SEJAK Pasal 31 UUD 1945 mengalami amendemen keempat dalam Sidang Tahunan MPR pada 1-11 Agustus 2002— dan amendemen keempat disahkan pada 10 Agustus 2002— pemerintah dan DPR menyepakati penambahan anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN dan APBD. Kesepakatan itu tertuang dalam Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), Bab XIII Pasal 36 ayat 2. Hal itu juga dikuatkan dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013/PUU-VI/2008. Pemerintah harus menyediakan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Alokasi anggaran diharapkan dapat memenuhi kebutuhan yang terkait dengan peningkatan kualitas pendidikan. Namun, laporan penelitian yang disponsori World Bank dengan metode survei di 27 kabupaten/kota yang tersebar di delapan provinsi— yang datanya dikumpulkan sejak Januari hingga Juni 2019— menunjukkan bahwa peningkatan alokasi anggaran pendidikan telah berkontribusi pada peningkatan akses ke pendidikan, tetapi hanya berkontribusi sedikit untuk meningkatkan hasil belajar siswa. (Rythia Afkar, Javier Luque, Shinsaku Nomura, Jeffery Marshall, Revealing How Indonesia’s Subnational Governments Spend Their Money on Education, The World Bank and Australian Government, 2020) Yang menarik lainnya dari laporan tersebut ialah alokasi dana pendidikan yang diklasifikasi dalam gaji, pelatihan guru, infrastruktur, alat dukung belajar, dan biaya operasional.

Ternyata pengeluaran terbesar adalah untuk gaji, yaitu rata-rata 77% kabupaten/kota mengalokasikan lebih dari 70% anggaran mereka untuk pembayaran pengeluaran terkait gaji. Dalam kasus ekstrem, 32 kabupaten menghabiskan lebih dari 90% anggaran mereka untuk gaji. (Afkar, Luque, Nomura, Marshall, 2020) Saya tidak ingin berasumsi bahwa kenaikan anggaran pendidikan sebesar 20% berkorelasi negatif terhadap peningkatan hasil belajar siswa (mutu siswa). Namun, satu hal yang pasti ialah tidak adanya ketentuan yang tegas mengenai alokasi penggunaan anggaran yang ditransfer ke rekening sekolah dalam bentuk bantuan operasional sekolah (BOS). Tidak dalam Permendikbud Nomor 6 Tahun 2021 tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan Dana Bantuan Operasional Sekolah Reguler apalagi dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas.

Pengalaman Sukma Rencana anggaran pendapatan dan belanja sekolah (RAPBS) di Sekolah Sukma Bangsa dirancang secara bersama-sama antara manajemen (kepala sekolah dan perang­katnya), guru, dan komite sekolah. RAPBS yang disusun harus memenuhi tiga prinsip, yaitu memudahkan, kordinatif, dan terperinci. Prinsip memudahkan perlu dikedepankan karena RAPBS seharusnya menjadi panduan yang memudahkan kepala sekolah untuk melihat sinergitas antar program dan antarlevel dalam struktur sekolah. Hal itu terkait dengan prinsip kedua, yaitu kordinatif. Harus ada kordinasi antarguru agar program yang sudah disepakati untuk dilaksanakan dapat berjalan dengan baik. Ketiga, ialah prinsip terperinci. Prinsip ini untuk memastikan setiap anggaran yang akan dikeluarkan sesuai dengan kebutuhan yang sudah direncanakan sehingga bisa berjalan dengan efektif dan efisien.

Dalam menyusun RAPBS, ada empat bracket program yang harus diperhatikan oleh guru, yaitu program pengembangan siswa (program utama), program pengembangan guru (program utama), program pengembangan manajemen (program utama), dan urusan umum (pendukung). Tahapannya adalah, pertama, guru harus memetakan seluruh kebutuhan yang berhubungan langsung dengan pengembangan pembelajaran siswa. Guru dan manajemen sekolah, pada tahap pertama ini berkonsentrasi untuk mengisi ragam kegiatan seperti proyek kelas, kunjungan sekolah, guru tamu, pengembangan keterampilan siswa, literasi, hari libur nasional, dan sebagainya. Berikutnya, kedua, manajemen sekolah dan guru memfokuskan diri untuk mengisi bracket program berikutnya, yaitu program pengembangan guru.

Program yang bisa dilakukan untuk mengem­bangkan kapasitas guru seperti guru meneliti, pengembangan kemampuan pedagogis, pengembangan kurikulum, mengembangkan baseline test untuk guru dan sebagainya. Ketiga, setelah program untuk pengembangan siswa dan guru terpenuhi, fokus berikutnya adalah pengembangan kapasitas manajemen dengan program yang ada dalam bracket program ketiga seperti pengembangan kurikulum, pengembangan kapasitas kepemimpinan, pengembnagan tim, pelatihan untuk konselor, pengembangan perpustakaan dan sebagainya. Setelah tiga bracket tersebut terpenuhi secara maksimal dan proporsional, barulah yang terakhir alokasi mata anggaran diproyeksikan untuk keranjang yang keempat, yaitu urusan umum yang berperan sebagai unit pendukung untuk menunjang seluruh program-program utama yang telah dirancang dan direncanakan pada bracket kesatu, kedua dan ketiga.

Baca Juga: Urgensi Regulasi Telemedicine dalam Pelayanan Kedokteran

Setelah semua program disetujui dan disahkan sebagai APBS, setiap guru tidak serta merta dapat melakukan kegiatan tersebut. Kegiatan hanya akan berjalan atau dapat dilaksanakan jika guru yang memiliki program membuat proposal kegiatan dan anggarannya. Kepala sekolah dapat memantau apakah kegiatan yang direncanakan sudah dilaksanakan atau belum. Proposal diperlukan sebagai acuan manajemen atau bendahara untuk mencairkan anggaran. Setelah anggaran dicairkan, guru harus segera melak­sanakan programnya dan membuat laporannya, setelah kegiatan tersebut selesai. Ada dua jenis laporan yang harus dibuat oleh guru, yaitu laporan penggunaan anggaran dan laporan substantif kegiatan. Laporan kegiatan ini harus ditulis secara reflektif. Penulisan laporan reflektif terhadap kegiatan juga menjadi keharusan bagi guru di Sukma. Laporan kegiatan tidak hanya berisi materi apa, jumlah murid yang ikut, tempatnya di mana, jam berapa dilakukan, berapa murid yang berpartisipasi aktif, kemudian ditambah foto-foto kegiatan. Melainkan laporan yang berisi refleksi guru terhadap dinamika yang terjadi dalam proses belajar mengajar, guru menjabarkan bagaimana siswa merespons kegiatan. Apakah semua siswa aktif berpartispasi? Atau hanya beberapa siswa saja? Kenapa hanya beberapa siswa saja? Selain itu, guru juga diminta untuk mengevaluasi secara mandiri proses tersebut.

Praktik di atas hanya praktik kecil sebagai ijtihad kami di Sekolah Sukma Bangsa yang berusaha mengelola anggaran secara sehat, transparan, akuntabel, dan demokratis. Berdasarkan penga­laman kami, praktik di tersebut selalu menye­lamatkan kami dari fraud ketika melaporkan anggaran yang kami gunakan. Kami meyakini kalau sekolah ingin sehat, pengelolaan ang­garannya harus sehat terlebih dahulu. Apakah APBS yang sehat akan berkorelasi positif terhadap peningkatan hasil belajar siswa (mutu siswa)? Saya tidak bisa memastikan itu. Namun, yang dapat saya pastikan adalah siswa dapat belajar lebih dinamis, tidak monoton, guru dan manajemen tidak stres dengan laporan keuangan yang tidak jelas. Wallahu a’lam bi al-shawab. Oleh: Mahyudin  Direktur Riset dan Publikasi Yayasan Sukma.