AMBON, Siwalimanews – Penyidik KPK intens mengusut kasus dugaan tindak pidana korupsi pemberian hadiah, serta tindak pidana pencucian uang, mantan Bupati Buru Selatan Tagop Sudarsono Soulissa.

Pasca ditetapkan bupati dua periode ini sebagai tersangka korupsi kasus pengadaan barang dan jasa di Kabupaten Buru Selatan sejak tahun 2011-2016 pada 26 Januari lalu, lembaga anti rasuah ini bergerak cepat dengan menyita sejumlah aset milik Tagop.

Adapun aset mewah milik Tagop yang disita diantara­nya, rumah dan apartemen yang berada di luar Provinsi Maluku, bangunan kos-ko­san yang terletak di Kam­pung Maruga, Kota Tanggerang Selatan. Serta dua unit mobil di Kota Ambon dengan sejumlah uang.

Juru Bicara KPK, Ali Fikri yang dikonfirmasi Siwalima, membenar­kan penyidik KPK telah melakukan penyitaan rumah dan apartemen milik Tagop.

“Benar sudah disita,” jelas sing­kat jubir kepada Siwalima melalui pesan WhatsApp, Selasa (8/1).

Baca Juga: MCW: Kajari Perlu Baca  UU Tipikor

Namun begitu, ia enggan menye­butkan lokasi mana saja yang telah disita lembaga anti rasuah itu.

Sumber Siwalima di lingkungan KPK menyebutkan, apartemen Ta­gop yang terletak di kawasan Jalan Gajah Mada, Jakarta Barat telah disita.

KPK, ujar sumber itu juga tengah me­nelusuri aset Tagop lainnya, berupa satu unit apartemen yang terletak di daerah Jakarta Pusat. Kuat dugaan, Tagop menyamarkan nama pemilik apartemen tersebut dengan nama orang lain.

“Semuanya lagi ditelusuri,” ujar sumber yang tak mau namanya dikorankan, Selasa (8/1) siang.

Selain itu, bangunan dan kos-kosan milik mantan Bupati Bursel dua periode itu yang terletak di Kampung Maruga, RT 03/RW 04, Serus, Ciputat, Kota Tangerang Selatan, diatas lahan seluas 1,001 meter yang pernah disegel Satpol PP Tangsel juga ikut disita KPK.

Informasinya Pemkot Tangsel pernah menyegel bangunan dan kos-kosan milik Tagop tersebut karena tidak adanya izin mendirikan bangunan yang terpasang. Kos-kosan itu jumlahnya mencapai 36 pintu dengan akses tertutup dan eksklusif.

Penggeledahan

Selain di luar wilayah Provinsi Maluku, KPK juga menyita dua unit mobil milik Tagop saat melakukan pengeledehan di rumah Tagop di Ambon, yang terletak di Jalan Su­matera, kawasan Gadihu. Fokus lembaga anti rasuah itu adalah semasa Tagop menjabat, sejak tahun 2011 hingga 2016.

Setelah menetapkan Bupati Bursel dua periode itu sebagai tersangka bersama Johny Rynhard Kasman, serta Ivana Kwelju, tim KPK kembali melakukan aksinya dengan meng­geledah rumah Tagop yang terletak di Kompleks Gadihu, Jalan Su­matera, Desa Batu Merah, Keca­matan Sirimau.

“Tim penyidik pada Senin (31/1) telah melakukan upaya paksa pe­nggeledahan di beberapa lokasi di wilayah Kota Ambon, Maluku. Lo­kasi dimaksud yaitu rumah kediaman pribadi tersangka TSS di Ambon,” jelas juru bicara KPK, Ali Fikri kepada Siwalima melalui pesan WhatsApp, Selasa (1/2).

Dalam pengeledahan tersebut, lanjut jubir KPK, tim menyita 2 unit mobil milik Tagop dan sejumlah dan bukti sejumlah aliran dana yang diduga dinikmati Tagop.

“Ditemukan dan diamankan berbagai bukti diduga terkait perkara diantaranya, 2 unit mobil, dokumen-dokumen terkait aliran sejumlah uang yang diduga dinikmati oleh Tsk TSS dkk,” katanya.

Dia menambahkan, bukti-bukti tersebut akan dianalisa kembali dan disita untuk melengkapi berkas perkata para tersangka. “Bukti-bukti ini masih akan di analisa kembali dan disita untuk melengkapi berkas perkara,” tuturnya.

Selain penggeledahan di rumah Tagop, lanjut Ali Fikri, penyidik KPK juga menggeledah rumah pribadi tersangka Ivana Kwelju dan salah satu kantor milik pihak swasta yang diduga terkait dengan perkara.

Ditanya kantor pihak swasta yang bergerak dibidang apa yang juga ikut digeledah KPK, jubir belum meresponnya.

Ditahan KPK

KPK secara resmi mengumumkan dan menahan tersangka Tagop Sudarsono Soulisa, Johny Rynhard Kasman dan Ivana Kwelju.

Dalam konstruksi perkara KPK menyebutkan, tersangka Tagop yang menjabat selaku Bupati Kabu­paten Buru Selatan periode 2011-2021, diduga sejak awal menjabat telah memberikan atensi lebih untuk berbagai proyek pada Dinas PUPR Kabupaten Buru Selatan.

Cara yang dilakukan bupati dua periode itu yaitu, dengan mengun­dang secara khusus Kepala Dinas dan Kabid Bina Marga untuk me­ngetahui daftar dan nilai anggaran paket setiap pekerjaan proyek.

Atas informasi tersebut, Tagop kemudian merekomendasi dan me­nentukan secara sepihak, pihak re­kanan mana saja yang bisa dime­nangkan untuk mengerjakan proyek. Baik yang melalui proses lelang maupun penunjukkan langsung.

Dari penentuan para rekanan ini, diduga Tagop meminta sejumlah uang dalam bentuk fee dengan nilai 7 % sampai dengan 10 % dari nilai kontrak pekerjaan.

Khusus untuk proyek yang sumber dananya dari Dana Alokasi Khusus, lanjut KPK. ditentukan besaran fee masih diantara 7% sampai dengan 10 % ditambah 8% dari nilai kontrak pekerjaan.

KPK menyebutkan, adapun proyek-proyek tersebut diantaranya, sebagai berikut pertama, Pembangunan jalan dalam Kota Namrole Tahun 2015 dengan nilai proyek sebesar Rp3,1 miliar.

Dua, peningkatan jalan dalam Kota Namrole (hotmix) dengan nilai proyek Rp14,2 Miliar. Tiga, Peningkatan Jalan Ruas Wamsisi-Sp Namrole Modan Mohe (hotmix) dengan nilai proyek Rp14,2 Miliar dan Empat, peningkatan jalan ruas Waemulang-Biloro dengan nilai proyek Rp21,4 miliar.

Atas penerimaan sejumlah fee tersebut, Tagop diduga menggunakan orang kepercayaannya yaitu, Johny Rynhard Kasman untuk menerima sejumlah uang menggunakan rekening bank miliknya, dan untuk berikutnya di transfer ke rekening bank milik Tagop.

Diduga nilai fee yang diterima oleh Tagop sekitar sejumlah Rp10 miliar yang diantaranya, diberikan oleh tersangka Ivana Kwelju karena dipilih untuk mengerjakan salah satu proyek pekerjaan yang anggarannya bersumber dari dana DAK Tahun 2015.

Selanjutnya, penerimaan uang Rp10 miliar dimaksud, diduga Tagop membeli sejumlah aset dengan menggunakan nama pihak-pihak lain dengan maksud untuk menyamarkan asal usul uang yang diterima dari para rekanan kontraktor.

KPK menjerat pada tersangka sebagai berikut, tersangka Ivana Kwelju sebagai pemberi disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Selanjut KPK menjerat Tagop dan Johny Rynhard Kasman melanggar pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan Pasal 12B Undang Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP dan Pasal 3 dan atau 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Untuk kepentingan proses penyidikan,  penyidik melakukan upaya paksa penahanan para tersangka untuk 20 hari pertama dimulai tanggal 26 Januari 2022 sampai dengan 14 Februari 2022 sebagai berikut: “Tagop ditahan di Rutan Polres Jakarta Timur, Johny Rynhard Kasman ditahan di Rutan Polres Jakarta Pusat.

Punya Bukti Kuat

Akademisi hukum Pidana berpendapat, dibukanya perkara baru dalam dugaan TPPU disebabkan karena KPK menemukan adanya bukti-bukti TPPU tersebut.

Sehingga tindakan KPK ini merupakan langkah tepat, untuk mengetahui penyaluran aliran dana TPPU tersebut.

Menurut Wadjo, dalam praktik penegakan hukum acara biasanya penyidik ketika melakukan penggeledahan terhadap barang-barang yang dinilai sebagai sarana melakukan tindak pidana dan menemukan bukti maka dapat dikembangkan.

Kepada Siwalima melalui telepon selulernya, Rabu (27/1), Wadjo mengatakan, dengan bukti baru tekah ditemukan oleh penyidik KPK maka sendirinya telah ada bukti awal untuk KPK mengungkapkan rangkaian kasus yang dapat dikembangkan ke tersangka.

Penyidikan KPK, kata Wadjo memiliki kewenangan atau diskresi untuk memutuskan melakukan penyidikan baru dalam kasus korupsi ketika ada bukti baru yang mengarah perbuatan yang berbeda-beda dan berdiri sendiri-sendiri, sehingga tergantung dari penilaian penyidik.

Apalagi, gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang merupakan dua jenis delik pidana yang berbeda dengan unsur-unsur delik masing-masing, karena gratifikasi diatur dengan UU Tindak Pidana Korupsi sedangkan Tindak Pidana Pencucian Uang diatur dengan UU tersendiri.

Walaupun, seorang tersangka telah disangkakan dengan UU Tindak Pidana Korupsi oleh KPK tetapi tidak menutup kemungkinan jika tersangka tersebut juga dapat dijerat dengan UU Tindak Pidana Pencucian Uang, sepanjang tersangka tidak dapat membuktikan asal-usul uang tersebut.

“Dalam praktik hukum, memang ketika tersangka disangka dengan UU Tipikor tetapi dia bisa juga dijerat dengan UU TPPU sepanjang asal usul uang dan harga milik yang tidak wajar itu tidak dapat dibuktikan keabsahannya, dan banyak kasus tersangka jerat dengan kedua UU itu,” bebernya.

Ditanya soal ancaman hukum dalam TPPU, Wadjo menjelaskan dalam UU TPPU tersebut terdapat berbagai macam pasal dengan delik masing-masing dan karena itu dirinya belum bisa menentukan pasal berapa yang dapat disangkakan karena masih dalam pengembangan oleh penyidik KPK.

“Ini kan masih dalam pengembangan oleh penyidik, kita tunggu saja nanti penyidik yang menyangkakan berdasarkan fakta dan bukti,” jelasnya.

Namun begitu, Wadjo meminta agar siapapun pihak-pihak yang terlibat dalam kedua bentuk tindak pidana tersebut dapat diproses sesuai dengan aturan hukum yang berlaku dan tidak terkesan tebang pilih.

Sementara itu, praktisi hukum Pistos Noija menjelaskan ketika penyidik KPK menemukan adanya bukti baru maka terdapat lebih dari satu tindak pidana yang dilakukan.

“Dengan menemukan bukti baru maka lebih dari satu tindak pidana yang dilakukan yakni, tindak pidana korupsi dalam kaitan gratifikasi, TPPU dan tindak pidana mengaburkan atau menghilangkan bukti tindak pidana korupsi,” ujar Noija.

Menurutnya, terkait dengan ancaman pidana semuanya tergantung penyidik KPK dalam menetapkan pasal berdasarkan bukti yang ditemukan, namun tindakan penyidik baru yang dilakukan oleh penyidik merupakan suatu tindakan yang sah dan dapat dibenarkan.

Hal ini karena, dalam proses hukum yang dilakukan penyidik menemukan sendiri adanya bukti baru maka dapat dikembangkan dengan perkara yang baru pula, apalagi gratifikasi dan TPPU merupakan dua jenis tindak pidana yang berbeda dengan delik masing-masing.

“Semua tergantung penyidik apakah mau menggabungkan dua tindak pidana atau berdiri sendiri-sendiri,” tegasnya. (S-05)