SEJAK di bangku kuliah semester pertama,telah diajarkan dengan berwanti-wanti kepada kita bahwa asas legalitas dalam hukum pidana merupakan pilar hukum pidana yang utama karena pilar hukum pidana tersebut merupakan bangunan dasar berdiri tegaknya negara hukum. Di dalam asas legalitas itulah, penerapan hukum pidana dilarang ditafsirkan diperluas, selain apa yang telah tertulis di dalamnya (lex scripta), apa yang harus dibaca sesuai apa yang tertulisnya (lex stricta), dan apa yang telah dijelaskan di dalam norma undang-undang (hukum pidana) di dalamnya.

Penerapan UU pidana (hukum pidana) yang bertentangan dengan pilar hukum asas legalitas dan asas-asas hukum lainnya mutatis mutandis penerapan tersebut batal demi hukum (van rechts nieteg) dan tidak sah. Praktik hukum kekinian, terutama dalam peradilan perkara tipikor telah terbiasa terjadi dengan ketentuan hukum acara pidana dalam UU Tipikor telah menyimpang terlalu jauh dan amat sulit dihentikan dan dikembalikan kepada asal mula dilahirkannya ketentuan itu.

Ketentuan tersebut ialah ketentuan Pasal 14 UU Tipikor yang menyatakan sebagai berikut, Pasal 14, ‘Setiap orang yang melanggar ketentuan Undang-undang yang secara tegas menyatakan, bahwa pelanggaran terhadap ketentuan Undang-undang itu sebagai tindak pidana korupsi berlaku ketentuan yang diatur dalam Undang-undang ini’. Ketentuan itu mensyaratkan dua hal di dalam menerapkan ketentuan UU Tipikor. Pertama, bahwa UU Tipikor hanya berlaku terhadap pelanggaran atas ketentuan Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, dan Pasal 8. Juga, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 12B, dan Pasal 13.

Kedua, bahwa pelanggaran administratif yang terdapat di dalam UU lain selain UU Tipikor seperti UU Perbankan dan UU Pasar Modal, sekalipun ter­dapat bukti adanya kerugian negara, jika pelanggaran itu tidak secara tegas di dalam UU-nya disebut tindak pidana korupsi, yang berlaku ialah sanksi yang ada di dalam UU lain tersebut, bukan sanksi yang terdapat di dalam UU Tipikor.

Dalam keadaan hukum sedemikian, aparatur hukum (penyidik) perlu meneliti lebih jauh apakah di dalam pelanggaran administratif itu ditemukan perbuatan yang bersifat melawan hukum, atau keterlibatan penyelenggaran negara, dan apakah terdapat keterkaitan antara perbuatan melawan hukum, atau penyalahgunaan wewenang tersebut, dengan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara.

Baca Juga: Apakah Opini WTP dari BPK Menjamin Bebas Korupsi

Jika penyidik dapat menemukan bukti-bukti kuat dalam penyidikan lebih lanjut mengenai keterlibatan penyelenggara negara, atau per­buatan melawan hukum, pelang­garan administratif tersebut ialah tindak pidana korupsi. Dengan de­mikian, adanya akibat kerugian keuangan negara atau pereko­nomian negara dalam pelanggaran adminstratif tidak serta-merta perkara tersebut dapat dituntut, diperiksa, dan diadili berdasarkan UU Tipikor dengan pertimbangan bahwa unsur kerugian keuangan negara atau perekonomian negara ialah akibat di dalam hukum pidana diutamakan perbuatan (daadstra­frecht), atau hukum pidana atas perbuatan, sehingga akibat dari suatu perbuatan sesuatu yang diutamakan.

Dalam konteks ini, di dalam UU Tipikor unsur (element) perbuatan melawan hukum (Pasal 2), atau perbuatan penyalahgunaan wewenang (Pasal 3), harus dibuktikan terlebih dulu. Kekeliruan nyata yang sering terjadi disebabkan pola pikir aparatur hukum dan masyarakat, selalu hanya mengandalkan akibat (kerugian keuangan negara atau perekonomian negara). Akan tetapi, tidak mempertimbangkan ada-tidaknya penyebab dari akibat tersebut.

Konstruksi hukum yang dibangun dalam UU Tipikor ialah, pertama, bahwa korupsi merupakan kolaborasi antara (pemegang ) kekuasaan dan pelaku usaha. Kedua, korupsi merupakan extra-ordinary crime dan kini telah merupakan budaya karena ia telah berkembang secara sistematis terorganisasi, extra-ordinary and systematic crime.

Ketiga, korupsi telah berdampak negatif yang sangat luas, bahkan melampaui batas negara. Berdasarkan pertimbangan sosial, ekonomi, dan budaya, korupsi merupakan bagian penting dalam pembangunan sosial, budaya, ekonomi, dan hukum di Indonesia. Upaya pemberantasan korupsi merupakan bagian penting yang juga memerlukan kerja sama secara sadar antara pemerintah, kejaksaan, dan KPK serta masyarakat sipil (LSM).

Dengan demikian, gerakan pemberantasan korupsi tidak timpang sebelah dan aparatur penegak hukum juga tidak berjalan sendirian. Support masyarakat harus dimulai sejak awal penyelidikan, bukan di akhir penyidikan dengan tertangkapnya koruptor atau adanya OTT, atau setelah putusan pengadilan yang memberikan hukuman. Sama halnya dengan kesadaran kebersihan lingkungan, yang penting bukan keberadaan tong sampah yang bertumpuk-tumpuk, melainkan kesadaran bersama masyarakat untuk mau membuang sampah di tempatnya.

Begitu pula, memahami filosofi, visi, dan misi pemberantasan korupsi memerlukan kerja cerdas dan lugas untuk dapat memilah-milah, mana perbuatan koruptif dan yang bukan, tidak semata-mata dilihat dari akibatnya, tetapi juga dari sudut siapa dan apa penyebabnya. Dengan cara pandang sedemikian, masyarakat tidak terjebak pada proses stigmatisasi, atau labeling yang tidak perlu dan membuang-buang energi hanya untuk menghujat koruptor, bahkan aparatur penegak hukum. Namun, diperlukan pemikiran jernih dan efisien serta tidak melanggar hak asasi setiap orang sekalipun ia dalam status sebagai pelaku korupsi.

Kita tidak dapat menafikan fakta adanya hanky-pangky antara oknum aparatur hukum dan pelaku korupsi. Namun, mereka akan dengan sendirinya sirna karena malu melihat masyarakat yang mau menolak gratifikasi atau suap. Upaya pemerintah dalam bidang perundang-undangan untuk sementara ini sudah memadai, tinggal lagi implementasinya yang belum sejalan dengan filosofi, visi, dan misi pemberantasan korupsi, dan suap atau gratifikasi yang belum berhenti.

Untuk melengkapi kelemahan peraturan perundang-undangan yang telah berlaku, kiranya pemerintah dan DPR segera menyetuji pengesahan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana, yang diharapkan dapat menimbulkan selain efek jera, dapat mengembalikan kerugian keuangan negara, dan dapat menghentikan hambatan/gangguan yang dapat merugikan perekonomian negara, di mana pun aset tindak pidana disembunyikan, baik di dalam maupun di negara lain. Oleh: Romli Atmasasmita Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran.(*)