Kebut Periksa Saksi, Jaksa Disebut Bernafsu Cari Salah Tanaya
AMBON, Siwalimanews – Kejati Maluku terus memeriksa saksi-saksi kasus dugaan korupsi pembelian lahan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) Namlea, Kabupaten Buru.
Sebanyak 11 saksi dicecar minggu lalu, dan 7 saksi lagi diperiksa Selasa (6/10). Total 18 saksi sudah diperiksa pasca Kejati Maluku menerbitkan surat perintah penyidikan baru.
“Proses pemeriksaan saksi-saksi dalam perkara pengadaan tanah untuk pembangunan PLTG Namlea masih jalan,” kata Kasi Penkum Kejati Maluku, Samy Sapulette kepada Siwalima, melalui pesan WhatsApp.
Penyidik memeriksa tiga saksi di Kantor Kejati Maluku. Ketiga saksi itu adalah FL, ET dan PS. Ketiganya pensiunan Kantor BPN Kabupaten Buru yang berdomisili di Ambon.
FL dan ET diperiksa dari pukul 09.45 hingga 11.20 WIT. Sedangkan, PS diperiksa pukul 11.20 hingga 13.45 WIT. Mereka dicecar puluhan pertanyaan oleh penyidik Ye Oceng Almahdali dan Novi Tatipikalawan. Namun, Sapulette enggan membeberkan mereka ditanyai terkait apa saja. “Mereka dicecar puluhan pertanyaan,” kata Sapulette.
Baca Juga: Welliam Ferdinandus Dihukum Sembilan Tahun PenjaraSelain itu, ada pemeriksaan di Kejari Buru. Sebanyak empat saksi diperiksa, dari pihak Desa Namlea hingga pihak swasta.
Empat orang yang diperiksa itu berinisial HW, TW, KW dan MA. Mereka dicecar 15 hingga 20 pertanyaan oleh penyidik.
Sapulette mengatakan, Ferry Tanaya dan Abdul Gafur Laitupa juga akan diperikaa sebagai saksi dalam kasus tersebut.
“F.T dan A.G.L pada saatnya juga akan dilakukan pemeriksaan dalam kapasitas sebagai saksi,” ujarnya.
Penyidik menerbitkan lagi sprindik baru, pasca hakim Pengadilan Negeri Ambon Rahmat Selang mengabulkan permohonan praperadilan Ferry Tanaya, dan menggugurkan status tersangkanya.
Surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) juga telah disampaikan kepada Tanaya pada 25 September 2020 lalu.
Sementara Eks Kepala Seksi Pengadaan Tanah BPN Kabupaten Buru, Abdul Gafur Laitupa melalui tim kuasa hukumnya mencabut praperadilan yang diajukan terhadap Kejati Maluku.
Langkah ini diambil, setelah kejaksaan menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) Abdul Gafur Laitupa dalam kasus dugaan korupsi pembelian lahan PLTG Namlea, Kabupaten Buru.
Sapulette menjelaskan, penghentian perkara tersebut demi hukum karena adanya putusan praperadilan menyatakan surat perintah penyidikan Nomor: Print-01/S-1/Fd.1/04/2020 tanggal 30 April 2019 tidak sah.
Bernafsu Cari Kesalahan Tanaya
Tokoh masyarakat Buru, Talim Wamnebo menyayangkan sikap Kejati Maluku yang bernafsu mencari-cari kesalahan Ferry Tanaya pasca hakim Pengadilan Negeri Ambon mengabulkan praperadilannya.
“Mencermati permasalahan yang dihadapi sahabat saya Ferry Tanaya, saya sangat sedih dan terkadang juga marah. Sebab apa yang dituduhkan kepada yang bersangkutan sungguh aneh dan langka,” tandas Talim, kepada Siwalima, Selasa (6/10).
Talim mengaku bersahabat dengan Tanaya sejak kecil. Oleh karena kedekatan tersebut, maka sejak Tanaya pindah ke Jakarta bersama keluarganya pada tahun 2003, ia diminta oleh Ferry untuk menjaga dan mengawasi seluruh asetnya yang berada di Kabupaten Buru, termasuk ibunya yang sudah berusia 89 tahun.
Selain Feryy dan keluarganya, kata Talim, dirinya adalah orang yang paling mengetahui kronologi pelepasan tanahnya di Desa Jiku Besar kepada pihak PLN Wilayah IX Maluku untuk pembangunan PLTMG 10 MW.
“Hampir semua masyarakat Kota Namlea tahu persis yang namanya kebun kelapa Jiku Besar itu adalah milik Ferry Tanaya yang dibeli dari ahli waris almarhum Zadrach Wacanno sejak tahun 1985,” bebernya.
Dikatakan, PLN yang berulang kali minta agar tanah tersebut dapat dilepas untuk kepentingan umum. Harga ganti rugi ditetapkan oleh pihak PLN sama dengan harga yang diberikan kepada pemilik lahan yang lain, yang juga dibebaskan oleh PLN yaitu Rp. 125.000/M2.
“Yang melakukan sosialisasi kepada para pemilik lahan terkait harga ganti rugi adalah pihak PLN dan pihak Kejati Maluku, yang melakukan verifikasi dan identifikasi bukti kepemilikan adalah pihak PLN atau panitia pengadaan, yang melakukan pengukuran bidang tanah adalah pihak BPN, yang membayar adalah pihak PLN disaksikan oleh Muspika Kecamatan Namlea lantas bagaimana Fefry Tanaya sendiri yang ditetapkan sebagai tersangka kurupsi dan kemudian dipenjarakan oleh pihak Kejati Maluku,” tandasnya.
Lanjut Talim, yang mengherankan sejak masalah ini mulai diekspos oleh media massa sekitar tahun 2017, status Ferry Tanaya selalu berubah-ubah melalui pernyataan Kasi Pengkum Kejati Maluku.
Awalnya status Ferfy Tanaya sebagai terduga korupsi karena melakukan mark up harga tanah. Kemudian, kata dia, muncul lagi berita bahwa Ferry Tanaya bersekongkol dengan pihak PLN menggelembungkan harga tanah. Selanjutnya, muncul lagi berita Ferry Tanaya menjual tanah negara bahkan setelah Ferfy Tanaya dipenjarakan ada lagi pernyataan Kajati Maluku untuk tantang Tanaya buka-bukaan.
“Waduh ini proses penegakan hukum seperti apa? Dengan sejumlah tudingan yang selalu berubah-ubah, saya yang bodoh ini bisa menduga bahwa kesalahan sahabat saya itu sedang dicari-cari. Bahkan Pak Kajati yang terhormat sudah menuding sahabat saya sebagai seseorang yang tidak jujur. Kenapa pihak PLN bapak tidak tersangkakan,” tandas Talim.
Talim mengaku, disaat bersedih, tiba-tiba dirinya ibarat disiram air panas mendidih setelah membaca pernyataan Kajati Maluku melalui salah satu koran terbitan 30 September 2020 yang mengatakan, sesuai penyidikan Ferry Tanaya tidak memiliki lahan dan rumah di Kabupaten Buru. Jadi sudah tentu lahan itu milik negara.
“Memang Ferry Tanaya itu bukan siapa-siapa tetapi se-miskin-miskinnya dia, termasuk kami orang Maluku rasanya tidak ada orang Maluku yang hidup tanpa rumah selama 44 tahun dan kalau ternyata ada, itu berarti dalam kurun waktu tersebut pemerintah Provinsi Maluku tidak pernah ada. Dan apakah seseorang warga negara Indonesia harus memiliki rumah di suatu tempat baru kemudian Ia bisa dipastikan mempunyai lahan lain,” tanya Talim.
Talim mengaku, sudah tiga kali dirinya dipanggil. Tetapi yang ditanyakan hanya itu-itu saja, dan malah ada yang dipanggil hanya untuk tanda tangan keterangan yang lama, yang hanya dirubah tanggalnya.
“Ini kan sangat tidak elok. Saya jadi berpikir jangan-jangan saya dipanggil untuk memberi keterangan berulang kali ini hanya untuk mencari-cari kesalahan Ferry Tanaya saja,” ujarnya.
Oleh karena itu, Talim sarankan kepada penyidik Kejati Maluku dari pada membuang-buang kertas untuk buat surat panggilan, sebaiknya penjarakan mereka saja yang menjadi saksi untuk Ferry Tanaya.
“Kami yang selama ini menjadi saksi untuk Ferry Tanaya sudah jenuh. Pak Kajati dan para penyidik yang terhormat, saya tahu kita semua adalah orang-orang beragama walaupun mungkin diantara kita ada yang berbeda keyakinan. Tolong kita semua menyadari bahwa apa yang kita perbuat di dunia ini, suatu saat nanti pasti kita akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Sang Pengcipta Yang Maha Mengetahui itu,” tutur Talim. (S-32)
Tinggalkan Balasan