KITA semua amat sedih dengan kasus gagal ginjal akut yang terjadi sekarang ini. Keterangan resmi pemerintah sampai Senin (24/10) menyebutkan bahwa kasus gangguan ginjal akut progresif atipikal atau acute kidney injuries (AKI) pada anak di Tanah Air mencapai 245 kasus di 26 provinsi. Dari jumlah itu meninggal 141 anak (57,6%), tinggi dan tragis sekali.   Sirop obat Pada Rabu (19/10) Kementerian Kesehatan meminta apotek agar tidak menjual obat sirop sementara waktu, sambil penyelidikan dilakukan. Penentuan dan implementasi kebijakan itu cukup banyak dibicarakan publik. Sebagian pihak setuju hal itu dilakukan dalam kaitan kewaspadaan, kehati-hatian, dengan harapan untuk dapat mencegah korban berikutnya. Namun, sebagian pihak mempertanyakan dasar kebijakan tersebut. Alasannya, belum ada bukti ilmiah pasti yang menunjukkan hubungan sebab akibat antara obat sirop yang tercemar dengan kejadian gagal ginjal akut. Padahal, kebijakan harusnya berbasis bukti ilmiah, evidence-based policy. Selain itu, jenis dan merek obat sirop yang beredar resmi selama ini amat banyak. Mungkin tidak tepat kalau semua harus berhenti, padahal kita juga tahu bahwa sediaan obat dalam bentuk sirop merupakan jenis obat yang diakui secara ilmiah dan punya keunggulan tersendiri pula.

Dalam perkembangan sesudahnya sudah ada beberapa kali penjelasan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (POM) tentang obat-obat mana yang menunjukkan adanya kandungan cemaran etilena glikol (EG), dietilena glikol (DEG), dan etilena glikol butil eter (EGBE) yang melebihi ambang batas aman. Selain itu, secara berangsur dikeluarkan daftar obat mana yang aman dikonsumsi. Terhadap hasil uji sirop obat dengan kandungan EG dan DEG yang melebihi ambang batas aman, Badan POM telah melakukan tindak lanjut dengan memerin­tahkan kepada industri farmasi pemilik izin edar untuk melakukan penarikan sirop obat dari peredaran di seluruh Indonesia. Tentu semua pihak setuju dan amat mendukung kalau ada obat di negara kita yang cemarannya melebihi ambang batas harus segera ditarik dari peredaran. Itu demi keamanan rakyat kita. Namun, di sisi lain, ada juga pihak yang mempertanyakan bagaimana kadar EG dan DEG pada ribuan jenis obat sirop yang lainnya karena sejauh ini yang diperiksa ialah pada beberapa ratus sampel yang ada. Bahkan ada pula pertanyaan, kalau, toh, nanti semua obat sirop sudah diperiksa dan dinyatakan aman terhadap EG dan DEG, bagaimana terhadap pencemaran bahan lainnya, yang bukan tidak mungkin juga punya dampak berbahaya bagi manusia? Untuk itu semua, memang diperlukan komunikasi risiko yang sangat intensif, jelas, dan transparan. Hal itu diperuntukkan masyarakat menjadi lebih tenang menghadapi isu tentang obat sirop ini dan tahu keamanan dan risiko bahayanya.

Dari sudut praktis tentu akan baik sekali kalau ada informasi yang jelas dan terperinci dari 245 kasus yang ada. Termasuk juga tentang obat apa saja yang setiap anak itu konsumsi sebelum sakit. Data semua anak itu jadi penting karena kalau kesimpulan hanya diambil dari sebagian kecil dari 245 itu, bukan tidak mungkin terjadi bias. Juga, jumlah 245 anak merupakan angka yang masih mungkin diteliti mendalam satu per satu. Dengan demikian, kesimpulan penyebab menjadi lebih akurat dan penanggulangan menjadi lebih tepat.   Perlukah KLB? Dengan perkembangan kini, ada pendapat agar situasi sekarang ini dinyatakan sebagai kejadian luar biasa (KLB). Argumentasinya masalah kesehatan kita yang amat penting dengan ratusan korban. Disebutkan juga bahwa dengan menyatakan sebagai KLB, perhatian dan sumber daya dapat dikonsentrasikan lebih maksimal. Memang benar bahwa keadaan gagal ginjal akut sekarang ini merupakan masalah besar, amat serius, dan harus ditangani sangat intensif. Hanya saja, kita perlu mengetahui juga bahwa secara resmi kita mengenal dua jenis KLB yang tercantum dalam peraturan menteri kesehatan (permenkes). Pertama, KLB adalah timbulnya atau meningkatnya kejadian kesakitan dan/atau kematian yang bermakna secara epidemiologi pada suatu daerah dalam kurun waktu tertentu dan merupakan keadaan yang dapat menjurus pada terjadinya wabah.

Definisi itu jelas diperuntukkan penyakit menular. Sementara itu, kasus gagal ginjal akut sejauh ini belum jelas penyebab pastinya. Bahkan banyak yang cenderung menghubungkan dengan konsumsi obat tertentu sehingga tidak mengarah ke wabah. Kedua, KLB keracunan pangan, yaitu suatu kejadian dengan terdapat dua orang atau lebih menderita sakit dengan gejala yang sama atau hampir sama setelah mengonsumsi pangan. Berdasarkan analisis epidemiologi, pangan tersebut terbukti sebagai sumber keracunan. Kasus gagal ginjal akut yang terjadi sekarang ini juga belum ada dugaan ke arah keracunan pangan tertentu. Terlebih hal itu terjadi di 26 provinsi yang tentu sulit dilacak, apakah semua kasus terjadi sesudah memakan makanan yang sama atau obat yang tercemar yang sama. Karena itu, penggunaan istilah KLB pada kejadian AKI sekarang ini tampaknya mungkin tidak sejalan dengan dua pengertian di atas. Kecuali kalau kemudian dibuat peraturan tentang jenis KLB yang baru, atau digunakan istilah lain seperti kedaruratan kesehatan masyarakat misalnya. Namun, bagaimanapun atau apa pun istilah yang akan dipakai, situasi ini bukanlah hal yang biasa. Saat ini tergambar jelas situasi luar biasa dalam dunia kesehatan kita dan harus mendapat penanganan yang all-out. Semua pihak harus sepenuhnya mendukung aturan kebijakan dan sumber daya secara maksimal.Oleh: Tjandra Yoga Aditama Direktur Pascasarjana Universitas Yarsi, mantan Direktur WHO Asia Tenggara, mantan Dirjen P2P, mantan Kabalitbangkes.