AMBON, Siwalimanews – Komisi I DPRD Maluku ba­kal memanggil PT Pemba­ngunan Daerah Maluku dan Maluku Utara guna mem­bahas masalah-masalah hukum yang menjeret para pejabat di bank berplat merah berhadapan dengan proses hukum.

Hal ini tentu saja akan ber­dampak pada kepercayaan masyarakat terhadap Bank Maluku dan Maluku Utara

“Kita dalam rapat internal komisi memang sudah mem­­bi­carakan hal itu dan komisi bakal panggil karena Bank Maluku dan Maluku Utara adalah aset daerah yang mem­bawa income be­sar bagi pen­da­patan asli daerah,” jelas anggota Ko­misi I DPRD Ma­luku, Edison Sarimanela kepa­da Siwalima melalui telepon selulernya, Rabu (29/9).

Ia sangat menyayangkan ditahannya tiga pejabat Bank Maluku Malut di Buru karena tersandung kasus hukum.

“Kita sangat sayangkan ya ini terjadi. Dan masalah hukum bu­kan saja baru terjadi sekali ini sebe­lum-sebelumnya juga ada,” ujarnya.

Baca Juga: Inspektorat Diminta Transparan Periksa Penyalahgunaan Dana Covid-19

Karena itu kepentingan komisi I DPRD Maluku untuk nantinya me­manggil dalam kerangka memberikan perhatian serius agar Bank Maluku Malut bisa tetap mendapatkan ke­per­cayaan rakyat dan bisa tumbuh sehat.

“Karena dampak-dampak dengan kasus-kasus hukum yang terjadi menimpa pegawai dan pejabat Bank Maluku Malut tentu saja akan berpengaruh besar. Sehingga kami tidak ingin hal itu terjadi. Atau kami tidak ingin peristiwa-peristiwa se­perti ini terjadi lagi, “ katanya.

Dia mememinta, Pemprov Maluku memberikan pengawasan ketat bagi bank milik daerah ini agar kede­pannya tidak ada pegawai-pegawai atau pejabat yang salah menyalah­gunakan kewenangannya dengan mengambil uang nasabah yang menimbulkan tindak pidana korupsi.

Sengaja Ditutupi

Sebelumnya diberitakan, Korupsi terjadi kala pemeriksaan rutin intes dilakukan. Mirisnya, semua temuan rutin itu tak pernah diungkap pihak bank.

Kejahatan yang dilakukan oleh tiga pejabat Bank Maluku Malut, Cabang Pembantu Mako, Pulau Bu­ru, sudah berlangsung sejak tahun 2016 lalu, namun tak pernah teren­dus oleh Satuan Kerja Audit Internal (SKAI) atau pemeriksa internal.

Kapolres Pulau Buru, Egia Febri Kusumawiatmaja mengatakan, keja­hatan ketiganya diketahui setelah BPKP Perwakilan Maluku menemu­kan kerugian keuangan negara yang dilakukan ketiganya secara berta­hap, sejak bulan Juni 2016 hingga November 2019.

Lalu bagaimana kejahatan yang dilakukan sejak 2016 lalu tidak per­nah diketahui bank, padahal secara rutin dilakukan pemerik­saan oleh SKAI?

Akademisi hukum pidana Universitas Pattimura, Remon Supusepa menduga, SKAI tidak melakukan pengawasan secara maksimal dan juga pengawasan tersebut diduga sengaja tidak ditindaklanjuti oleh jajaran direksi.

“Jadi dalam kasus seperti ini kita harus melihat bahwa fungsi-fungsi pe­ng­awasan internal itu tidak berja­lan sebagaimana mestinya. Fungsi pengawasan itu sejatinya bahwa ada pandangan-pandangan yang menu­tup kelemahan-kelemahan atau juga kekurangan-kekurangan, dan ada rekomendasi yang harus disampai­kan ke pihak-pihak pengawasan eksternal seperti BPKP, atau lem­baga-lembaga keuangan untuk mengecek atau OJK yang berkaitan dengan transaksi keuangan, supaya tidak ditindaklanjuti oleh pengawa­san internal,” jelas Supusepa kepa­da Siwalima, Selasa (28/9).

Padahal lanjut Supusepa, ada temuan-temuan yang harus ditin­dak­lanjuti baik oleh SKAI atau direksi Bank Maluku Malut, hanya saja sifatnya administrasi sehingga menjadi tanggung jawab direksi untuk menyelesaikan.

“Karena ini ada temuan dan temuan ini harus ditindaklanjuti, Hanya saja fungsi dari lembaga-lem­baga itu hanya sifatnya administrasi. Jadi karena sifat administrasi itu maka penegakan hukum pidana tidak bisa masuk disitu,. sehingga apa yang terjadi didalam perbankan itu hanya menjadi tanggung jawab direksi untuk menyelesaikan,” katanya.

Sesuai Peraturan OJK No:1/POJK.03/2019, tentang Penerapan Fungsi Audit Itern Pada Bank Umum, SKAI adalah unit kerja dalam bank yang menjalankan fungsi audit intern, dimana setiap bank wajib memiliki fungsi audit intern sesuai dengan ukuran, karakteristik dan kompleksitas usaha bank.

Atas dasar itu, Supusepa berpen­dapat jika SKAI dan direksi serius membongkar tindakan kejahatan yang dilakukan tiga pejabat Bank Maluku Malut di Kabupaten Buru, maka dengan sendirinya bisa dila­kukan proses pemeriksaan kepada para pelaku.

Jadi misalnya hasil temuan dari SKAI lalu direksi itu mau serius untuk membongkar itu, maka de­ngan sendirinya kasus ini menjadi terang benderang dan penyelidikan itu masuk dan pasti melakukan proses pemeriksaan kepada para pelaku bank. Keberanian itu bisa muncul dari direksi dan orang per­bankan sendiri, tetapi karena mereka agak tertutup karena perbankan ini berkaitan dengan kepercayaan terhadap nasabah yang menaruh uangnya untuk dikelola oleh bank,” ujarnya.

Mengakui, hampir seluruh per­bankan di Indonesia kerahasiaan perbankan itu hanya diketahui oleh internal dengan sanksi hukuman disiplin administrasi itu hanya diterapkan secara tertutup tanpa melalui jalur hukum.

Dia menduga fungsi SKAI tidak ber­jalan maksimal, dan sengaja ditutupi dan tidak ditindak lanjuti baik oleh mereka maupun direksi hanya karena kepentingan bank agar tetap dipercaya masyarakat.

“Jadi menurut saya fungsi SKAI tidak maksimal. Karena mereka juga menjaga nama baik banknya. Dan bagi para pelaku yang dilindungi sebenarnya itu adalah kesalahan dari SKAI maupun kesalahan dari pihak direksi perbankan yang sebe­narnya sudah mengetahui tetapi menutupi hanya demi kepentingan banknya itu agar tetap dipercaya masyarakat,” katanya.

Oleh karena itu, tambahnya peran dari masyarakat yang dirugikan itu menjadi pintu masuk untuk fungsi penegakan hukum itu jalan.

Di sisi yang lain, tambah dia, dari sisi hukum administrasi negara kalau ditemukan mall administrasi bahwa ada kesalahan administrasi yang dilakukan oleh seorang pegawai per­bankan misalnya, atau pejabat negara yang berindikasi kepada kerugian keuangan negara yang nyata atau aktual, maka itu bisa dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi.

Supusepa menambahkan, jika laporan SKAI itu tidak ditindak­lanjuti sampai ke Otoritas Jasa Ke­uangan atau pihak lain, karena pengelolaan keuangan daerah itu juga sifatnya tertutup, karena tidak mau membuka diri untuk peng­awasan-pengawasan yang terbuka terhadap pengelolaan perbankan itu sendiri. Hal ini berkaitan juga dengan hal-hal yang dirahasiakan yang berkaitan dengan bank, apalagi bank milik daerah.

Diberi Sanksi

Sementara itu, Direktur Utama Bank Maluku Malut, Syahrisal Imbar mengungkapkan, pihaknya telah memberikan sanksi bagi tiga pegawai tersebut.

Ini kasus lama dan terhadap para pelaku sudah diberikan sanksi pemutusan hubungan kerja dan pencopotan jabatan oleh dewan direksi sebelumnya,” katanya.

Dikatakan, fungsi kontrol internal cabang dan SKAI terus ditingkatkan dengan melakukan audit rutin.

“Fungsi kontrol internal cabang dan SKAI terus ditingkatkan dengan melakukan audit rutin 3-4 kali pertahun, audit khusus dan surprise audit,” jelas Syahrizal kepada Siwalima melalui pesan Whatsapp, Selasa (28/9).

Dikatakan, pihaknya tidak menu­tupi apapun, dan sangat mendu­kung sepenuhnya penegakan hu­kum yang dilakukan aparat kepoli­sian terhadap para pelaku.”Kami mendukung sepenuhnya penega­kan hukum terhadap para pelaku oleh kepolisian,” jelasnya singkat.

Ditahan Jaksa

Tiga tersangka korupsi masing-masing Salim M Pattihahuha (SMP) Erik Marhaoni Hukul (EMH) dan Bunga Sartika Alkadri (BSA), saat ini sudah ditahan di rutan Polres Pulau Buru, selama 20 hari terhitung Selasa (28/9/) hingga 17 Oktober nanti.

Sebelumnya oleh Polres Pulau Buru, ketiganya diserahkan beserta barang bukti ke Kejaksaan Negeri Buru oleh kepolisian siang.

Tim jaksa penuntut umum Kejak­saan Negeri Buru, langsung menai­kan status ketiganya sebagai terdak­wa dalam kasus korupsi pembobolan dana nasabah di Bank Maluku Ca­bang Pembantu Mako, Kecamatan Waeapo, Kabupaten Buru yang merugikan negara Rp.4,1 miliar lebih.

Kepala Kejaksaan Negeri Buru, Muhtadi, yang didampingi Kasie Pidsus, Yasser Manahati, kepada awak media, Selasa (28/9) menje­laskan, ketiganya telah ditetapkan sebagai terdakwa oleh jaksa penun­tut beserta barang bukti.

“Penahanan kami lakukan di Rutan Polres Pulau Buru, karena LP Namlea baru menerima kalau sudah menjadi tahanan pengadilan, artinya sudah dilimpahkan proses penuntu­tan ke pengadilan,” jelas Muhtadi.

Dia optimis, kasus ini sudah di­si­dangkan di Pengadilan Tipikor Ne­geri Ambon sebelum masa pena­hanan oleh kejaksaan berakhir.

“Kami usahakan sebelum 20 hari masa penahanan kejaksaan ini berakhir, perkaranya sudah kita limpahkan ke Pengadilan Tipikor Negeri Ambon,” ujarnya.

Muhtadi lebih jauh memaparkan, bermula dari tahun 2013 saat ter­dakwa SMP menjadi Kepala Cabang Pembantu Bank Maluku Mako, yang bersangkutan memper­cayakan password buku besar kepada terdakwa EMH sebagai teller.

“Itu berlanjut sampai tahun 2016 lalu saat BSA masuk sebagai teller juga di Bank Maluku Cabang Pem­bantu Mako.

“Kemudian pada bulan Juli tahun 2016 lalu, terjadi permufakatan kerjasama antara BSA dan EMH untuk mengambil dana dari buku kas besar dan terdakwa SMP sebagai ke­pala cabang pembantu tidak mela­ku­kan kontrol sebagaimana mesti­nya.

“Sehingga kemudian terjadi pengambilan uang nasabah dari Juli tahun 2016 sampai tahun 2019 sebesar Rp4.106.000.000.

“Setelah kasus ini diserahkan ke jaksa penuntut, ketiga terdakwa sudah mengembalikan pengemba­lian sebesar Rp130 juta sehingga masih tersisa Rp3,9 miliar lebih yang belum dikembalikan .

Ditanya wartawan, Kejari lebih jauh menjelaskan, uang nasabah yang dicuri para pelaku itu ber­sumber dari 75 rekening nasabah.

Modusnya, sewaktu nasabah me­nyetor, EMH dan BSA hanya men­catat di buku besar, namun uang nasabah itu mereka pakai untuk kepentingan pribadi.

Namun setelah kasus itu terbong­kar, dana 75 nasabah itu tetap ditala­ngi Bank Maluku, sehingga keru­gian kini diderita oleh pihak bank.

Akibat perbuatan tersebut, jaksa penuntut umum mendakwa ketiga­nya dengan  Pasal 2 Ayat 1 dan atau Pasal 3 Jo, Pasal 18 Undang Undang RI Nomor 20 Tahun 2001, tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999, tentang Pem­berantasan Tindak Pidana Korupsi Jo, Pasal 55 Ayat 1 ke-1 Jo, Pasal 64 Ayat 1 KUHPidana.

Kini ketiganya teracam hukuman pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 4 tahun, paling lama 20 tahun. Ke­mudian denda paling sedikit Rp200 juta, dan paling banyak Rp1 miliar. (S-19)