TIDAK mudah memahami apa yang ada dalam benak seorang Jokowi sebagai Presiden, ketika pertanyaan tentang Pendidikan, Kebudayaan, dan Riset & Tekno­logi menjadi subyek perenungan perjalanan bangsa ini ke depan. Sampai kemarin, saya masih mencoba mereka kebijakan apa, pemahaman apa, dan capaian apa yang beliau harapkan ketika masalah pendidikan dan kebudayaan yang begitu sangat dan teramat penting bagi masa depan bangsa Indonesia terkesan cenderung disepelekan.

Pertanyaan ini berkaitan dengan langkah beliau sebagai Presiden yang memiliki hak prerogatif me­nunjuk para pembantunya, secara berani menyerahkan sejumlah subyek kementerian yang sangat vital dan super strategis bagi masa depan bangsa ini kepada seseorang yang banyak mengundang pertanyaan. Dari rekam jejaknya saja sudah sangat mudah terbaca bahwa seorang Nadiem Makarim tergolong sosok yang masih harus belajar sangat banyak untuk memahami seluk beluk pendidikan dan kebudayaan di Indonesia-Nusantara ini.

Andai saja sejak ditunjuknya Nadiem sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan geliat pendidikan dan kebudayaan terasakan kehadirannya bergerak ke arah yang memberi nilai tambah positif, tentu tulisan ini menjadi terlalu mengada.

Secara garis besar, saya sengaja mengenyampingkan masalah teknis dan tetek-bengek sepak terjang kinerja sang menteri, satu kesim­pulan yang dapat ditarik bahwa faktor pengalaman dan kematangan lapangan ternyata sangat diperlukan. Merasakan asam garamnya segala ragam masalah dan persoalan dalam dunia pendidikan dan kebudayaan yang begitu luas dan multi dimensi, seharusnya telah terkunyah dan dikunyah selama perjalanan hidup seseorang yang menangani dunia pendidikan dan apalagi KEBUDAYAAN!

Mengapa seorang Ki Hajar Dewantara bisa meru­muskan tiga tonggak pilar budaya institusi pendidikan untuk negerinya; Ing Ngarso Sun Tulodho (di depan, para pemimpin dalam kaitan pendidikan adalah Guru, harus mampu tampil memberi suri tauladan dengan moral dan ahlak yang baik; Ing Madyo Mangun Karso (di wilayah kinerja (tengah) harus mampu memberi bimbi­ngan dan tuntunan yang baik; Tut Wuri Handa­yani, harus senantiasa memberi dorongan (dari belakang) agar yang dibina dan dibimbing berkembang dengan baik, berada di jalan yang lurus dan benar. Tentunya rumusan ini hadir dari seorang budayawan pemikir pendidikan yang merupakan hasil dari rekaman panjang perjalanan hidupnya menggeluti dunia pendidikan dan sejarah panjang perjalanan bangsanya. Tidak datang ‘ujug’ begitu saja atau hasil ngendon di kampus hebat di luar negeri dan pulang dengan hanya berbekal secarik kertas ijazah dengan stempel ‘PhD’ sekalipun.

Baca Juga: Imperialisme Hoaks Masa Pandemi

Begitu juga ketika Bung Karno meletakkan asas kehidupan dan etos kerja masyarakat bangsa Indonesia dengan menjadikan Gotong Royong sebagai pijakan nilai kebudayaan bangsa. Rumusan ini tentunya lahir lewat perenungan panjang dan hasil perjalanan empi­riknya bergumul dalam deru dan debunya perjuangan rakyat Indonesia hingga mencapai Kemerdekaannya 17 Agustus 1945. Lahir dari seorang Bung Karno seba­gai Bapak Bangsa yang ingin menyatukan bangsanya-yang multi kultural, multi etnis, multi ras, multi agama dan multi masalah, agar hidup rukun saling bahu membahu yang hanya mungkin dilakukan dan diwujudkan lewat semangat Gotong Royong.

Nah, agaknya saya khawatir, kegandrungan memuja semangat ‘millenialisme’ telah menghilangkan sejumlah catatan penting perjalanan sejarah dan kebudayaan bangsa. Akibatnya, hari ini kita seperti diasingkan oleh ulah kita sendiri sehingga menjadi gagap untuk mengatakan dengan pasti; apa, siapa, mau apa, dan untuk apa kita hidup?! Tentunya hidup sebagai bangsa merdeka yang memiliki cita-cita dan kehendak kebudayaandengan karakter dan kepribadian sebagai­mana arahan-amanat yang jelas tersurat dan tersirat dalam Mukadimah UUD’45.

Oleh karenanya, sangat memprihatinkan menyaksi­kan, merasakan dan mendapatkan kenyataan bahwa dunia pendidikan dan kebudayaan kita hari ini meling­kar dan berputar di tempat tanpa kejelasan arah dan tujuan. Hasil penilaian yang saya bisa simpulkan: kehen­dak menuju Timur, langkah yang diarahkan para pemimpin koq bergerak dan berjalan bahkan lari malah ke arah Barat. Harapannya berlabuh di pantai Selatan, kapal malah berlayar ke Utara menuju pelabuhan yang dingin dan dipenuhi salju sehingga membuat kita beku dan rawan terjangkit batuk pilek. Tapi anehnya, masih ada saja pemimpin kita hari ini yang berseru lantang dan bangga. Kita sudah berjalan di trek yang benar (We are already in the right track!). Maksudnya???

Dalam kaitan pendidikan; bagaimana tugas men­cerdaskan bangsa bisa dilakukan dan dibangun bila budaya kehidupan yang cerdas dan mencerdaskan masyarakat bangsa ini semaikin kehilangan ruang kehidupannya.

Budaya, arah, dan tujuan pendidikan, berada dalam ketidakjelasan. Bagaimana bila kesem­patan untuk pandai dan berilmu hanya dimungkinkan bagi mereka yang mampu dan berkemampuan prima. Bahkan seorang pegawai negeri dengan eselon terting­gi pun tak mungkin sanggup menyekolahkan lebih dari satu anaknya ke perguruan tinggi yang prima jika hanya mengandalkan gaji pokok murninya. Apalagi yang di bawahnya dan di lapisan pegawai negeri paling bawah yang tergolong sebagai kumpulan manusia paling banyak, mayoritas penduduk negeri ini!

Bagaimana kualitas kebudayaan kita akan naik kelas bila pendidikan yang menjadi salah satu kunci terpenting berjalan seiring dengan desparitas kaya-miskin yang semakin melebar? Gontokan mudah terjadi, diciptakan, atau terjadi oleh kebijakan yang cenderung memenangkan kepentingan politik kekuasaan sesaat. Rakyat yang kurang pendidikan dan pemimpin yang kurang berkebudayaan prima, akan sangat mudah terjerumus dalam pengentalan kubu politik 1 dan 2, atau ‘Cebong’ dan ‘Kadrun’. Karenanya jangan heran bahwa kondisi miris dengan realita masyarakat bangsa ini terbelah dua, terus dibiarkan dan cenderung dipelihara.

Jangan heran juga di masa pandemik yang membuat kehidupan rakyat kebanyakan dalam penderitaan yang luar biasa, ada pejabat yang masih saja tega melakukan kejahatan luar biasa alias korupsi.

Tidak mengherankan juga bila banyak orang berada dan bahkan super kaya, enggan berbagi meringankan penderitaan masyarakat bangsanya yang hidup di ujung tanduk kematian. Bahkan mereka malah tega mengeruk keuntungan dari peristiwa kemanusiaan yang memprihatinkan ini.

Yah keamburadulan nilai yang terjadi belakangan ini, semuanya adalah masalah yang berawal dari masalah pendidikan dan kebudayaan yang salah arah! Dan akan salah arah bila nilai buruk dilimpahkan hanya kepada seorang Nadiem Makarim, anak baik, wakil milenial yang hanya menjalankan tugas yang secara nekad telah diterimanya dari Bapak Presiden Jokowi. Lebih mengundang ribuan kepala bergeleng ketika di pundak Nadiem ditambah lagi tugas memimpin kementerian Riset & Teknologi. Sebuah kementerian yang oleh negara maju dijadikan kementerian masa depan yang akan menentukan tinggi rendahnya nilai peradaban bangsanya di masa depan.

Dengan realita ini, apa salah bila saya kemudian menjadi sangat ingin mengetahui apa yang ada dalam benak Pak Jokowi sehubungan dengan pengetahuan, rasa hormat dan sejauh manakah pentingnya dunia Pendidikan, Kebudayaan, dan Riset& Teknologi bagi seorang Jokowi? Andai saja seorang Nadiem diberi tanggung jawab sebagai Menteri Perdagangan, atau Menteri Pemuda dan Olahraga, atau Menteri UKM, pertanyaan di atas tentu tidak perlu muncul membebani pikiran.

Dengan menyatakan hal ini sama sekali saya tidak menganggap Nadiem seorang pemuda yang tidak potensial. Justru Nadiem adalah menjadi salah satu pemuda kebanggaan yang dimiliki bangsa ini. Hanya saja kebangeten kalo ada yang menugaskan seorang militer dengan prestasi sangat gemilang sekali pun, ditugasi untuk mampu menjadi penari balet yang prima dalam waktu sangat terbatas. Apalagi tidak ada waktu untuk belajar karena yang harus dilakukan langsung naik panggung dan sukses menguasai panggung dengan suguhan tarinya yang memukau!

Segeralah insaf sejarah dan budaya, mungkin merupakan salah satu jalan pendidikan yang baik untuk menjadikan para pemimpin dapat mampu menerjemahkan dan melaksanakan amanat pembukaan UUD ’45 dalam sepak terjang kinerjanya. Ing Ngarso Sun Tulodho, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani! (Budayawan)