Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap salah seorang Bupati di Jawa Barat,serta beberapa anggota BPK pada kamis, 27/4/2022 malam.

KPK menahan delapan tersangka, atas kasus dugaan suap kepada tim audit BPK Perwakilan Jawa Barat dengan nilai total suap Rp. 1,024 Miliar untuk pengurusan Laporan keuangan Pemerintah Kabu­paten Bogor Tahun Anggaran 2021 agar mendapatkan predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).

Perlu diketahui, pada setiap tahun BPK selalu memberikan audit laporan keuangan bagi Pemerintah daerah dan Lembaga Negara termasuk disetiap ke­menterian.

Dalam audit tersebut BPK bisa menye­matkan status Wajar Tanpa Pengecualian (WTP/Unqualified opinion) atau juga Wajar Dengan Pengecualian (WDP/ Qualified opinion), bisa juga Tidak Wajar (adversed opinion) atau mungkin pula Tidak Menyatakan Pendapat (Disclaimer of opinion). Bagi orang awam akan bertanya apa itu opini BPK dan apakah dengan adanya opini dari BPK maka daerah atau lembaga itu bisa dijamin bebas korupsi?

Opini Badan Pemeriksa Keuangan  (disingkat Opini BPK) merupakan pernyataan professional pemeriksa mengenai kewajaran informasi keuangan yang disajikan dalam laporan keuangan yang didasarkan pada empat kreteria yakni kesesuaian dengan standar akuntansi Pemerintah, kecukupan pengungkapan (adequate disclosures), kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan dan efektivitas sistem pengen­dalian intern. Sedangkan opini sendiri terbagi menjadi empat jenis yaitu :

Wajar tanpa pengecualian (WTP/unqualifield opinion) adalah opini audit yang akan diterbitkan jika laporan keuangan dianggap memberikan informasi yang bebas dari salah saji material. Jika laporan keuangan diberikan opini jenis ini artinya auditor meyakini berdasarkan bukti-bukti audit yang dikumpulkan dianggap telah menyelenggarakan prinsip akuntansi yang berlaku umum dan baik. Dan kalaupun ada kesalahan, kesalahannya dianggap tidak material dan tidak berpengaruh signifikan terhadap pengambilan Keputusan.

Wajar Dengan Pengecualian (WDP/qualified opinion) adalah opini audit yang diterbitkan jika sebagian besar informasi dalam laporan keuangan bebas dari salah saji material, kecuali untuk rekening atau item tertentu yang menjadi pengecualian. Sebagian akuntan memberikan julukan little adverse (ketidawajaran yang kecil), terhadap opini jenis ini untuk menunjukan adanya ketidakwajaran dalam item tertentu, namun demikian ketidakwajaran tersebut tidak mempenga­ruhi kewajaran laporan keuangan secara keseluruhan.

Tidak Wajar (TW/adversed opinion) adalah opini audit yang diterbitkan jika laporan keuangan me­ngandung salah saji material atau dengan kata lain Laporan keuangan tidak mencerminkan keadaan yang sebenarnya. Jika laporan keuangan men­dapatkan opini jenis ini berarti auditor meyakini laporan ke­uangan diragukan kebenaranya sehingga bisa menye­satkan pengguna laporan keuangan dalam pengam­bilan Keputusan.

Tidak Menyatakan Pendapat (TMP/disclaimer of Opinion) opini tidak menyatakan pendapat oleh sebagian akuntan dianggap bukanlah sebuah opini dengan asumsi jika auditor menolak memberikan pen­dapat artinya tidak ada opini yang diberikan terhadap laporan keuangan.

Opini jenis ini diberikan jika auditor tidak bisa meyakini apakah laporan keuangan wajar atau tidak. Opini ini bisa diterbitkan jika auditor me­nganggap ada ruang lingkup audit yang dibatasi oleh yang diaudit, misalnya karena auditor tidak bisa mem­peroleh bukti-bukti yang dibutuhkan untuk bisa me­nyimpulkan dan menyata­kan laporan sudah disajikan dengan wajar atau auditor tidak dapat menyelesaikan semua prosedur audit yang direncanakan.

Sebuah kebanggaan bagi suatu entitas akuntansi ketika ia berhasil memperoleh opini Wajar Tanpa Pengecualian(WTP) dari Badan Pemeriksa Ke­uangan  termasuk bagi  Pemerintah Daerah (Pem­da), opini WTP akuntansi atas penyajian transaksi-transaksinya kedalam laporan keuangan. Apabila suatu entitas mendapatkan opini WTP dapat dikata­kan bahwa Laporan Keuangannya “bersih” dan disajikan secara wajar sesuai kaidah akuntansi pemerintahan yang berlaku.

Predikat WTP ibarat sebuah pencapaian tertinggi bagi Pemda dan Kepala Daerah, namun demikian disuatu daerah yang sudah berhasil mendapatkan WTP kenapa masih pula terjadi KORUPSI yang bahkan melibatkan pucuk pimpinan tertinggi didae­rah itu? Tren berburu WTP ini semakin meningkat setiap tahunnya dan dari tren inilah kita seolah bisa menilai bahwa pemerintah daerah sudah hampir seluruhnya bersih dari praktek-praktek Korupsi, akan tetapi data justru menunjukan sebaliknya. Data dari KPK menunjukan bahwa Kepala daerah yang terjerat kasus korupsi relatif banyak yaitu per 16 oktober 2021 total kepala daerah yang terkait korupsi 167 kepala daerah yang terjerat proses hukum di KPK jumlah itu terdiri dari 22 Gubernur dan 145 Bupati/Walikota(sumber KPK RI 2021 ) Sebuah paradoks tentunya dikala WTP berhasil digapai namun kasus korupsi justru tak juga reda. Dikatakan bahwa salah satu penyebab utama terjadinya kasus-kasus korupsi didaerah adalah karena masih jamaknya praktek politik dinasti. Paradoks antara WTP versus praktek korupsi sebenarnya dapat dikatakan saling terkait. Kita ambil sebuah analogi sederhana, misalnya suatu transaksi pembelian tanah oleh Pemda telah dicatat secara benar dan wajar sesuai prinsip akuntansi Pemerintah, maka pada pos tersebut dapat dikatakan bahwa pemda tersebut sudah WTP. Namun benarkah bahwa ketika suatu transaksi telah disajikan dengan wajar di dalam Laporan Keuangan maka transaksi tersebut telah benar-benar bersih dari praktek Korupsi? Hal ini perlu ditelaah lebih lanjut. Kita tidak serta merta menyatakan demikian. Bisa saja (kita bisa menduga) bahwa di dalam transaksi pembelian tanah tersebut telah terjadi mark up misalnya secara bukti-bukti transaksi memang telah dicatat sesuai dengan nilai yang tertera didalam kuitansi pembayaran serta bukti lainnya. Namun bisa jadi (kita bisa menduga) harga tanah sebenarnya tidak sebesar yang dinyatakan dalam bukti tersebut, atau bisa jadi (kita bisa menduga) bahwa dalam proses pengadaan tanah tersebut telah terjadi persengkongkolan untuk mengatur harga sehingga pihak-pihak yang terlibat (misalnya mafia tanah, oknum di Pemda, dan sebagainya) merauk untung dari transaksi tersebut. Dari analogi ini kita dapat mengatakan bahwa secara formal mungkin transaksi tersebut (didukung oleh bukti yang valid) namun secara riil ternyata mungkin transaksi tersebut telah merugikan Negara. Dari sini dapat kita katakan bahwa memang jika diteliti lebih lanjut kita dapat mengatakan bahwa antara akuntansi (Laporan Keuangan) dengan pelaksanaan anggaran selalu berkaitan dan seharusnya tidak boleh terjadi kejanggalan apapun, secara prinsip benar demikian, namun bagaimana dengan prakteknya? Ternyata masih banyak sekali celah, baik dari sisi regulasi, transaksi atau pelaporan keuangan yang bisa “diakali” oleh Pihak-pihak pencari keuantungan pribadi. Dalam dunia akuntansi kita juga mengenal istilah accounting engineering yang biasanya digunakan oleh perusahaan untuk mengakali perpajakan.  Mungkin terminology ini dapat pula dikatakan telah terjadi di dunia akuntansi pemerintahan apabila Laporan Keuangan Pemda memperoleh Predikat WTP namun kepala Daerahnya tersandung Korupsi.

Memang opini audit WTP dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menjadi idaman para pengelola keuangan Negara. Para pejabat kementerian, lembaga Negara, dan Pemerintah Daerah berlomba memperoleh opini tersebut. Terlebihi Pemerintah menjadikan opini WTP sebagai salah satu tolok ukur keberhasilan tata kelola yang baik  (good governance) untuk kepala daerah berlaga dalam pemilihan Kepala Daerah, opini WTP menjadi isu positif yang bisa dijual kepada masyarakat.  Masalahnya opini WTP ternyata tidak menjamin bebas dari Korupsi. Dibeberapa lembaga yang memperoleh WTP pejabatnya malah tersangkut korupsi begitu pula dengan Kepala Daerah baik Gubernur maupun Bupati/Walikota yang mendapatkan WTP tapi terlibat Korupsi, hal yang sama terjadi di beberapa lembaga Pemerintah. Kasus korupsi pada lembaga yang berpredikat WTP telah mengerus kepercayaan masyarakat kepada BPK tidak sedikit yang menduga opini WTP bisa diperjualbelikan. Tidak keliru jika pandangan masyarakat kepada BPK menjadi jelek.  Sebab, masyarakat  tidak mendapat penjelasan yang benar mengenai opini BPK. Masyarakat menyangka, jika WTP pasti tidak ada korupsi. Jika WTP ada korupsi, maka auditnya pasti salah, pada hal pandangan itu dilihat dari sudut ilmu audit tidak tepat. Opini WTP bukan dimaksudkan untuk menjamin tidak ada korupsi. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan, masyarakat harus menyadari bahwa opini WTP merupakan penilaian atas kewajaran laporan keuangan yang dihasilkan dari pemeriksaan keuangan bukan jaminan tidak ada korupsi. Sepanjang tidak ada penyimpangan yang material dari standar akuntansi, maka opini WTP bisa diberikan, jika dimaksudkan untuk menemukan korupsi, maka lebih tepat melalui audit investigasi BPK sebagai lembaga audit Negara, selain memeriksa laporan keuangan juga perlu meningkatkan jumlah dan kualitas pemeriksaan investigasi serta meningkatkan INTEGRITAS  AUDITOR SERTA LEMBAGA AUDIT NEGARA. Jika hal ini dilakukan oleh BPK, maka keluhan soal opini WTP tapi korupsi kok jalan terus akan makin berkurang, walhasil kedepan sudah semestinya makin banyak pemda dan instansi lainnya menerima opini WTP, serta makin berkurangnya  korupsi, semoga. Oleh: Wellem Ririhatuela, SE.MM   Pengawas Pemerintahan (PPUPD) Inspektorat Provinsi Maluku.