ULAH atau kelakuan remaja dewasa ini makin sulit dinalar. Tindak kekerasan yang dilakukan sejumlah remaja cenderung makin meresahkan. Seperti diberitakan media massa, tindakan sejumlah remaja yang melakukan kekerasan tidak hanya membuat korban terluka, tetapi juga menyebabkan korban meninggal dunia (Media Indonesia, 13 Maret 2023). Di Bogor, Arya Saputra, seorang siswa SMK, dilaporkan tewas dengan cara yang teramat tragis. Ketika menunggu lampu merah untuk menyeberang di jalan raya Jakarta-Bogor, tiba-tiba ada sepeda motor yang dinaiki tiga remaja melakukan aksi brutal. Salah seorang dari tiga remaja itu tanpa ada sebab menyabetkan pedang ke leher korban hingga akhirnya korban tak tertolong lagi meski sempat dibawa ke rumah sakit. Sementara itu, di Sukabumi, kasus yang sama juga terjadi. Segerombolan remaja setelah berkegiatan di Pelabuhan Ratu, mereka berkonvoi mencari lawan. Karena tidak menemui lawan yang diinginkan, seorang siswa sekolah dasar yang sedang ada di jalan dan kebetulan lewat akhirnya dijadikan sasaran tindak kekerasan sehingga korban pun akhirnya tewas tanpa tahu apa kesalahannya.

Daftar terjadinya tindak kekerasan yang dilakukan remaja yang makin sadis dapat terus diperpanjang. Di Yogyakarta, misalnya, ada aksi klithih yang kerap memakan korban jiwa. Di berbagai daerah lain, tindak kekerasan yang dilakukan remaja juga ada indikasi makin meresahkan masyarakat. Dibandingkan sekadar aksi kenakalan remaja, apa yang terjadi dalam dua-tiga tahun terakhir memperlihatkan perubahan cara berpikir dan cara remaja menyelesaikan persoalan dengan eksistensi diri. Mereka seolah menjadi sosok yang sama sekali tidak pernah mengenal nilai dan norma. Melakukan aksi yang keji dan kejam tanpa ada rasa bersalah sedikit pun.   Media sosial Faktor pemicu dan yang melatarbelakangi remaja melakukan tindakan keji membunuh remaja lain tentu sangat kompleks. Lebih dari sekadar salah sosialisasi atau akibat dari keluarga broken home, aksi jahat yang dilakukan sejumlah remaja di berbagai daerah tampaknya dilatarbelakangi perkembangan media sosial yang makin marak (Cohen, 1955; Williams, 2011). Ketika remaja memiliki kesempatan untuk mengakses berbagai informasi yang ada di dunia maya, ternyata tidak semua informasi itu positif bagi perkembangan kepribadian dan karakteristik sosial-psikologis remaja. Akses generasi internet yang begitu bebas pada media sosial menyebabkan remaja pada akhirnya rentan terpapar hal-hal yang mestinya bisa dibatasi. Pertama, pengalaman telah banyak membuktikan bahwa di kalangan remaja media sosial menjadi rujukan, tempat untuk belajar, dan sekaligus ruang yang memungkinkan banyak remaja terpapar berbagai pengaruh negatif konten media sosial. Berbeda dengan konten televisi yang sudah lebih terseleksi, konten informasi yang tersebar di dunia maya umumnya sangat bebas, terbuka, dan tanpa sensor. Artinya, dengan berbekal pulsa dan gadget, remaja sesungguhnya memiliki akses untuk melihat informasi apa pun, dari cyber pornogafi, tindak kekerasan, hingga pengaruh radikalisme.

Bagi remaja yang sedang dalam masa cenderung ingin tahu terhadap berbagai hal, bukan tidak mungkin mereka kemudian akan terpengaruh pada apa yang mereka akses. Berbeda dengan televisi, tindak kekerasan yang ditayangkan telah diseleksi dan jumlahnya pun tidak banyak. Di era masyarakat digital seperti sekarang, unggah konten kekerasan di media sosial sama sekali tanpa batas. Remaja yang setiap jam, bahkan setiap detik dijejali dengan konten-konten kekerasan, jangan heran jika kemudian terpengaruh dan melakukan hal yang sama. Banyak kasus membuktikan, remaja yang secara psikologis belum matang, mereka lebih berpeluang mengembangkan perilaku imitatif daripada mencerna secara lebih substansial apa yang mereka akses. Ketika yang mereka akses ialah konten kekerasan, cepat atau lambat hal itu akan menjadi preferensi bagi mereka sebagai sebuah cara bertindak, dari gim yang mengajarkan kekerasan hingga tayangan yang sadis. Itu semua membuat sebagian remaja akhirnya terpengaruh. Kedua, ketika media sosial diakses dan berkem­bang menjadi sarana remaja untuk mengekspre­si­kan identitas sosialnya. Lebih dari sekadar mene­lusur informasi yang dibutuhkan atau diinginkan, media sosial tidak jarang justru berubah fungsi menjadi media bagi remaja untuk memperlihatkan keberadaan dan keakuannya.

Sama seperti orang dewasa yang ingin eksis dengan cara memperlihatkan aktivitas dan gaya hidupnya di media sosial, remaja umumnya juga cenderung mengekspresikan identitas dan keberadaan mereka melalui media sosial. Mereka tidak hanya mengunggah aktivitas seperti apa makanan yang sedang dikonsumsi atau sedang bertamasya ke mana, sebagian remaja tidak jarang mencoba memperlihatkan eksistensi dengan cara mengunggah tindakan mereka yang menyerempet bahaya, bahkan yang melanggar hukum.

Ada semacam kebanggaan di kalangan remaja tertentu, ketika mereka mengekspos kelakuan mereka yang sedang memukuli orang lain, melakukan tindak kekerasan, bahkan tindak kriminal. Dengan cara itulah mereka ingin memperlihatkan diri sekaligus meminta pengakuan kelompok mereka. Bagi remaja kelompok itu, makin berani dan nekat tindakan yang mereka lakukan, makin diseganilah mereka di mata anggota kelompoknya yang lain. Melakukan tindak kekerasan sering kali menjadi bagian dari proses inisiasi mereka untuk dapat diterima dan diakui kepemimpinannya.

Baca Juga: Pemerolehan Bahasa Pada Anak Usia Dini

Bermula dari perundungan Di kalangan remaja, memang tidak selalu mereka langsung terlibat dalam kekerasan yang keji dan kejam. Tidak semua remaja tiba-tiba berubah menjadi pembunuh berdarah dingin, yang sambil tertawa menyabetkan pedang ke leher lawan untuk membunuhnya. Biasanya, kekerasan yang dilakukan segerombolan remaja dimulai dari kasus bullying yang terjadi di media sosial (Gastic, 2008).

Sudah bukan rahasia lagi, perilaku tawuran atau perkelahian antarkelompok remaja dimulai dari saling ejek dan tantangan di media sosial. Kelompok remaja yang merasa menjadi korban perun­dungan alih-alih takut dan menarik diri, dalam kenyataan mereka justru membalas tindak perundungan yang dilakukan remaja lawan dengan aksi yang tak kalah keras. Konflik yang terjadi di media sosial, bagi remaja ialah ajang pertaruhan gengsi dan reputasi mereka di hadapan remaja lain. Tak hanya caci maki dan saling rundung di media sosial, remaja yang harga dirinya tidak ingin jatuh, mereka tak jarang melanjutkan konflik itu di dunia nyata: tawuran atau melakukan tindak kekerasan yang membahayakan nyawa remaja lain. Bagi remaja, keberanian membacok korban, keberanian melukai, dan bahkan membunuh korban menjadi saran untuk membuktikan keakuan mereka.

Untuk membangun cara pan­dang remaja yang lebih positif menyikapi media sosial, di sini peran keluarga, orangtua dan sekolah, serta peer-group sangat­lah penting. Mengubah konstruksi sosial remaja soal keakuan dan identitas sosialnya, yang dibu­tuhkan bukan hanya literasi informasi dan literasi kritis re­maja, melainkan juga pengawas­an dari lingkungan sosial terde­katnya.

Media sosial memang me­nawarkan kemudahan sebagai sarana berkomunikasi. Namun, ketika media sosial menjadi tempat remaja berkontestasi, jangan heran jika ujung-ujungnya malah berdampak kontrapro­duktif. Pada titik itulah keterli­batan orangtua dan keluarga serta lingkungan sosial menjadi kunci solusi. Oleh: Rahma Sugihartati Guru Besar Sains Informasi FISIP Universitas Airlangga (web)