AMBON, Siwalimanews – Kasus pengambilan paksa janazah pasien FF (64) yang terjadi di Rumah Sakit Tingkat III dr J Latumeten oleh pihak keluarga, Kamis (15/7) lalu lantaran keluarga menuding rumah sakit membohongi hasil swab PCR, akhirnya terjawab sudah.

Juru Bicara Satgas Covid-19 Rumah Sakit Tingkat III dr J Latumeten, dr Rudi Dwhilaksono menjelaskan, apa yang dikemukakan pihak keluarga pasien, bahwa pihak RS membohongi hasil swab PCR, sebab pihak RS tak pernah ambil swab, selain di UGD ternyata tidaklah benar.

“Apa yang dikemukakan pihak keluarga bahwa kita tidak ambil swab selain di UGD itu tidak benar, sebab petugas lab pada RS melakukan swab lagi kepada pasien, pada Senin (12/7) pagi hari,” jelas Rudi.

Ia menuturkan, pasein FF ini masuk RST pada Minggu (11/7) dengan keluhan sesak nafas, kemudian dilakukan swab antigen, dan saat itu hasilnya negatif. Namun kondisi sesak dan salturasi 50 persen pasien saat masuk ke ruang perawatan, sehingga kondisi nafas pasien semakin sesak.

Saat itu dokter paruh yang menangani pasien FF memeriksa gejala klinisnya dan itu mengarah ke Covid 19. Oleh karena itu, pada Senin (12/7) pagi petugas lab kembali melakukan swab PCR ulang, dan itu sudah diberitahukan kepada pihak keluarga.

Baca Juga: Rampas Paksa Jenazah Covid-19 Terulang Lagi

Kemungkinan saat diberitahukan petugas, keluarga tidak konsentrasi atau juga sementara sibuk dengan pasien, sehingga tidak memperhatikan apa yang disampaikan petugas saat itu. Kemudian hasilnya keluar pada Selasa (13/7) pukul 03.00 WIT, dan hasilnya positif Covid-19.

“Karena hasilnya positif kita beritahukan kepada pihak keluarga, sehingga pada Selasa (13/7) siang, pasien ibu FF ini kita pindahkan dari ruang biasa ke ruang isolasi khusus pasien Covid, dan itu keluarga mengetahuinya,” tuturnya.

Pasien FF ini kata Rudi, dirawat di ruang isolasi khusus Covid selama dua hari yaitu Selasa dan Rabu dan pada, Kamis (15/7) pagi pasien meninggal dunia.

Jika pasien FF ini negatif tambahnya, pihak rumah sakit tidak akan memindahkannya dari ruangan bangsal biasa ke ruangan isolasi khusus Covid.

“Swab PCR itu terkoneksi dengan data pada Balitbankes RI, sehingga tidak mungkin kita memeriksa si A, tetapi tidak ada orang tersebut, karena itu akan dipertanggung jawabkan di kementerian. Jadi kita tidak melakukan swab seseorang tanpa ada pasiennya,” tegas Rudi.

Ia mengaku, Swab PCR prosesnya cepat, tidak sampai lima menit, apalagi untuk perawat yang sudah terampil, bisa cepat dilakukan.

Sementara menyangkut dengan pihak keluarga yang meminta hasil swab dari pihak rumah sakit Rudi mengaku, yang mengetahui hasil swab positif atau tidak adalah dokter spesialis dan kepala ruangan, hal ini karena bersifat rahasia dan tidak semua orang boleh mengetahuinya.

Kemungkinan saat keluarga pasien meminta hasil swab kepada perawat biasa yang saat itu punya jam jaga belum mengetahui hasilnya, sehingga ia menyampaikan belum keluar.

“Sekali lagi saya katakan bahwa, kita sudah lakukan swab dan sudah meminta persetujuan keluarga. Pasien pindah dari bangsal biasa ke bangsal Covid-19, keluarga tahu itu, masa tidak tahu kalau swab PCR positif pasien di ruang isolasi. Kita tetap kasih tahu sebab harus ada persetujuan dari keluarga, karena kalau pihak keluarga tolak, bisa saja ambil sikap untuk tidak dipindahkan ke ruang isolasi,” imbuhnya.

Ditanya terkait obat yang diberikan kepada pasien FF mengapa tidak diberikan obat cair, karena kondisi pasien tak bisa minum pil, Rudi menuturkan, untuk obat-obatan yang digunakan, sebagian besar dalam bentuk injeksi (disuntik) dan ini juga harus melalui persetujuan keluarga.

Apa yang yang disampaikan pihak keluarga, akan diambil sebagai sebuah bahan untuk dievaluasi agar RS ini bisa lebih baik lagi dalam melakukan pelayanan kedepan.

“Kalau nggak salah obatnya injeksi banyak dalam bentuk suntik, namun pada waktu injeksi tetap saja perawat minta persetujuan dari keluarga dulu,” ucapnya.

Sementara mengapa pihak RS membiarkan keluarga membawa pulang jenazah ibu FF, sedangkan  almarhuma positif Covid-19, Rudi mengaku, sebenarnya pihak RS sudah memberitahukan kepada keluarga bahwa pasien positif Covid, namun karena pihak RS tidak ingin terjadi adanya tindakan anarkis, sehingga pihak RS membiarkan pihak keluarga yang mengaturnya.

“Saat hasil keluar, pagi itu kita sudah kasih tahu bahwa PCR positif. Namun karena kita tidak mau terjadi anarkisme, sehingga kita memberikan untuk pihak keluarga yang mengaturnya,” pungkas Rudi. (S-51)