PENGETAHUAN dan kebijakan kesehatan terus berkembang untuk mendukung optimalisasi pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Pemerintah belum lama menggulirkan UU No 17/2023 tentang Kesehatan yang salah satu pasalnya mengatur tentang penyelenggaraan pendidikan dokter spesialis dan subspesialis dengan mengundang keterlibatan rumah sakit, dengan tetap bekerja sama dengan universitas.

Perdebatan muncul saat implementasi di lapangan terasa kurang sejalan dengan apa yang diamanahkan undang-undang. Narasi tersebut tentu tidak ingin menuturkan mengenai perdebatan yang terjadi, tetapi ingin menilik kembali perjalanan perkembangan kedokteran dan urgensi perubahan untuk meletakkan peran akademisi dan klinisi dalam menjalankan mandat pengembangan pengetahuan dan pelayanan kesehatan.

Kajian kesehatan

Kajian berulang atas pengembangan pengetahuan berbasis bukti menjadi ciri khas kedokteran modern. Kajian baru terus bermunculan dengan misi meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan komprehensif dari promosi hidup sehat, pencegahan penyakit, hingga meminimalkan risiko akibat sakit. Pengetahuan kedokteran juga terus berkembang ditengarai dengan tingginya jumlah publikasi jurnal berbasis riset bidang biomedical science.

Beban kesehatan atas penyakit infeksi, penyakit tidak menular, dan penyakit menular yang masih tergolong cukup tinggi menjadikan pengetahuan kedokteran berbasis bukti belum cukup memadai untuk mengatasi masalah kesehatan. Paradigma kesehatan akhirnya mulai bergeser dari kerja pengobatan menjadi pencegahan dengan memanfaatkan kemajuan teknologi. Inilah yang kemudian menjadi titik awal berkembangnya kedokteran presisi (precision medicine) atau dulu sering dikenal dengan kedokteran yang dipersonalisasi (personalized medicine). Meskipun penggunaan istilah tersebut menuai banyak kritik, ia bisa dikatakan sebagai penanda babak baru metode pelayanan kesehatan masa depan.

Baca Juga: Peran Penting Kolegium Kedokteran Spesialis yang tak Mungkin Dimungkiri

Di sektor kesehatan global, beberapa negara maju, seperti Taiwan, Singapura, dan UK, mulai mengembangkan kedokteran presisi. Kedokteran presisi membuka peluang diagnosis dan pengobatan lebih tepat sasaran berbasis karakteristik genetik, kondisi klinis, lingkungan, dan gaya hidup individu. Kedokteran presisi meningkatkan pengetahuan tentang tren penyakit, pengelolaan perawatan maupun kelainan genetik, serta temuan lain yang mendukung pengembangan pengobatan.

Pemerintah Indonesia pada Agustus 2022 memulai program riil dengan meresmikan Biomedical and Genome Science Initiative (BGSI) sebagai langkah awal pengembangan kedokteran presisi di Indonesia. BGSI kini berupaya mengumpulkan 10 ribu sekuens dan biospesimen data terintegrasi untuk pengembangan inovasi kesehatan. Semangat pengembangan kesehatan personal berbasis kode genetik individu itu selaras dengan visi Indonesia 2045 untuk melakukan transformasi bidang teknologi kesehatan.

Mandat akademisi

Pengembangan kajian kedokteran presisi di Indonesia membuktikan bahwa pengetahuan merupakan sebuah proses ‘menjadi’. Pengembangan pengetahuan bukan sekadar kemampuan untuk menyelesaikan masalah, tetapi juga memuat pertimbangan etika tanggung jawab masa depan atas implementasi keilmuan yang dimandatkan.

Penelitian dan pengembangan pengetahuan menjadi satu kesatuan proses kerja antara praktisi dan akademisi serta memerlukan campur tangan lintas disiplin ilmu secara berkelanjutan. Sisi pelayanan dan pengetahuan kedokteran harus berkembang secara paralel dan terintegrasi dalam ruang RS pendidikan untuk menjamin kualitas kesehatan di Indonesia. Data global menunjukkan bahwa RS terbaik dunia ialah RS pendidikan yang menempatkan praktisi, akademisi, dan peneliti dalam satu tim kerja (Newsweek, 2023).

Bagaimana peran akademisi dalam hal ini? Pertama, melakukan kajian penelitian dasar dan terapan hingga melahirkan kebaruan inovasi serta rekomendasi pengembangan ilmu pengetahuan kedokteran yang bermanfaat bagi pelayanan kesehatan. Sementara itu, klinisi bertugas memberikan pelayanan kesehatan sebaik-baiknya kepada masyarakat.

Kedua, menyediakan pengayaan data berbasis bukti untuk memprediksi status kesehatan masyarakat, termasuk inovasi pengembangan obat baru. Terdapat tiga peran akademisi dalam pengembangan kedokteran presisi, dari kajian pengurutan genome (genome sequencing), pengelolaan lingkungan yang memiliki interaksi dengan genomik individu, serta kajian gaya hidup masyarakat.

Ketiga, mengembangkan pendidikan hingga melahirkan tenaga kerja yang mampu memanfaatkan hilirisasi inovasi untuk menjawab tantangan kehidupan sosial masyarakat. Kedokteran presisi, yang kini menjadi kebaruan metode pelayanan kesehatan, bisa jadi akan menjadi pengetahuan usang pada masa depan jika tidak ada kesinambungan kajian keilmuan. Ketiadaan metode, model, dan diagnostik baru dalam pelayanan kesehatan hanya akan membawa kedokteran dalam ruang ketidakberdayaan saat menghadapi kompleksitas tantangan perkembangan zaman.

Keempat, menjamin keberlangsu­ngan pengembangan pengetahuan dengan melakukan publikasi hasil kajian sebagai dasar penyusunan panduan klinis berbasis bukti ataupun praktik, baik pelayanan kesehatan maupun aspek nonkesehatan.

Kelima, melakukan kajian etik dan merajut keilmuan lintas disiplin melalui jejaring kolaborasi dengan berbagai institusi riset maupun pendidikan secara global untuk memastikan bahwa inovasi sepenuhnya diamanahkan untuk kemanusiaan. Keenam, melakukan advokasi terkait pengetahuan dan realisasi inovasi baru yang melibatkan peran lintas disiplin ilmu.

Akademisi dan klinisi merupakan satu kesatuan pengawal kualitas pengetahuan dan pelayanan kesehatan yang mana kebaruan inovasi dan pengembangan pengetahuan berkelanjutan menjadi keharusan untuk merawat masa depan kesehatan masyarakat secara memadai. Oleh karenanya, keselarasan kolaborasi peran akademisi dan klinisi dalam satu kesatuan visi-misi, standar, dan sistem yang sinergis penting untuk diwujudkan.

Seperti halnya rencana pengembangan pengetahuan, pemerataan, dan percepatan, pelayanan kesehatan masa depan bukan hanya menjadi peran klinisi RS, melainkan juga memerlukan keterlibatan akademisi perguruan tinggi yang memiliki mandat pengembangan pengetahuan untuk meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat. Oleh: ZOva Emilia Guru Besar Pendidikan Kedokteran, Praktisi Kedokteran Rektor Universitas Gadjah Mada (*)