DEPO Pertamina di Plumpang yang terbakar menyebabkan puluhan rumah hancur dan setidaknya 20 orang meninggal dunia. Dalam dugaan awalnya, polisi menyebut gangguan teknis saat pengisian BBM sebagai penyebab kejadian. Alih-alih meminta Pertamina berbenah, beberapa pihak justru menyalahkan Anies Baswedan yang telah memberikan IMB kawasan kepada warga Tanah Merah. Padahal, kebijakan Anies memberikan IMB kawasan di Tanah Merah ialah wujud tanggung jawab konstitusional seorang kepala daerah dalam melayani warga negara tanpa kecuali.

Jejak sengketa di Tanah Merah LSM RUJAK membuat kronologi jejak sengketa Tanah Merah yang cukup komprehensif. Pada zaman kolonial Belanda di Tanah Merah sudah terdapat beberapa permukiman yang kebanyakan dihuni oleh etnik Belanda dan etnik Tionghoa, demikian catatan LSM RUJAK. Usai kemerdekaan, banyak di antara orang-orang etnik Belanda yang tinggal di sana pergi meninggalkan rumah mereka. Demikian juga di tahun 1965, ketika meletus peristiwa G-30/S PKI, banyak dari etnik Tionghoa yang pergi. Pada 1960, seorang bernama Rusman tercatat telah menggarap tanah seluas 2,5 ha di Tanah Merah. Demikian surat pernyataan yang ditulis oleh Samin pada tahun 1981, yang mengaku telah menggarap tanah milik dari Busro yang sebelumnya dibeli dari Rusman. Dengan demikian, kawasan Tanah Merah memang sudah lama menjadi kawasan permukiman warga. Ada jejak pembuktian, bahwa Tanah Merah memang sudah lama ditempati menjadi hunian warga pascaditinggalkan oleh para pemiliknya yang warga asing. Tercatat pada 1989, Lurah Tugu M Jusuf Said menerbitkan surat keterangan kepemilikan bangunan warga di Tanah Merah. Di sisi lain, pada 1969, Gubernur DKI Jakarta mengeluarkan surat izin penggunaan tanah kepada Pertamina.

Dengan surat Nomor Ad.7/4/29/69, Pertamina diberi izin membangun Depo seluas 14 Ha. Pada 1975, Pertamina mengajukan HGB kepada Kemendagri dan dikabulkan. Pertamina mendapatkan HGB selama 20 tahun atas bidang tanah seluas 156 ha di Kelurahan Rawabadak, Kelapa Gading dan Kecamatan Koja. Namun, karena hingga lewat batas waktu persyaratan yang diberikan tak dipenuhi, maka menurut RUJAK, surat keputusan Mendagri untuk memberikan HGB tersebut batal dengan sendirinya. Dari sanalah mulai muncul sengketa tanah antara warga penghuni di Tanah Merah dan Pertamina. Pertamina menginginkan agar warga dipindahkan dari kawasan, sementara warga ingin tetap tinggal dan mendapatkan kepastian hak atas tanah di tanah yang mereka tinggali. Pemda DKI di sisi lain berdiri di tengah, berperan sebagai wasit yang seharusnya bersikap netral tidak berpihak. Pada tahun1990, Wali Kota Jakarta Utara membentuk Tim Penyelesaian Tanah Pertamina di Kelurahan Rawabadak, Tugu Selatan, dan Kelapa Gading.

Pada tahun 1990-an itu, beberapa kali Wali Kota Jakarta Utara berusaha melakukan penertiban dan menggusur warga dengan menerbitkan surat perintah bongkar atas bangunan rumah milik warga penggarap. Warga Tanah Merah melawan dengan berbagai cara; mengirim surat permohonan perlindungan kepada Presiden, kepada DPR RI, serta kepada Komnas HAM. Warga Tanah Merah juga melawan di meja hijau dengan mengajukan gugatan ke PTUN untuk membatalkan surat perintah bongkar dari Wali Kota, dan surat pengukuhan pesangon oleh Pertaminda. Upaya perlawanan di pengadilan dimenangkan oleh warga.

Pada 31 Januari 1992, PTUN Jakarta memerin­tahkan Wali Kota Jakarta Utara untuk menang­guhkan/ menunda pembongkaran bangunan rumah yang dihuni warga penggarap. Sampai kini, sengketa agraria antara warga penggarap di Tanah Merah dan Pertamina masih belum tuntas.   Kontrak politik, sarana warga menuntut hak Konstitusi mengamatkan, agar pemerintah negara Indonesia melindungi segenap bangsa Indonesia, dan menyelenggarakan kesejahteraan umum. Hak warga negara atas layanan dasar ini juga secara universal dijamin dalam konvenan hak ekonomi sosial budaya. Setiap orang berhak mendapatkan layanan dasar atas hak atas perumahan, pendidi­kan, hak atas standar hidup layak, hak kesehatan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan budaya.

Baca Juga: Media Sosial dan Tindak Kekerasan Remaja

Atas perintah konstitusi, aparat pemerintah memiliki kewajiban melayani warga negara di mana pun mereka berada. Sayangnya, warga negara yang tinggal di tanah sengketa tak mendapatkan hak-hak mereka. Sebabnya, meraka tak memiliki KTP dan surat-surat kependudukan lainnya yang membuat mereka tak bisa mengakses sarana pendidikan, tak bisa mendapat layanan kesehatan, tak mendapat akses atas listrik dan air, tak mendapatkan lingkungan perumahan yang layak. Karena alasan legalitas ini pula, Pemerintah tak bisa memberi segala macam layanan subsidi dan bantuan sosial yang biasanya diberikan kepada warga miskin. Tak mendapatkan hak-hak atas layanan publik, warga Tanah Merah mengorganisasi diri. Mereka membangun kesadaran lalu melakukan advokasi memperjuangkan hak mereka sebagai warga negara. Untungnya Indonesia menganut sistem demokrasi. Ada pemilihan umum yang menjadi sarana bagi warga negara untuk memilih pemimpin yang mau memperjuangkan kepentingan mereka. Itulah persisnya yang dilakukan warga Tanah Merah dalam setiap pemilihan kepala daerah.

Mereka mendesakkan kontrak politik kepada calon Gubernur DKI Jakarta agar mau memperjuangkan hak-hak warga di Tanah Merah. Pada tahun 2012, mereka melakukan kontrak politik dengan Joko Widodo, yang setelah menjadi gubernur lalu menerbitkan KTP dan membentuk RT/ RW agar warga dapat mengakses layanan publik dasar. Demikian juga pada tahun 2017, warga Tanah Merah melakukan kontrak politik dengan Anies Baswedan yang kemudian menerbitkan IMB kawasan agar warga dapat mengakses layanan publik yang lebih luas.

IMB kawasan, upaya Pemprov DKI penuhi hak dasar warga Air merupakan hak dasar warga negara. Namun, untuk mendapatkan layanan air bersih dari PDAM warga harus memiliki sejumlah syarat, yaitu KTP, bukti kepemilikan atas tanah dan bukti pembayaran pajak tanah. Tentu saja, warga yang tinggal di tanah sengketa tidak akan dapat memenuhi persyaratan yang ditentukan. Demikian pula, pemerintah daerah tidak akan dapat mem­berikan layanan publik — seperti perbaikan jalan, perbaikan saluran air, pengelolaan sampah, layanan sanitasi publik — di kawasan yang tidak memiliki kejelasan hak atas tanahnya, apakah aset privat atau aset publik.

Layanan publik semacam itu, hanya bisa dilakukan di lahan yang merupakan aset publik. Demikianlah, puluhan tahun warga Tanah Merah tidak men­dapatkan layanan publik yang layak akibat terganjal oleh status tanah sengketa. Lebih jauh, jika tanah sengketa dibiarkan kumuh tak terurus, sebenarnya yang dirugikan bukan hanya warga yang tinggal di sana. Namun, warga kota secara menyeluruh. Lingkungan yang kumuh, dapat menjadi sumber masalah kese­hatan yang dapat menjadi masa­lah bagi seluruh warga kota. Kesadaran ini, ditambah dengan keinginan untuk menjalankan amanat konsitusi membuat Gubernur Anies Baswedan membuat terobosan menerbitkan IMB Kawasan. Pemberian IMB kawasan merupakan jalan terbaik untuk memberikan legalitas terhadap hak bermukim warga, tanpa mengutak atik status kepemilikan atas tanah itu sendiri. Dualisme seperti ini amat dimungkinkan, karena hukum agraria Indonesia menganut prinsip pemisahan horizontal, yang memisahkan tanah dengan benda-benda yang melekat di atasnya. Itulah yang dilakukan Anies di Tanah Merah dengan menerbitkan IMB kawasan bagi RT/RW, agar warga bisa menda­pat akses layanan publik seperti air bersih, sanitasi, perbaikan jalan dll sehingga meraka dapat hidup dengan lebih layak. Cara ini juga memungkinkan pemerintah dapat bekerja lebih efektif dalam menata kawasan dengan meng­gunakan dana APBD atau APBN.

IMB Kawasan memiliki landas­an hukum yang kuat. IMB kawa­san diterbitkan dengan mengacu pada sejumlah aturan perundang-undangan, yaitu Perda No 7 Tahun 2010 tentang Bangunan Gedung, Pergub DKI Nomor 118 Tahun 2020 tentang Izin Pemanfaatan Ruang dan Pergub DKI Nomor 31 Tahun 2022 tentang Rencana Detail Tata Ruang). IMB kawasan diterbitkan bersifat sementara yang bisa diperpan­jang kembali, sembari menunggu proses konflik agrasianya dise­lesaikan oleh pengadilan. Jangan­kan terhadap tanah yang status haknya belum jelas seperti Tanah Merah, selama ini pemerintah juga lazim meminjamkan untuk/ kerja sama bisnis dengan korporasi besar atas lahan yang secara legal mereka miliki. Praktik meminjamkan lahan seperti ini biasa dilakukan oleh institusi negara untuk korporasi besar di bidang perkebunan dan pertambangan.

Di Jakarta misalnya, lahan milik Setneg dipinjamkan untuk Mall SPARK/Taman Ria, demi­kian juga lahan milik Pemprov DKI dikerjasamakan dengan korporasi menjadi hotel Luwansa atau Pasaraya Kuningan. Jika lahan milik negara bisa dipinjamkan/ dikerjasamakan dengan korporasi besar, lalu kenapa tidak boleh tanah milik negara juga dipin­jamkan bagi rakyat kecil? Pada titik inilah keberpihakan seorang kepala daerah diuji. Apakah hanya berpihak pada korporasi besar, atau mampu tegak bersi­kap adil dengan juga tetap melindungi warga miskin yang terpinggirkan. Kebijakan Anies Baswedan memberikan IMB Kawasan di Tanah Merah adalah wujud tanggung jawab kons­titusional beliau sebagai Gu­bernur dalam melayani warga negara negara tanpa kecuali. Oleh: Tatak Ujiyati Lawyer Tim Gubernur DKI Jakarta 2017 – 2022.  (web)