hal-hal ironi dalam keselamatan belajar. Itu merupakan lubang-lubang kecil yang harus ditambal. Jika tidak, orientasi mewujudkan keselamatan belajar akan berlangsung bagai memompa ban bocor.( Agus Kristiyanto, Profesor Analisis Kebijakan Pembangunan Keolahragaan, Wakil Direktur Bidang Akademik Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta )