DI TENGAH pandemi berkepanjangan, ancaman lain muncul yakni kenaikan suhu bumi akan melampaui batas aman pada 2030. Sembilan tahun ke depan bumi makin panas. Bisa dibayangkan, dampak lingkungan yang bakal terjadi dan membuat penghuni Bumi kian menderita.

Prediksi ini bukan “abal-abal”. Adalah The Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) yang memprediksikan dalam laporan yang dirilis Senin (9/8/2021) lalu. Panel Antarnegara untuk Perubahan Iklim (IPCC) yang beranggotakan 195 negara menganalisa lebih dari 14.000 studi iklim untuk memberikan gambaran yang paling jelas tentang kondisi planet saat ini.

Gambaran mengejutkan seolah membuka mata kita. Pencemaran karbondioksida sudah sedemikian gawat, dunia diprediksi hanya punya waktu 15 tahun sebelum melampaui ambang batas kenaikan suhu sebesar 1,5 derajat Celcius pada akhir abad. Namun prediksi terbaru angka 1,5 derajat itu bakal terjadi pada 2030 yang perhitungannya sejak laporan terakhir IPCC pada 2014.

Laporan itu menegaskan dengan membakar bahan bakar fosil dan melepaskan gas rumah kaca ke atmosfer Bumi, akan menghangatkan suhu rata-rata Bumi sebesar 1,1 derajat Celcius. Di seluruh dunia, kondisi ini meningkatkan potensi terjadinya gelombang panas, hujan lebat atau siklon tropis. Adapun di sejumlah kawasan, musim kemarau diprediksi akan berlangsung lebih lama.

Para ahli merespons laporan itu. “Ketika saya melihat hasil temuan kami, saya berpikir kita sudah menghadapi krisis iklim,” kata Sonia Seneviratne, ilmuwan iklim di Institute for Atmospheric and Climate Science di Universitas ETH Zuric, Swiss. “Kita punya masalah yang sangat besar.”

Inilah contoh-contoh masalah besar tersebut:

– Banjir bandang dahsyat di Eropa

– Musim hujan ekstrem di China

– Rekor suhu panas di Amerika Serikat dan Kanada

– Kebakaran hutan di Oregon, AS

– Kebakaran hutan Amazon

– Kekeringan di Madagaskar

– London terendam banjir

– Kebakaran hutan di Sardinia, Italia

Bagaimana Kita?

Tentu saja laporan IPCC merupakan peringatan bagi penduduk dunia. Kita pun di Indonesia perlu me­ng­antisipasi. Pemerintah telah punya agenda untuk ikut mengatasi pemanasan global. Cuma itu tidak cukup. Sehebat-hebatnya konsep pemerintah, akhirnya hanya menggantung sebagai wacana bilamana masyarakat masih enggan menerapkan etika hijau.

Etika hijau itu berupa moral lingkungan hidup yang dijadikan manusia sebagai bahan pertimbangan filosofis maupun biologis terkait hubungan manusia dengan tempat tinggal maupun semua makhluk non manusia.

Kata etikawan Eugene P. Odum, moral ini menjadi pedoman untuk bertindak secara benar terhadap alam sekitar. Artinya ketika punya landasan kuat akan moral lingkungan hidup, maka siapapun akan menyadari apa yang diperbuat terhadap alam itu benar adanya. Sebaliknya saat nihil akan moral itu maka tindakan terhadap lingkungan tak terkontrol.

Tindakan tidak terkontrol itu tergambarkan pada sejarah perjalananhomo sapiens.Manusia bijak ini menunjukkan keangkuhan terhadap alam. Dalam bagian perjalananhomo sapiensitu menunjukkan bahwa ada pergeseran ikhwal kedudukan dan peran manusia dari bagian alam semesta menjadi penguasa jagad. Manusia pun bersikap untuk menguasai lingkungan hidupnya. Lantaran merasa punya kekuasaan itu maka manusia pun menjadi rakus karena beranggapan apapun yang ada di lingkungannya memang tersedia untuk kepentingan hidup manusia. Kerakusan menjadikan kian gencar melancarkan eksploitasi terhadap alam. Inilah keangkuhan yang dimaksudkan.

Padahal manusia harus menyadari kedudukan yang sama di alam ini. Seharusnya manusia punya kesa­daran bahwa setiap makhluk di alam semesta ini punya hak untuk hidup sehingga membuat manusia memper­hitungkan segala tindakan terhadap alam. Dalam setiap tindakan manusia musti diperhitungkan dampaknya terhadap makhluk lain yang ada di jagad ini, sekalipun itu hanya virus. Saat menebang pohon atau membunuh hewan tertentu, secara moral tidak terlarang, namun akibat tindakan itu harus dipertimbangkan secara keseluruhan. Inilah konseplife-centered ethic.

Dari konsep itu berkembang menjadi teori nilai intrin­sik. Berdasarkan teori ini manusia justru dituntut untuk melindungi makhluk lain di jagad ini. Kata filsuf Paul Taylor, pendukung teori ini, secara moral manu­sia terikat untuk melindungi dan meningkatkan kesejah­teraan makhluk lain yang non manusia. Jadi, manusia pu­nya tanggung jawab, bukan sekadar menindas. Sema­kin menindas, alam kian melawan. Bahkan manusia bisa balik ditindas lewat bencana hingga pagebluk.

Kesadaran akan etika hijau ini menjadi dasar kuat dalam perilaku ekonomi.Homo economicusdiajak untuk pelan-pelan meninggalkan ekonomi egosentris dan menerapkan ekonomi ekosentris. Di tengah-tengah keduanya terdapat ekonomi hijau. Konsep ekonomi hijau inilah menjadi diskusi hangat bela­kangan ini, terutama sejak Program Lingkungan PBB (UNEP) memunculkannya. Alasan UNEP memun­culkannya karena alasan kerusakan lingkungan, pemanasan global, dan ketidakadilan sosial.

Kerusakan lingkungan dan ketidakadilan sosial menjadi bukti bahwa manusia cenderung serakah mempraktikkan ekonomi egosentris. Itulah sebabnya ekonomi hijau ditawarkan untuk meredam kese­raka­han itu. Konsepnya dipahami sebagai upaya ekonomi yang menjamin hidup manusia dan keadilan sosial sekaligus meminimalkan dampak buruk ekologis serta kelangkaan sumber daya alam. Target ekonomi hijau ini antara lain emisi karbon rendah, efisiensi sumber daya alam, dan terjaminnya kehidupan sosial.

Jadi yang musti diperkuat adalah etika hijau. Kon­se­p­­reward and punishmentdianggap mampu mendo­rong penguatan etika hijau tersebut. Berpijak pada etika hijau ini, selanjutnya ekonomi hijau akan terbangun. Inilah yang bisa mengantisipasi prediksi IPCC tersebut. (Toto TIS Suparto, Penulis Filsafat Moral)