AMBON, Siwalimanews – Dewan Pimpinan Wilayah  LSM Lumbung Informasi Rakyat Maluku, Selasa (13/4) melaporkan kasus du­gaan korupsi proyek jalan Lama­hang Rana, Kabupaten Buru milik Dinas Pekerjaan Umum ke Kejati Maluku.

Dalam pelaksanaan proyek jalan yang menghubungkan desa-desa  yang terisolir di sepanjang pesisir Kecamatan Waplau hingga ke Danau Rana, dijumpai praktek-praktek yang tidak sesuai dengan isi kontrak, jadwal pelaksanaan maupun anggaran yang disedia­kan. Akibatnya diduga telah terjadi penyalahgunaan anggaran yang berujung pada tindak pidana korupsi.

Gubernur LSM Lumbung In­formasi Rakyat (LIRA) Maluku, Yan Sariwating dalam rilisnya kepada Siwalima  menyebutkan, dalam APBD 2018, Dinas PUPR Buru menganggar kan belanja modal sebesar Rp. 295,9 miliar dengan realisasi sebesar Rp. 262,1 miliar.

Dari realisasi sebesar Rp. 262,1 miliar tersebut sebagian diantaranya yaitu, Rp. 19,050.000.000 dianggar­kan untuk proyek jalan Lamahang-Rana.

Pekerjaan dimulai tanggal 16 Juli dan harus selesai 13 Desember 2018 sesuai kontrak 150 hari kalender. Namun dengan alasan sulitnya bahan material & tingginya curah hujan, perusahaan minta adendum dan jangka waktu ditambah menjadi 90 hari. Walaupun jangka waktu adendum sudah berakhir di bulan Maret 2019, namun oleh konsultan pengawas proyek ini baru dikerjakan  sekitar 60 persen, atau setara dengan dana sebesar Rp. 12 miliar dari total nilai pekerjaan Rp. 19 miliar.

Baca Juga: Selingkuh Dokter & Oknum Brimob Berujung Proses Hukum

Pekerjaan dimulai tanggal 16 Juli dan harus selesai 13 Desember 2018 sesuai kontrak 150 hari kalender. Na­mun dengan alasan sulitnya bahan material & tingginya curah hujan, perusahaan minta adendum dan jangka waktu ditambah menjadi 90 hari. Walaupun jangka waktu adendum sudah berakhir di bulan Maret 2019, namun oleh konsultan pngawas proyek ini baru dikerjakan  sekitar 60 persen, atau setara dengan dana sebesar Rp. 12 miliar dari total nilai pekerjaan Rp. 19 miliar.

Herannya walaupun proyek ini dikerjakan hanya 60 persen, namun sudah dibayar lunas 100 persen yaitu Rp.19 Miliar.  Ada empat termin atau  tahap dalam melakukan pembayaran kepada perusahaan. Termin pertama dibayar Rp. 3.810.000.000,- tangggal 30 Juli 2018 sebagai uang muka.

“Artinya baru 2 minggu setelah kontrak ditanda tangani dan belum ada kegiatan apapun, namun perusahaan sudah dibayar sebesar itu,” cetus Sariwating.

Selanjutnya, termin kedua dibayar Rp. 3.810.000.000,- tanggal 21 Desember 2018,  ketiga dibayar Rp. 3.810.000.000,- tanggal 06 Agustus 2019. Termin keempat dibayar Rp. 6.667.500.000,- tanggal 11 Maret 2020 dan termin kelima dibayar Rp. 952.500.000,- tanggal 3 April 2020.

Melihat kenyataan yang terjadi ungkap Sariwating, dengan hasil yang di sampaikan oleh konsultan pengawas, maka seyogianya, peru­sahaan atau kontraktor tidak berhak untuk menerima seluruh dana yang tertera dalam kontrak.

“Diduga ada tangan-tangan silu­man yang telah merekayasa proyek ini untuk kepentingan pribadi maupun kelompok dan korporasi. Ada dana sebesar Rp. 7 miliar yang didapatkan dari Rp.19 miliar kurang Rp 12 miliar yang diduga menguap akibat  proses pembayaran yang melebihi pekerjaan di lapangan,” ujarnya.

Menurut Sariwating hal tersebut disebabkan karena Kadis dan PPK lalai dalam melakukan pengawasan di lapangan.

Selain melaporkan ke Kejati Ma­luku, laporan tersebut tembusannya disam­paikan kepada Jaksa Agung RI di Jakarta, Jaksa Agung Muda Pi­dana Khusus (Jampidsus) di Jakarta, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta (untuk diketahui), Asintel, Aspidus Kejati Maluku dan Presiden LIRA Indonesia di Jakarta. (S-19)